Alunan tabuhan gendang, gong, seruling dan rincik yang dimainkan dalam tempo cepat memancarkan aura mistis. Dua "pepadu" pun siap bertarung beradu ketangkasan, ketangguhan dan keberanian dalam sebuah adu tanding "peresean".
Peresean merupakan salah satu jenis olahraga tradisional suku Sasak (Lombok) dengan saling pukul menggunakan sebilah rotan atau penjalin dan sebuah penangkis atau tameng terbuat dari kulit sapi yang disebut "ende".
Tradisi peresean diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat suku Sasak sejak ratusan tahun silam. Tradisi ini digelar setiap musim kemarau sebagai ritual memohon hujan. Peresean juga merupakan simbol keberanian pemuda Sasak. Sang juara dalam pertarungan ini disebut pepadu.
Terlepas dari berbagai keunikan dalam permainan tradisional adu nyali saling pukul menggunakan rotan, Penjabat Wali Kota Mataram Hj Putu Selly Andayani melarang keras pertarungan peresean dengan alasan mengandung unsur kekerasan.
"Saya tidak akan memberikan izin pemanfaatan lapangan di kota ini untuk kegiatan peresean. Ini sudah harga mati," katanya pada rapat persiapan HUT ke-57 NTB belum lama ini.
Menurut Putu Selly larangan itu karena peresean memiliki unsur kekerasan yang tidak boleh dipertontonkan kepada anak-anak.
"Kita tidak mau, aksi saling pukul dengan rotan hingga babak belur itu dicontoh oleh anak-anak kita," katanya.
Ia menegaskan yang tidak dizininkan adalah pertarungan peresean, akan tetapi jika peresean itu menjadi seni atau ditampilkan untuk menyambut dan menghibur tamu atau wisatawan sah-sah saja.
"Kalau untuk seni, kenapa tidak. Silakan, karena itu merupakan bagian dari seni warisan budaya yang perlu dilestarikan," katanya.
Putu Selly mengatakan larangan pertandingan peresean karena saat ini Kota Mataram sedang mempersiapkan diri menjadi kota layak anak (KLA) tahun 2018.
Bahkan pada Mei 2016 Kota Mataram akan menjadi tuan rumah kegiatan kongres anak dan forum anak tingkat nasional yang akan dihadiri sekitar 1.000 anak dari 34 provinsi di Indonesia.
"Jadi kita harus betul-betul mempersiapkan diri untuk itu, agar Rekor MURI antikekerasan tidak hanya simbol semata," katanya.
Pada puncak peringatan Hari Anak Nasional tahun 2015, ribuan anak, masyarakat, pejabat dan pegawai di Kota Mataram telah melukiskan lima jari tangannya sebagai simbol stop kekerasan terhadap anak.
Oleh karena itu, kata dia, dalam kongres anak mendatang, Kota Mataram akan menampilkan berbagai permainan anak-anak yang masih tradisional bersifat aktif, kreatif dan mendidik. Seperti permainan "jingklang", "seleodor" dan permainan bola kasti.
"Tujuannya, agar anak tidak hanya fokus bermain game di handphone atau sejenisnya yang akibatnya dia tidak peduli dengan teman di sekitarnya," kata Putu Selly.
Sebaliknya, kata dia, melalui permainan yang mendidik dan kreatif, anak-anak dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak di sekitar sehingga mampu membentuk karakter anak yang cerdas dan berakhlak mulia.
Menuai Protes
Larangan pertandingan peresean yang disampaikan Penjabat Wali Kota Mataram Hj Putu Selly Andayani itu menuai protes, setidaknya dari kalangan Majelis Adat Sasak.
Ketua Majelis Krama Adat Sasak Jalaludin Arzaki akan mengajak Penjabat Wali Kota Mataram duduk bersama untuk membahas larangan terhadap kegiatan peresean di kota itu.
"Kita akan mengajak ibu penjabat wali kota agar bisa menjelasakan tentang budaya permainan peresean sehingga kegiatannya di kota ini tidak dilarang," katanya.
Jalaludin Arzaki menilai sebenarnya sebagai seorang kepala daerah, tidak seharusnya larangan itu dilontarkan karena peresean merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan dan diketahui oleh generasi muda, termasuk anak-anak.
"Permainan peresean merupakan tradisi budaya komunitas Suku Sasak, bukan milik pribadi sehingga harus dilestarikan, bukan dihilangkan," katanya.
Sebagai seorang pecinta budaya daerah, ia berharap pemerintah daerah dapat mendukung pelestarian budaya, apalagi Kota Mataram memiliki moto yang maju, religius dan berbudaya.
Jalaluddin Arzaki mengatakan kalau pun permainan itu dianggap tidak layak dipertontonkan untuk anak-anak karena terkesan keras, pihaknya siap menyusun awik-awiknya atau aturan adat.
Kalau memang anak-anak dilarang menonton permainan peresean, kata dia, maka pihaknya siap membina para penyelenggara peresean dan memberlakukan larangan bagi penonton anak-anak.
"Artinya, memberikan izin hanya kepada kalangan remaja dan dewasa. Prinsipnya, kita siap memperketat aturan asalkan jangan hilangkan peresean," ujar tokoh budayawan Sasak ini.
Menurut dia, jika permainan peresean dihapus, sama artinya menghilangkah permainan rakyat Suku Sasak sekaligus mematikan kesempatan untuk mencari rezeki bagi pepadu.
Permainan peresean sudah menjadi ikon permainan kesenian yang digemari dunia.
"Saya sudah beberapa kali membawa rombongan pepadu ke Inggris dan mereka senang, padahal kita tahu kalau orang-orang barat antikekerasan," ujarnya.
Ia mengatakan, secara umum peresean ini sama juga dengan permaian "Sumo" dari Negara Jepang yang juga menunjukkan kekerasan, tetapi tetap menjadi bagian permainan rakyat.
Begitu juga dengan permainan Karaci dari Sumbawa dan Parise dari Bima yang merupakan bagian aset budaya dan ikon daerah yang harus dilestarikan dan menunjukkan sebuah karakter keberanian.
Menurut Jalaludin yang juga seorang budayawan di Pulau Lombok ini permaian peresean dimainkan oleh orang-orang yang sudah profesional dan menjunjung tinggi sportivitas.
Dia mengatakan meskipun di atas arena pertandingan mereka saling pukul dengan rotan, tetapi setelah bertanding mereka akan bersalaman, berpelukan dan tidak ada saling benci apalagi dendam.
"Sebaliknya, setelah bertarung, ke depan mereka pasti saling cari sebagai bentuk membangun persaudaraan dan mempererat tali silaturahim antarpepadu," ujar Jalaluddin Arzaki.
Dalam pergelaran permainan peresean panitia tetap memiliki aturan main tertentu mengenai batasan-batasan badan bagian mana yang boleh dan tidak boleh dipukul.
Sejatinya peresean merupakan salah satu khazanah seni budaya suku Sasak (Lombok) yang harus dilestarikan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Permainan olahraga tradisional ini juga dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata.(*)
Ketika Olahraga Tradisional "peresean" Dilarang
...Alunan tabuhan gendang, gong, seruling dan rincik yang dimainkan dalam tempo cepat memancarkan aura mistis. Dua "pepadu" pun siap bertarung beradu ketangkasan, ketangguhan dan keberanian dalam sebuah adu tanding "peresean".