Mataram (ANTARA) - Gubernur Nusa Tenggara Barat, Lalu Muhamad Iqbal mendukung penerapan pidana kerja sosial yang dinilai dapat memberikan efek jera lebih kuat, terutama bagi residivis.
"Alhamdulillah, kita sudah menandatangani MoU antara Kejati NTB dengan Pemprov NTB mengenai implementasi KUHP baru khususnya bagaimana kerja sosial. Ini akan menyelesaikan banyak persoalan yang muncul dalam sistem peradilan pidana kita," kata Iqbal di Mataram, Rabu.
Didampingi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Asep Nana Mulyana di Pendopo Gubernur NTB, Gubernur Igbal mengatakan, hukuman sosial memiliki tekanan moral yang tidak kalah berat dibandingkan hukuman badan.
"Saya menduga rasanya akan lebih berat sebetulnya orang itu kalau dihukum dengan kerja sosial daripada di penjara. Karena sehari-hari harus bertemu masyarakat pakai seragam. Dan orang tahu bahwa dia adalah residivis. Bahwa dia adalah tahanan," ujarnya.
"Jadi, hukuman sosial ini lebih jauh lebih berat, akan rasanya akan jauh lebih berat hukuman sosial ini ketimbang hukuman badan di penjara," sambung Gubernur NTB.
Baca juga: Jampidum: Pidana kerja sosial instrumen baru dalam KUHP
Gubernur menekankan perlunya memperluas ruang kerja sosial, bukan hanya di sektor pemerintahan, tetapi juga melalui kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi sosial.
"Ke depan harusnya pekerja sosial ini tidak hanya bekerja sosial di sektor pemerintahan, tetapi juga di NGO, di LSM-LSM. Nanti kita bantu memetakan LSM-LSM yang memang fokus di social worker," terang Iqbal.
Ia menyebut sejumlah jaringan sosial di NTB yang dapat dilibatkan, seperti LKKS dan LKSA yang menaungi berbagai lembaga dan panti asuhan juga bisa dilibatkan.
"Kita punya yang namanya LKKS dan mereka memang fokus-nya, lembaga ini adalah menggerakkan LSM-LSM dan jaringan-jaringan pekerja sosial, di panti-panti asuhan. Ada lagi namanya LKSA. LKSA ini spesifik memang menjadi forum koordinasi untuk rumah yatim piatu, panti asuhan. Jadi simpul-simpul kerja sosial ini cukup banyak dan ini kita bisa manfaatkan," katanya.
Sementara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Asep Nana Mulyana, mengatakan bahwa pidana kerja sosial dapat disesuaikan dengan nilai-nilai lokal setiap daerah, sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah.
"Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang leaving law, RPP tentang kearifan lokal. Jadi bagaimana mekanismenya ketika misalnya suatu tindak pidana di satu daerah, lalu kemudian ada adat setempat, kearifan yang musti kita bangun dalam sisi badan dan masyarakat," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penerapan pidana kerja sosial bertujuan mengurangi kepadatan lapas, memulihkan pelaku agar kembali berkontribusi positif di masyarakat, serta memastikan pelaksanaannya memenuhi kualifikasi profesional melalui kolaborasi antar instansi.
Diketahui Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB bersama Kejaksaan Tinggi NTB menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang Penerapan Pidana Kerja Sosial Bagi Pelaku Tindak Pidana sebagai langkah awal menjelang implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku penuh pada 2026. Penandatangan MoU ini juga dilakukan antara Pemkab/Pemkot di NTB dengan masing-masing Kejari.
