Jakarta (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi mengatakan relasi kuasa dan budaya patriarki yang mengakar dalam keluarga menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual dan eksploitasi yang dialami siswi kelas 5 SD di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (Sulteng).
"Dalam kasus ini, anak perempuan berada pada posisi rentan terhadap kekerasan seksual. Kekerasan seksual terjadi juga karena patriarki yang mengakar kuat dalam keluarga," kata Menteri PPPA Arifah Fauzi di Jakarta, Senin.
Pihaknya prihatin dan mengecam keras perbuatan para pelaku yang merupakan orang-orang terdekat korban.
"Keluarga yang harusnya memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak, malah menjadi pelaku kekerasan," kata Arifah Fauzi.
KemenPPPA mendorong aparat penegak hukum untuk memberikan hukuman maksimal kepada para pelaku sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Baca juga: Konferensi Pengetahuan dari Perempuan membangun pemahaman isu kekerasan
Pihaknya juga mendorong untuk kedua anak yang berkonflik dengan hukum agar diproses sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak agar mendapatkan pembinaan yang komprehensif dan tetap memperhatikan pemenuhan hak anak sebagai upaya mengembalikan kehidupannya di masyarakat.
"KemenPPPA juga akan berkoordinasi dengan UPTD PPA untuk melakukan pelaporan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar korban mendapatkan perlindungan," kata Arifatul Choiri Fauzi.
Baca juga: Wagub NTB Dinda ajak keluarga dan sekolah cegah kekerasan anak
Sebelumnya, Polres Banggai Kepulauan menetapkan delapan tersangka dalam kasus kekerasan seksual dan eksploitasi seksual yang dialami oleh siswi berusia 11 tahun. Para tersangka adalah ayah kandung korban, ibu kandung korban, kakak kandung korban, pacar korban, dan empat laki-laki hidung belang. Dari delapan tersangka, ada dua tersangka yang tidak ditahan karena masih berusia anak.
