Perburuan nyale jadi penguat ikatan sosial di Lombok

id festival bau nyale,bau nyale,cacing laut,pulau lombok,putri mandalika,suku sasak Oleh Sugiharto Purnama

Perburuan nyale jadi penguat ikatan sosial di Lombok

Sejumlah warga sedang menangkap nyale yang mengambang ke permukaan laut untuk melakukan pemijahan di Pantai Tampah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Selasa (18/2/2025). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Lombok Tengah (ANTARA) - Pukul 03.41 Waktu Indonesia Tengah (WITA), Saumin tidak bergeming dari tempat duduknya di pantai berbatu, meski puluhan orang sudah lebih dulu turun ke laut untuk menangkap nyale.

Debur ombak yang memecah hening bertabrakan dengan suara berisik sorakan orang-orang yang datang untuk berburu nyale.

"Saya turun (untuk mengambil nyale) nanti selepas Shalat Subuh," ucap pria paruh baya tersebut, saat ditemui ANTARA di Pantai Tampah, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Air laut yang semula pasang, perlahan surut dan bergerak menjauhi garis pantai. Langit yang tertutupi tirai gelap sedikit demi sedikit mulai tersingkap menjadi terang, seiring kemunculan Matahari dari ufuk timur.

Pada 18 Februari 2025, ribuan orang tumpah ruah memadati pantai untuk mengikuti tradisi turun-temurun menangkap cacing laut yang secara harfiah disebut bau nyale oleh penduduk Suku Sasak itu.

Di wilayah selatan dan timur Pulau Lombok, hingga Pulau Sumbawa, hewan bernama latin Palola viridis itu ditangkap secara tradisional menggunakan tangan dan jala. Beberapa warga ada yang langsung berlayar ke tengah laut menaiki perahu demi meraup hasil tangkapan lebih banyak.

Sejauh ini belum ada literatur yang mengungkap sejarah pasti kapan masyarakat mulai menangkap nyale. Tradisi berburu cacing laut tersebut hanya ada di "catatan" folklor atau cerita lisan tentang Putri Mandalika dari Kerajaan Sekar Kuning yang berkorban menjatuhkan diri ke laut, lalu menjelma menjadi nyale.

Durasi perburuan nyale hanya sebentar, sekitar 1,5 jam dari pukul 04.30 sampai 06.00 pagi, setiap tanggal 19 dan 20 bulan kesepuluh menurut perhitungan kalender Sasak.

Nyale keluar dari liang terumbu karang menjelang terbit fajar. Ketika Matahari muncul, nyale yang tidak tertangkap berangsur lenyap masuk kembali ke dalam liang terumbu karang di dasar lautan.

Enkultrasi budaya

Ingatan Saumin kembali ke era awal 70-an, saat pertama kali diajak menangkap nyale oleh orang tuanya. Pemburu nyale hanya dilakukan oleh ayah dan anak laki-laki remaja. Mereka berjalan kaki dari kampung hingga ke tepian pantai, melewati lembah, bukit, dan hutan selama berjam-jam.

Perjalanan jauh dan berbahaya, membuat perburuan nyale dilakukan oleh laki-laki, sedangkan para ibu dan anak perempuan menunggu di rumah, sembari menyiapkan berbagai keperluan perburuan serta aneka bumbu olahan.

Sejak sore hari tanggal 18, warga sudah berkumpul di pantai dan di lokasi-lokasi yang secara tradisional menjadi tempat penangkapan nyale setiap tahun. Mereka berteduh di bawah tebing-tebing batu karang, beberapa ada pula yang membangun tenda sederhana beratap daun palma.

Para pemburu sabar menanti sampai terbit fajar tanggal 19, maka saat itulah nyale keluar mengambang ke permukaan laut. Kegiatan penangkapan dilakukan dengan tangan kosong dan tanpa penerangan lampu.

Seorang warga bersama cucunya menangkap nyale menggunakan jala bertangkai pendek dan penerangan lampu senter di Pantai Tampah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Selasa (18/2/2025). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Nyanyian atau tembang dan saling berbalas pantun memecah hening fajar selama proses penangkapan nyale. Sumber cahaya hanya berasal dari sinar bulan dan kemunculan cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur, menjelang Matahari terbit yang membias di air laut bergelombang.

Bila hasil tangkapan sedikit saat perburuan hari pertama, maka mereka dengan sabar menanti kesempatan pada perburuan hari kedua. Di tenda-tenda sederhana yang berdiri di sepanjang garis pantai, warga menyiapkan beragam perlengkapan memasak.

Nyale yang berhasil ditangkap langsung dipanggang menggunakan daun kelapa atau daun pisang agar awet, lalu sebagian dimasak menjadi lauk nasi atau ubi selama mereka menetap di tepian pantai.

Tiga dekade kemudian, tradisi menangkap cacing laut itu mulai bergeser, apalagi sejak muncul kendaraan bermotor dan lampu senter, membuat orang-orang tidak harus bermalam di pantai.

Saat ini semua kalangan tumpah ruah menjadi pemburu nyale, nilai eksklusif yang semula hadir, perlahan memudar, sebab tidak lagi terdengar nyanyian tembang dan berbalas pantun dari mulut orang-orang yang membungkukkan badan ke laut untuk menangkap nyale.

Berdasarkan buku yang ditulis oleh Lalu Wacana berjudul "Nyale di Lombok" yang terbit tahun 1982, tradisi bau nyale menjadi sarana enkultrasi karena warga yang datang ke lokasi penangkapan cacing laut bukan saja orang-orang yang berasal dari daerah sekitar, tetapi berasal dari kecamatan lain maupun wilayah lain.

Bagi mereka yang berasal dari luar kelompok masyarakat pemilik tradisi tersebut, kedatangan ke sana hanya untuk menyaksikan tradisi bau nyale. Namun, secara tidak sadar mereka juga menjadi perhatian anggota kelompok masyarakat tradisional.

Cara berpakaian, sikap, dan perkataan memberikan pengaruh yang secara tidak langsung terjadi proses enkultrasi budaya. Apalagi yang hadir dalam kegiatan penangkapan nyale bukan saja orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja.

Anak-anak dan remaja menyaksikan dalam praktik bagaimana proses tradisi bau nyale tersebut berlangsung. Mereka ikut merasakan bagaimana seharusnya mengatur kesabaran semalam suntuk menanti fajar menyingsing, saat keluar nyale ke permukaan laut.

Penguat solidaritas

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Joko Pamungkas, melalui jurnal ilmiah berjudul "Swarming Cacing Laut Polikhaeta (Annelida) di Indonesia" yang terbit tahun 2009 mengungkapkan alasan serbuan cacing laut sekali setahun.

Fenomena itu terjadi lantaran beberapa spesies Polychaeta, saat purnama atau beberapa hari usai purnama menjadi dewasa secara seksual. Siklus hidup nyale berlangsung satu kali pemijahan dalam setahun.

Proses pemijahan terjadi secara massal yang disebut swarming. Nyale banyak hidup pada substrat berkarang dengan laut relatif dangkal dan bersuhu hangat.

Serbuan cacing laut di sekitar pantai mengundang perhatian penduduk setempat untuk menyaksikan fenomena alam langka tersebut. Ribuan orang datang ke pantai menangkap cacing laut untuk dijadikan bahan pangan tradisional yang kaya protein.

Tradisi menangkap cacing laut adalah hari raya perjumpaan bagi penduduk Suku Sasak. Mereka yang jarang bertemu dan tidak ada waktu bertandang karena kesibukan bertani, berladang, maupun berdagang, akhirnya bisa berjumpa kembali melalui momen bau nyale.

Setiap desa biasanya sudah memiliki lokasi menunggu fajar yang selalu sama setiap tahun, saat perburuan nyale. Dari generasi ke generasi, tempat berkemah dan menunggu fajar itu tidak pernah berpindah.

Kehadiran mereka secara serentak di pantai memperkuat rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan keakraban yang merujuk pertalian asal-usul yang sama. Tidak jarang selama penantian nyale dari malam hingga fajar, suara orang-orang berbincang terdengar riuh.

Setiap orang saling berbagi kisah yang terkadang menimbulkan suka-cita maupun keharuan. Mereka merasa menemukan kembali kehangatan keluarga yang hilang akibat kesibukan pekerjaan.

Perburuan nyale di Pulau Lombok bukan sekadar menjalankan rutinitas turun-temurun dari sebuah tradisi tahunan, melainkan ada penyatuan perasaan yang dapat menambah nilai keakraban dan solidaritas antara sesama manusia.

notification icon
Dapatkan Berita Terkini khusus untuk anda dengan mengaktifkan notifikasi Antaranews.com