Probolinggo (ANTARA) - “Tuhan mencipta, manusialah menjaga”
Seperti pagi-pagi sebelumnya. Sehabis sholat subuh. Saya hampir selalu bersepeda. Ditemani kedua kedua anak saya bersepeda untuk keliling desa menikmati sawah, pohon dan tumbuhan liar yang lagi berembun dan berbunga. Sesekali mengambil foto dan mencium harum bunga indah yang sedang mekar. hatipun bersyukur, betapa nikmatnya alam semesta.
Keadaan yang saya alami sangat jauh berbeda dengan peritiwa-peristiwa yang terjadi di beberapa daerah, muai dari musibah banjir bandang di Aceh dan Sumatera, masalah tambang yang terkesan mengambang hampir diseluruh daerah, penebangan hutan yang tak jelas manfaatnya dan paling menyayat hati, semua peristiwa tersebut manusia yang menjadi korban. Baik jangka pendek maupun jangka Panjang.
Sebagai orang desa sekaligus warga negara Indonesia ingin berbagi pandangan sederhana sekedar menggugah kesadaran, sekaligus menggetuk kerasnya hati pemegang kuasa.
Bahwa peristiwa yang terjadi diluar diri kita sebenarnya merupakan peristiwa yang ada dalam diri kita. Kenyataan yang terjadi hakikatnya adalah cermin kenyataan yang ada dalam diri kita. Maksudnya, bila kita tidak memiliki rasa empati, mengumbar nafsu kuasa, sombong, berjiwa merusak maka yang terjadi keretakan hubungan manusia, kerusakan alam dan keserakahan menumpuk harta.
Contoh sederhana, bila kita suka menanam pohon, berlaku sopan, berbuat baik sebenarnya kita memiliki niat untuk selalu menjaga sesama dengan baik, sopan dan mencintai lingkungan.
Sebaliknya, bila kita tidak menjaga diri, suka mengambil daripada memberi, suka menebang daripada menanam, suka makan berlebih daripada kebutuhan, suka membuat sampah sembarang, daripada mengelola sampah. Apa coba yang terjadi? Lingkungan menjadi panas, karena tidak ada tumbuhan yng rindang. bau sampah yang kemana-mana tanpa kepedulian, Kesehatan tubuh menjadi rentan akan penyakit dan banyak yang lain.
Melihat kenyataan ini, saya ingin menawarkan dua pandangan mendasar mudah-mudahan mampu menyegarkan Kembali dalam pikiran dan hati kita.
Pertama, dari sisi budaya. kita harus memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa manusia dan alam adalah satu. saling bergantung. Saling melengkapi. Dan saling memberi. Serta tidak bisa berdiri sendiri.
Dalam budaya Jawa misalnya, ada istilah ruwatan. Yakni upacara penghormatan kepada alam bila mengalami kerusakan. Sebagai bentuk tanggung jawab untuk merawat ulang dan saling memperbaiki.
Dengan budaya tersebut akan terbangun, alam dan manusia adalah entitas kehidupan yang saling menghidupi. Makanya event-event budaya untuk meningkatkan tradisi saling bergantung harus terus di upayakan dan disakralkan. Bukan sekedar seremonial untuk menyerap anggaran.
Selain itu, untuk meningkatkan budaya lestari bersama alam. Kita harus melakukan kerja-kerja nyata secara ekonomi kepada lapisan masyarakat untuk selalu bisa memanfaatkan hutan. Bukan menebang. Tetapi membuat peluang ekonomi baru yang bersifat income pendapatan. Biar mereka menadi sejahtera. Misalnya, dengan menami pohon jagung, ubi jalar, kedela dll yang memiliki durasi waktu pendek dan menghasilkan. Dengan begitu, masyarakat secara otomatis akan menjaga dan memanfaatkan hutan. Makna manusia dan hutan saling membutuhkan menemukan kenyataannya.
Kedua, Dalam perspektif agama, alam semesta diciptakan Tuhan untuk menusia. sebab manusia adalah makhluk termulia yang mampu Kembali kepada tuhannya. Kemulian manusia karena dua unsur pokok dalam dirinya. Unsur pertama, adalah manusia sebagai makhluk raga (jisim). Hal ini memiliki kesamaan dengan makhluk lain seperti batu, tanah, pohon,hewan dan sebagainya.
Unsur kedua, bahwa manusia sebagai perwujudan tuhan dalam semesta. Sebagai bentuk tuhan ingin mengenalkan diri sekaligus bukti tuhan maha kuasa. Makanya dalam al-Qur’an menjelaskan Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah (pemimpin/wakil) di bumi untuk memakmurkannya dan melaksanakan perintahnya (Q.S Al-Baqarah: 30). Jadi jelas, manusia di utus semesta untuk mnjadikan alam menjadi lebih indah, manfaat dan penuh keberkahan. Bukan merusak dan hanya mengambil manfaat.
Cukuplah budaya dan agama menjaga alam semesta, khususnya hutan. Bagi orang desa seperti saya, budaya dan agama tidaklah serumit tulisan-tulisan media sosia dan bangku-bangku akademis. Kadang mengerti, memahami dan menyadari itu ada dalam pelaksanaanya. Merasakan dengan menjalaninya. Percaya melalui manfaat yang didapat.
Sebab budaya itu sopan santun kita kepada alam semesta. Sedang agama adalah keterpautan hubungan kita dengan tuhan. Billa tiada keduanya. untuk apa kita ada.
*) Penulis adalah pengamal tarekat