Mataram (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengungkapkan luas lahan kritis di wilayah itu turun 10 ribu hektare.
Kepala Bidang Planologi dan Kemanfaatan Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, Burhan Bono, mengatakan berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan luas lahan kritis di NTB turun dari 192 ribu hektare menjadi 180 ribu hektare.
"Lumayan, kita ada penurunan 10 ribu hektare. Itu dari tahun 2022 hingga tahun 2024," ujarnya di Mataram, Senin.
Ia mengatakan ada sejumlah faktor luas lahan kritis di NTB terus menurun. Di antaranya, intensitas pengamanan hutan, penanaman pohon (rehabilitasi hutan), dan kegiatan kesadaran masyarakat yang masif dilakukan, salah satunya melalui penanaman pohon kemiri yang berorientasi ekspor.
"Kesadaran masyarakat ini ikut berpengaruh terhadap berkurangnya kerusakan hutan kita. Masyarakat rajin menanam kemiri sekarang," kata Burhan.
Baca juga: Kemiri jadi pagar terasering untuk lahan kritis di NTB
Menurutnya, penurunan lahan kritis ini terjadi secara periodik, berdasarkan peta terbaru kawasan hutan di NTB yang dikeluarkan Kementerian LHK.
"Artinya, program penanaman (rehabilitasi) hutan yang dilakukan berhasil," ujarnya.
Burhan tidak memungkiri, untuk biaya perbaikan hutan yang rusak akibat pembukaan ladang pertanian membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk standar perbaikan saja, biaya yang dibutuhkan itu antara Rp8 juta sampai dengan Rp12 juta per hektare. Jika dikalikan dengan luas lahan kritis yang ada bisa ratusan miliar hingga triliunan anggaran yang dibutuhkan untuk memperbaiki hutan yang rusak.
"Kalau dikerjakan pemerintah sendiri butuh bertahun-tahun tapi kalau bisa ubah pola pikir masyarakat bisa 5 tahun. Ini yang kita butuhkan kalau kita sentuh (pola pikir) itu kita tidak butuh biaya banyak untuk perbaikan, seperti tadi penanaman pohon kemiri," terang Burhan.
Baca juga: Gubernur NTB menanam kemiri dan kayu putih atasi lahan kritis di Bima
Ia mengatakan anggaran untuk mengatasi lahan kritis ini dialokasikan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian LHK. Sedangkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB pada tataran pengamanan dan pengawasan.
"Kalau kita anggarannya sedikit. Tapi tetap kita usulkan minimal 2 persen dari APBD untuk pengamanan dan pengawasan tapi kita tahu karena kapasitas fiskal kita terbatas, sehingga kita tidak bisa menganggarkan lebih," ucapnya.
Lebih lanjut, dari pantauan saat ini tidak ada pembukaan lahan baru untuk kawasan hutan di NTB, mengingat tugas LHK NTB adalah bagaimana mengembalikan kawasan hutan yang sudah rusak.
"Untuk saat ini memang kerusakan hutan ini karena pembukaan lahan pertanian. Tapi tahun ini sudah kita kurangi," ujarnya.
Untuk mengurangi kerusakan hutan ini, pihaknya saat ini terus mendorong pengembangan penanaman pohon kemiri di sejumlah tempat, seperti di Lombok Barat, Dompu, dan Kabupaten Bima. Biji kemiri ini diminati utamanya untuk pasar ekspor. Contohnya, di Parado, Kabupaten Bima terdapat 600 hektar pohon kemiri.
"Satu kilogram itu harganya di atas Rp10 ribu. Dalam satu musim panen itu 4 bulan, dengan umur pohon 4 tahun sudah berbuah. Bahkan, produksi di Parado itu buah pertama dengan 150 pohon di areal 2 hektar hasilnya 1,3 ton dengan harga Rp13 juta. Keunggulan lain, pohon kemiri ini juga penghasil air. Kalau ada kemiri pasti ada air, sehingga di bawah pohon kemiri bisa ditanami pohon lain seperti durian dan ini ada contohnya di Mareje Lombok Barat," katanya.
