Lombok Barat (Antaranews NTB) - Kepala Bidang Perumahan, Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Ratnawi menyatakan pembangunan rumah instan sederhana sehat (Risha) untuk korban gempa masih dihadapkan pada kendala ketersediaan bahan terutama panel.
"Kami sudah siap membangun untuk 40 kepala keluarga, tapi hanya tiga unit yang bisa dibangun karena panel yang tersedia hanya sebanyak itu. Satu unit Risha membutuhkan 138 panel," katanya di Lombok Barat, Jumat.
Ia yang juga menjabat Ketua Koordinator Tim Teknis mengatakan panel Risha dikerjakan secara pabrikan oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ia berharap agar pemerintah bisa segera memfasilitasi masyarakat dengan aplikator lainnya yang benar-benar siap menyuplai kebutuhan panel.
"Kami mengira panel tersebut telah dicetak di Pulau Jawa, jadi tinggal kirim. Ternyata proses produksinya di sini juga (Lombok-red)," ujarnya.
Menurut dia, warga yang rumahnya rusak berat banyak yang ingin segera membangun Risha. Namun keinginan tersebut belum bisa terpenuhi karena kendala ketersediaan panel.
Sebagai contoh, sebutnya dari 379 kepala keluarga yang masuk dalam program rehabilitasi rumah tahap pertama, sebanyak 176 orang ingin membangun Risha.
"Tapi kalau mereka saja sulit dapat bahannya, bagaimana dengan ribuan rumah lainnya?," ucap Ratnawi.
Selain masalah panel untuk Risha, kata dia, pembangunan rumah instan konvensional (Riko) juga masih menemui kendala. Untuk membangunnya membutuhkan perencanaan yang sedikit lebih ruwet dari Risha.
"Rumah konvensional yang ramah gempa tersebut harus didesain dulu, dihitung biayanya dan kadang harus disesuaikan antara maunya masyarakat dengan jumlah uang yang tersedia," katanya.
Selain menyesuaikan dengan selera pemilik, lanjut dia rehabilitasi pun terhambat dengan? minimnya jumlah tenaga teknis pendamping.
Tugas para pendamping adalah membantu warga membuatkan gambar, hitungan biaya dan lainnya sebelum proses pencairan uang.
"Kami ini ibaratnya konsultan mereka," ujar Ratnawi sambil menjabarkan risiko buat Pemerintah Kabupaten Lombok Barat bila tidak melakukan pendampingan.
Ia menyebutkan jumlah tenaga teknis di Kabupaten Lombok Barat sebanyak 40 orang. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah kepala keluarga yang rumahnya rusak akibat gempa bumi yang mencapai 72.222 unit.
Menurut dia, idealnya satu orang pendamping membantu maksimal 100 kepala keluarga.
"Kalau yang 72 ribu lebih itu masuk, bayangkan berapa rasio beban kerja mereka. Bisa muntah-muntah mereka kerja," kata Ratnawi.