Pemprov NTB lindungi 22 santriwati korban pelecehan seksual di Lombok Barat

id NTB,Pemprov NTB,Dinas Sosial NTB,Kasus Pelecehan Seksual Santriwati,Lombok Barat,santriwati,pelecehan seksual,lombok barat,pesantren

Pemprov NTB lindungi 22 santriwati korban pelecehan seksual di Lombok Barat

Kepala Dinas Sosial Nusa Tenggara Barat (NTB), H. Ahsanul Khalik. ANTARA/Nur Imansyah

Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengambil langkah serius dalam memperkuat perlindungan bagi 22 santriwati yang menjadi korban dugaan pelecehan dan kekerasan seksual oleh oknum pimpinan salah satu pondok pesantren di wilayah Kekait, Lombok Barat yang belakangan dikenal publik sebagai kasus Walid Lombok.

Menurut Kepala Dinas Sosial NTB, Ahsanul Khalik, menindaklanjuti arahan Gubernur NTB pihaknya bersama tim pekerja sosial dan Kepala UPTD PPA DP3AP2KB Provinsi NTB menggelar pertemuan dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram dengan juga melibatkan unsur dari aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB.

"Dalam pertemuan tersebut disepakati beberapa langkah strategis sebagai bentuk sinergi penanganan dan perlindungan terhadap para korban," ujarnya di Mataram, Rabu.

Ahsanul Khalik menyebutkan beberapa langkah strategis itu di antaranya, pertama adalah pentingnya korban mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini dinilai vital agar para korban merasa aman dan terlindungi selama proses hukum berlangsung, serta bebas dari tekanan, intimidasi, maupun ancaman dari pihak manapun.

Baca juga: Puluhan santriwati di Lombok Barat korban pelecehan seksual, begini respons Gubernur NTB

Kedua, pendampingan sosial dan psikologis terintegrasi. Dinas Sosial NTB bersama UPTD PPA DP3AP2KB NTB menyatakan kesiapannya dalam memberikan pendampingan bagi menyeluruh kepada para korban.

Pendampingan akan dilakukan oleh pekerja sosial yang disiapkan khusus untuk para korban dalam proses rehabilitasi sosial, termasuk konseling psikososial dan pemulihan trauma.

Selain itu, UPTD PPA juga menyiapkan tenaga psikolog profesional untuk membantu korban dalam menghadapi dampak psikologis jangka panjang dari peristiwa yang dialaminya.

Ketiga, melakukan penelusuran dan penjaminan hak pendidikan santriwati yang telah kembali ke keluarganya. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah terdapat korban lainnya di luar 22 yang sudah terungkap.

"Proses ini akan dilakukan secara kolaboratif antara LPA Kota Mataram, pekerja sosial masyarakat dari Dinas Sosial NTB, serta melibatkan Dinas Sosial dan DP3AP2KB dari kabupaten/kota asal para santri," terangnya.

Baca juga: Ustadz ponpes pelaku pelecehan santriwati di Lombok Barat ditangkap

Penelusuran juga bertujuan untuk memastikan hak pendidikan para santri tetap terpenuhi. Dalam hal ini, apabila ada santri atau santriwati yang mengalami kesulitan dalam proses kepindahan sekolah atau pondok, maka Dinas Sosial NTB membuka ruang layanan bantuan.

"Kami akan berkoordinasi langsung dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTB untuk memfasilitasi kepindahan mereka ke lembaga pendidikan yang lebih aman," ucapnya.

Keempat, munculnya usulan pembentukan satgas pengawasan asrama pondok pesantren. Dalam diskusi bersama tersebut, Kepala Dinas Sosial NTB dan Ketua LPA Kota Mataram juga menyoroti kelemahan sistem pengawasan asrama pondok pesantren.

Baca juga: Film Bidaah jadi inspirasi korban pelecehan ustadz di Lombok Barat

Karena menurut informasi dari Ketua LPA Kota Mataram, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB pernah menyampaikan bahwa Kemenag tidak memiliki kewenangan dalam mengawasi keberadaan atau aktivitas di dalam asrama pondok pesantren, karena kewenangan Kemenag hanya mencakup aspek pendidikan dan perizinan lembaga pesantren.

Oleh karena itu sebagai solusi, diusulkan agar pemerintah daerah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan dan Pembinaan Asrama Pondok Pesantren.

"Satgas ini nantinya akan bertugas melakukan deteksi dini terhadap berbagai bentuk pelanggaran di lingkungan asrama, termasuk kekerasan seksual, serta mengawasi kelayakan sarana prasarana, kebersihan, dan kenyamanan asrama sebagai tempat tinggal para santri," tegas Khalik.

Baca juga: Polda NTB: Penanganan kasus pelecehan santriwati sesuai prosedur

Pemprov NTB menegaskan bahwa dalam kasus-kasus seperti ini negara harus hadir melindungi korban, memastikan keadilan ditegakkan, dan menjamin ruang aman bagi setiap anak, termasuk di lingkungan pesantren.

"Pemprov NTB tidak akan membiarkan anak-anak kehilangan masa depannya dan ini menjadi penekanan Bapak Gubernur kepada kami untuk diatensi secara khusus, karena kekerasan yang seharusnya bisa dicegah. Kasus ini harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh bagi sistem perlindungan anak di NTB," katanya.

Baca juga: LPA minta Kemenag NTB atensi kasus pelecehan seksual santriwati di ponpes
Baca juga: LPA dampingi empat santriwati korban pelecehan seksual di ponpes Lombok barat