Sekretaris desa di Lombok Utara dituntut 7,5 tahun penjara

id tuntutan jaksa,pengadilan mataram,pengadilan tipikor,korupsi dana desa,panggung peresean,desa sesait

Sekretaris desa di Lombok Utara dituntut 7,5 tahun penjara

Sekretaris Desa Sesait, Kabupaten Lombok Utara, Dedi Supriadi duduk di kursi pesakitan mendengar pembacaan tuntutannya di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, NTB, Rabu (15/12/2021). (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Sekretaris Desa Sesait, Kabupaten Lombok Utara, Dedi Supriadi dituntut pidana 7,5 tahun atau tujuh tahun enam bulan penjara karena dinilai jaksa penuntut umum terbukti korupsi dalam pengelolaan anggaran dana desa tahun 2019 dengan kerugian negara Rp1,015 miliar.

"Menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama tujuh tahun enam bulan penjara," kata jaksa penuntut umum Ida Ayu Yustika Dewi membacakan tuntutan Dedi Supriadi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Rabu.

Jaksa turut membebankan terdakwa membayar pidana denda sebesar Rp250 juta subsider enam bulan kurungan, serta mengganti kerugian negara senilai Rp1,015 miliar.

"Apabila dalam tempo satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap tidak terbayarkan, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti kerugian. Jika tidak dibayarkan, maka wajib diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun enam bulan," ucapnya.

Dalam tuntutannya, jaksa menilai perbuatan Dedi terbukti melanggar Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari berkas dakwaan Dedi, disampaikan perihal sumber pendanaan desa di tahun 2019. Jaksa dalam rinciannya menyebutkan Desa Sesait mendapat suntikan dana Rp4,125 miliar.

Sumber anggarannya berasal dari pusat senilai Rp2,450 miliar dan dari pemerintah daerah Rp1,439 miliar, serta pendapatan dari bagi hasil pajak dan retribusi daerah Rp235,1 juta.

Anggaran tersebut digunakan untuk menjalankan beberapa program pekerjaan fisik dan non fisik. Salah satu yang membuat Dedi Supriadi duduk di kursi pesakitan persidangan, adalah proyek fisik pembangunan pangggung pertunjukan seni bela diri Suku Sasak, yakni Peresean. Nilainya Rp640 juta.

Namun dari pengelolaan dana desa tersebut muncul temuan Inspektorat Kabupaten Lombok Utara. Ada nilai sebanyak Rp759,13 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya.

Dari audit secara "actual loss", kerugian negara bertambah menjadi Rp1 miliar lebih. Hal itu muncul dari pekerjaan proyek fisik yang tidak sesuai spesifikasi dan beberapa kegiatan non fisik yang diduga fiktif. Termasuk pembangunan panggung peresean yang belum sempat dimanfaatkan namun sudah ambrol.

Penasihat hukum Dedi Supriadi, Khaerul Aswadi menyayangkan pernyataan jaksa yang memberikan tuntutan demikian. Aswadi menilai tuntutan tersebut terlalu berat karena tidak seluruh proyek desa yang disebutkan dalam dakwaan diketahui terdakwa.

"Klien kami hanya mengetahui proyek panggung peresean saja. Dari pengerjaan proyek tersebut dia menerima uang. Dia hanya mengambil uang Rp150 juta," kata Aswadi ketika ditemui usai sidang tuntutan kliennya.

Begitu juga dengan beban pengganti kerugian negara. Karena alasan tidak mengetahui seluruh proyek dalam dakwaan tersebut, dia meyakinkan bahwa ada peran lain yang ikut menikmatinya.

"Sebenarnya harus ada yang ikut terseret dalam kasus ini. Tetapi, jaksa malah tutup mata. Ini kasus sudah didesain," ucapnya.

Aswadi juga menyayangkan sikap jaksa yang tidak mempertimbangkan pengakuan kliennya dalam sidang. Terdakwa ke hadapan Majelis Hakim sudah membeberkan perihal siapa saja yang menikmati uang dana desa tersebut.

"Bendahara dan mantan Plt Kepala Desa Raden Sarwinggih menikmati uang itu. Tetapi, kenapa tidak masuk dalam perkara ini," ujar dia.

Karena itu, Aswadi meminta kepada jaksa untuk tidak tebang pilih dalam mengusut kasus tersebut.

"Siapa yang bertindak dan bertanggungjawab dengan jabatannya serta menikmati uang negara malah asyik duduk di rumahnya," kata Aswadi.