Jakarta (ANTARA) - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengatakan masalah pengelolaan keuangan di tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bersifat "gigantic" (masif) dan menimbulkan risiko sistemik.
Agung menyebutkan lembaganya sebagai badan auditor negara, bahkan sudah melakukan dua kali pemeriksaan yang bersifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) dan audit investigasi dalam kurun 2010 hingga 2019. Hasilnya, kata Agung, masalah keuangan Jiwasraya sangat besar dan "kesalahan yang sama" diduga dilakukan berkali-kali.
"Ini bisa saya sebut masalah yang gigantic dan berisiko sistemik," kata Agung.
Hingga saat ini, BPK masih berusaha merampungkan audit investigasi kepada Jiwasraya. BPK juga sedang bekerja sama dengan PPATK untuk melacak aliran uang dari premi Produk Jiwasraya Saving Plan (JS Plan). Produk investasi berbalut asuransi JS Plan dinilai bermasalah karena menawarkan bunga sangat tinggi yang tidak sebanding dengan kemampuan Jiwasraya.
Sebagai gambaran, audit PDTT dan investigasi yang dilakukan BPK bukan merupakan mekanisme audit biasa dan harus didahului oleh rekomendasi atau permintaan dari DPR atau penegak hukum.
5.000 transaksi
Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan setidaknya ada lebih dari 5.000 transaksi investasi dari dana premi Jiwasraya yang mesti diteliti pihaknya untuk membongkar kasus PT Jiwasraya secara utuh. Karena itu, pihaknya enggan terburu-buru untuk menaikkan status pihak tertentu menjadi tersangka.
"Justru itu kami bedah dulu yang transaksi yang lima ribu ini. Jangan sampai salah menetapkan tersangka," kata Burhanuddin.
Dia pun meminta semua pihak bersabar hingga Korps Adhyaksa menetapkan tersangka dalam kasus ini pada saat yang tepat. Yang jelas penyelidikan terhadap 5.000 transaksi itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Burhanuddin mengestimasikan penyelidikan kasus Jiwasraya membutuhkan waktu dua bulan sejak saat ini.
Untuk mendalami ribuan transaksi tersebut, Burhanuddin mengatakan pihaknya juga turut bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Kami perlu waktu (untuk mendapati) mana transaksi bodong, mana transaksi digoreng, mana transaksi yang benar. Kita tidak bisa melakukan hal dengan gegabah karena akibatnya tidak baik," ujarnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung menyebutkan potensi kerugian negara karena kebijakan investasi Jiwasraya mencapai Rp13,7 triliun.