Mataram (ANTARA) - Tahun anggaran 2026 menjadi babak ujian berat bagi keuangan daerah di seluruh Indonesia, setelah pemerintah pusat memutuskan memangkas alokasi Transfer ke Daerah (TKD) hampir 30 persen dibanding tahun sebelumnya.
Angka yang di atas kertas tampak teknokratis itu, di lapangan menjelma menjadi tantangan nyata bagi ribuan kepala daerah yang kini harus memikirkan siasat menjalankan pemerintahan, membayar pegawai, dan membangun infrastruktur ketika sumber dana utama menyusut tajam.
Kebijakan ini tidak berdiri sendiri. Pemerintah mengalihkan sebagian dana melalui program prioritas nasional seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, hingga Koperasi Desa Merah Putih.
Tujuannya agar manfaat langsung diterima masyarakat, tanpa harus menunggu proses panjang transfer anggaran. Namun, mekanisme baru ini meninggalkan ruang kosong dalam APBD daerah yang selama ini bergantung pada dana pusat.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, total dana yang dialirkan ke daerah sesungguhnya tidak berkurang, melainkan bergeser bentuknya.
Sekitar Rp1.300 triliun tetap disalurkan, tetapi lewat kementerian dan lembaga. Artinya, daerah kini harus lebih aktif berinovasi dan menyesuaikan strategi fiskal agar tidak tertinggal dalam arus perubahan.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Kabupaten Dompu menjadi salah satu daerah yang paling keras merasakan efek kebijakan ini. Tahun 2026, daerah yang dikenal dengan semboyan Nggahi Rawi Pahu itu kehilangan sekitar Rp199 miliar dana transfer dari pusat.
Untuk daerah dengan struktur ekonomi yang masih bergantung pada pertanian dan peternakan, angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potongan signifikan atas kemampuan membiayai layanan dasar publik.
Pemerintah Kabupaten Dompu mengambil dua langkah ekstrem sekaligus, yakni efisiensi dan keberanian meminjam.
Di satu sisi, Bupati Bambang Firdaus menyiapkan perampingan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menekan biaya operasional. Di sisi lain, pemerintah daerah menjajaki skema pinjaman ke PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI, BUMN di bawah Kementerian Keuangan yang menyediakan pembiayaan proyek daerah.
Langkah ini tergolong berani. Dalam konteks fiskal, pinjaman daerah bisa menjadi pedang bermata dua. Jika dikelola hati-hati, ia bisa mempercepat pembangunan infrastruktur yang tertunda karena keterbatasan dana. Namun, jika tanpa perencanaan matang, pinjaman justru bisa mengikat daerah dalam beban utang jangka panjang.
Dompu memilih berpijak pada prinsip kehati-hatian. Kajian kelayakan fiskal dan manfaat ekonomi sedang disusun, melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan PT SMI.
Pemerintah setempat menegaskan bahwa pinjaman hanya akan digunakan untuk proyek produktif yang memberi nilai tambah ekonomi, bukan belanja konsumtif.
Kondisi Dompu menjadi potret dilema banyak daerah yang berada di antara tekanan efisiensi dan dorongan untuk tetap tumbuh. Mengandalkan pemangkasan belanja rutin saja tak cukup, sementara menambah beban fiskal justru berisiko. Di titik inilah kepemimpinan daerah benar-benar diuji, bukan hanya tentang keberanian mengambil keputusan, tetapi juga kecerdasan dalam mengelola setiap konsekuensinya.
Strategi berbeda
Keterbatasan dana pusat menempatkan tiap daerah pada posisi berbeda dalam menyiasati kemandekan fiskal. Kota Mataram memilih strategi paling konservatif dengan fokus pada proyek prioritas dan menunda pembangunan yang belum mendesak.
Wali Kota Mohan Roliskana memastikan pelayanan dasar tetap jalan, sementara proyek besar seperti kantor wali kota baru dan jalan pengurai kemacetan dilanjutkan dengan anggaran ketat.
Lombok Tengah mengambil jalur efisiensi menyeluruh. Dana transfer yang turun Rp381 miliar memaksa daerah ini melakukan reprioritisasi program, menunda proyek fisik nonkontraktual, dan memperkuat PAD melalui retribusi serta digitalisasi pajak daerah.
Pemerintahnya juga memperluas peran masyarakat dan swasta melalui kemitraan pembangunan agar setiap rupiah anggaran menghasilkan dampak langsung bagi warga.
Kota Bima justru memilih jalur solidaritas fiskal. Wali Kota A. Rahman menemui Gubernur NTB untuk meminta dukungan keuangan provinsi akibat pemotongan TKD yang mencapai Rp200 miliar.
Permintaan itu bukan sekadar “minta tolong”, tetapi mencerminkan bentuk koordinasi fiskal vertikal antarlevel pemerintahan agar pelayanan publik tidak berhenti.
Di sisi lain, Kabupaten Sumbawa Barat menunjukkan wajah lain dari adaptasi fiskal. Alih-alih meminjam, bupati Amar Nurmansyah mengoptimalkan sisa lebih anggaran (Silpa) dengan menempatkannya dalam deposito perbankan dan BUMD.
Langkah itu bukan sekadar menambah bunga atau dividen, tetapi menciptakan sumber PAD pasif di tengah keketatan fiskal. Digitalisasi pajak daerah juga dilakukan untuk menekan kebocoran.
Perbandingan ini memperlihatkan spektrum respons yang beragam di NTB, mulai dari pinjaman kreatif di Dompu, efisiensi di Lombok Tengah, kolaborasi vertikal di Bima, hingga inovasi fiskal di Sumbawa Barat. Semua upaya itu bermuara pada satu tujuan yang sama, yakni bertahan dalam badai fiskal dengan cara masing-masing.
Jalan kemandirian
Pemangkasan TKD adalah momentum reflektif tentang arah desentralisasi fiskal di Indonesia. Selama lebih dari dua dekade, banyak daerah hidup dalam kenyamanan transfer pusat.
Ketika “infus fiskal” itu dikurangi, kelemahan tata kelola keuangan daerah menjadi terlihat. Kemandirian fiskal yang seharusnya menjadi tujuan otonomi, justru masih jauh dari kenyataan.
Namun, krisis sering kali menjadi awal pembaruan. Dalam tekanan, muncul inovasi dan kesadaran baru untuk menggali potensi lokal.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan, daerah harus berani mencari terobosan baru sesuai karakter wilayah. Ia mencontohkan, provinsi yang mampu menembus ekspor hortikultura ke Singapura atau menggerakkan ekonomi desa melalui koperasi, membuktikan bahwa sumber pertumbuhan tidak selalu dari pusat.
Dompu, dengan segala keterbatasannya, punya peluang serupa. Daerah ini memiliki potensi jagung, sapi, dan wisata alam yang bisa dikembangkan melalui model kerja sama publik-swasta.
Jika pinjaman ke PT SMI diarahkan untuk memperkuat infrastruktur pertanian, jaringan irigasi, atau pusat logistik hasil ternak, maka utang bukan lagi beban, melainkan investasi jangka panjang.
Kemandirian fiskal bukan hanya soal menambah pendapatan, tetapi juga memperbaiki kualitas belanja. Seperti diingatkan Menkeu Purbaya, perbaikan tata kelola dan efisiensi birokrasi adalah kunci.
Anggaran harus diarahkan pada kegiatan produktif yang memberi dampak sosial dan ekonomi nyata. Penghematan bukan berarti pasif, melainkan cerdas dalam memilih prioritas.
Refleksi
Gelombang pengurangan dana pusat sejatinya menguji kematangan desentralisasi. Di satu sisi, pemerintah daerah dituntut mandiri, di sisi lain, mereka masih belajar menata prioritas dan mengelola risiko.
Di tengah ketegangan itu, muncul pelajaran penting bahwa uang bukan segalanya, manajemen adalah segalanya.
Dompu mungkin memilih pinjaman, Lombok Tengah efisiensi, Mataram selektif, Sumbawa Barat berinovasi. Tak ada satu resep tunggal untuk semua. Tetapi yang pasti, kemandirian fiskal hanya bisa dicapai ketika daerah tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pusat.
Krisis fiskal kali ini bisa menjadi momentum pembaruan tata kelola keuangan daerah. Pemerintah daerah yang adaptif akan menjadikan tekanan ini sebagai bahan bakar inovasi. Sebab, dana bisa berkurang, tetapi ide, keberanian, dan integritas tak pernah boleh kering.
Selama masih ada kemauan menggali potensi di tanah sendiri, Dompu dan NTB membuktikan bahwa semangat kemandirian fiskal bukanlah utopia. Ia tumbuh dari kesadaran sederhana yakni membangun daerah bukan sekadar menunggu kiriman dana, tetapi mencipta jalan ketika anggaran menipis.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Dompu di persimpangan fiskal
