Mataram (ANTARA) - Perempuan yang bodoh adalah perempuan yang "siap" diperalat oleh laki-laki. Laki-laki yang tidak paham feminisme adalah laki-laki yang menindas, bahkan melecehkan perempuan.
Ungkapan di atas merupakan konstruksi dari ungkapan Nawal El Saadawi (1975), seorang dokter, penulis, dan aktivis feminis asal Mesir.
Meski tak tentu juga perempuan yang bodoh adalah perempuan yang "siap" diperalat oleh laki-laki dan laki-laki yang tidak paham feminisme adalah laki-laki yang menindas dan melecehkan perempuan.
Namun, karena kebodohan perempuan dan ketidaktahuan laki-laki terhadap feminisme, perempuan potensial diperalat, ditindas, bahkan dilecehkan oleh laki-laki.
Sebaliknya, tak ada jaminan perempuan yang cerdas adalah perempuan yang tak dapat diperalat oleh laki-laki dan laki-laki yang paham feminisme adalah laki-laki yang tidak menindas dan melecehkan perempuan.
Namun, karena kecerdasan perempuan dan pemahaman laki-laki terhadap feminisme setidaknya dapat mengurangi atau menghilangkan terjadinya perempuan diperalat, ditindas, dan dilecehkan oleh laki-laki.
Tentu saja pengetahuan laki-laki dan perempuan tentang feminisme berbeda. Pengetahuan laki-laki tentang feminisme berangkat dari abstraksi ilmu pengetahuan laki-laki. Karena itulah pengetahuan laki-laki tentang feminisme dianggap tidak otentik.
Pengetahuan perempuan tentang feminisme berangkat dari pengalaman yang dialami oleh perempuan itu sendiri. Perempuan mengalami apa yang disebut sebagai ketidakadilan ekonomi, politik, pendidikan, perlakuan sosial, dan "pemberatan kerja".
Betty Friedan (1963) mengatakan, apa yang dikerjakan oleh perempuan--membersihkan rumah, mencuci/setrika pakaian, memasak, dan memomok anak--sesungguhnya itu bisa dikerjakan oleh laki-laki. Namun, karena konstruksi sosial, budaya, masyarakat, bahkan "agama" itu dianggap aneh dan tak biasa.
Kendati demikian, secara biologis feminisme sudah selesai, namun secara ekonomi, pendidikan, politik, pekerjaan, dan perlakuan sosial, feminisme belum selesai.
Inilah yang diperjuangkan oleh feminisme. Feminisme adalah gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, agar setara dengan laki-laki, baik dibidang ekonomi, pendidikan, politik, sosial maupun pekerjaan.
Pelecehan Seksual di Kampus
Pelecehan seksual di kampus tak jarang terjadi karena dominasi laki-laki atas perempuan (patriarki) juga karena ada relasi kuasa antara dosen/pejabat kampus dan mahasiswa.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, kasus kekerasan seksual di kampus sangat tinggi.
Kasus kekerasan seksual di kampus pada 2022 mencapai 2.094 kasus. Angka ini kemudian meningkat pada 2023 menjadi 2.244 kasus. Meskipun pada 2024 kasus kekerasan seksual menurun menjadi 1.919 kasus, namun kasus kekerasan seksual di kampus masih sangat tinggi.
Kasus kekerasan seksual di kampus tak boleh dihitung dengan angka-angka. Kasus kekerasan seksual di kampus merupakan "fenomena gunung es", di mana para korban tak berani bicara dan melaporkan apa yang dialaminya, bahkan diancam dan disembunyikan dari publik dengan alasan untuk menjaga nama baik kampus.
Ironis, kampus yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi mahasiswa untuk belajar berubah menjadi tempat yang menakutkan dan mengerikan. Bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan kampus dan martabat kemanusiaan.
Pelecehan seksual di kampus tidak hanya merusak nama baik individu pelaku dan masa depan korban, tetapi juga merusak institusi kampus, dan kepercayaan masyarakat terhadap kampus.
Penanganan kasus kekerasan seksual di kampus juga sering kali tidak transparan, tidak ramah terhadap korban, bahkan berusaha menyembunyikan dari kejaran publik.
Untuk mencegah kekerasan seksual terjadi di kampus dapat dilakukan dengan beberapa cara: pertama, pencegahan dini melalui rekrutmen dosen yang tidak hanya kompeten di bidangnya, namun juga harus berintegritas, jujur, dan bersih dari riwayat kejahatan seksual.
Kedua, optimalisasi peran Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di kampus melalui penguatan edukasi tentang bahaya kekerasan seksual, mendorong penyelesaian kasus kekerasan seksual yang ramah terhadap korban, dan tegas terhadap pelaku kejahatan seksual.
Ketiga, membatasi komunikasi personal antara dosen dan mahasiswa di luar kepentingan belajar mengajar. Keempat, melakukan bimbingan mahasiswa di ruang terbuka dan pendampingan teman sebaya.
Dengan demikian, tak hanya kampus dapat mencegah--mengurangi atau menghilangkan kasus kekerasan seksual di kampus, namun juga kampus menjadi tempat yang nyaman untuk belajar mengajar bagi mahasiswa dan dosen.
*) Penulis adalah Sekretaris Umum KPC HMI Cabang Yogyakarta Mahmud