Mataram (Antaranews NTB) - DPRD Nusa Tenggara Barat selama tahun 2017 hingga 2018 telah menghasilkan sekitar 30 peraturan daerah (perda).
Ketua DPRD NTB Hj Baiq Isvie Rupaedah di Mataram, Senin, mengakui meski pihak legislatif produktif menghasilkan perda, namun tidak semua produk legislasi dari aspirasi masyarakat diketahui secara luas.
Hal itu disebabkan kurangnya sosialisasi, sehingga predikat perda "bantong" atau "banci" sering muncul dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Di sinilah hambatan dewan terkait pengawasan terhadap pelaksanaan perda itu," ujarnya.
Ia mengatakan masalah ini karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan pihak eksekutif, sehingga perda yang telah dihasilkan tidak optimal.
"Parahnya, aturan turunan berupa peraturan gubernur (pergub) guna mengatur teknis pelaksanaannya tidak langsung dilakukan, menunggu hingga dua hingga tiga tahun lamanya.
Ia membantah kalau banyaknya perda inisiatif anggota dewan merupakan proyek semata.
"Bagaimana mau diproyekkan, inisiatornya dari anggota dewan sendiri. Kita tidak ada anggaran khususnya," tegas Isvie.
Menurut dia, dari sekian banyak perda yang dihasilkan, anggarannya hanya sebesar Rp1 miliar. Honor yang didapat juga sama.
"Marilah kita hilangkan kesan seperti itu. Kalau DPRD yang mengajukan perda kan jelas, prosesnya terbuka dan masyarakat berhak memberikan masukan melalui forum diskusi dan uji publik," katanya.
Isvie mengatakan tiga dari fungsi DPRD, yakni pengawasan, anggaran dan pembentuk peraturan daerah, justru yang memiliki indikator kinerjanya adalah pada fungsi pembentukan perda.
Sedangkan perda inisiatif kepala daerah, justru selama ini proses penyusunannya jarang ada publik yang tahu.
"Kalau kita jelas dan terukur, semua pemerintah kabupaten/kota kita undang, termasuk `stake holder` dan kalangan media juga kita libatkan secara aktif," katanya. (*)