Jakarta (ANTARA) - Konsultan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA), Mawar Nita Pohan mengatakan anak dengan keterbatasan perkembangan mental, tingkah laku, dan kecerdasan atau tunagrahita harus dibekali pendidikan kesehatan reproduksi agar siap menghadapi masa pubertas.
"Anak tunagrahita juga punya pertumbuhan fisik dan banyak yang tidak berbeda dengan anak lain. Mereka juga mengalami pubertas, tumbuh punya tubuh dewasa, mengalami menstruasi atau mimpi basah, dan mulai ada ketertarikan seksual terhadap orang lain, dan sebagainya. Hal seperti ini perlu kita siapkan untuk menghadapinya," kata Mawar dalam webinar "Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Anak Tunagrahita" yang diikuti daring dari Jakarta, Selasa.
Menurut Mawar, pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak tunagrahita bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua, melainkan juga guru di sekolah. Ia menyatakan anak-anak, termasuk anak tunagrahita bisa mendapatkan pengalaman terkait seksualitas dari mana saja termasuk keluarga, teman, dan lingkungan sekitar.
Sayangnya, kata dia, ada kekhawatiran jika informasi yang mereka dapatkan adalah informasi yang negatif, sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok yang lebih rentan terhadap kasus pelecehan atau kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku karena ketidaktahuannya.
Sehingga, lanjutnya, sebagai lembaga pendidikan yang selalu didatangi setiap hari, sekolah diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran yang paling dapat dipercaya oleh anak-anak tunagrahita.
"Oleh karena itu, pendidikan ini sebaiknya sudah bisa kita mulai sejak dini. Tapi, tentu saja bertahap, sesuaikan dengan tahap perkembangannya, tahap kebutuhannya, dan juga usianya," imbuh Mawar.
Pendidikan kesehatan reproduksi yang diselenggarakan di sekolah, menurut Mawar, merupakan proses pembelajaran berbasis kurikulum yang mencakup aspek kognitif, emosional, fisik, dan sosial dari kesehatan reproduksi.
Ia menjelaskan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif tersebut bertujuan untuk membekali anak dan remaja dengan informasi yang akurat, mengembangkan life skills, serta membentuk nilai-nilai positif.
Baca juga: Anak disabilitas Yogyakarta harapkan pemenuhan-perlindungan hak
Baca juga: Perlu penguatan Komnas Disabilitas dalam pemenuhan hak
"Life skills ini tentu bukan hanya berkaitan dengan kemampuan mereka untuk mandiri, membersihkan diri, dan lain sebagainya, tapi juga kemampuan mereka untuk melindungi dirinya dari situasi yang tidak aman, menjalin relasi yang sehat, berkomunikasi secara asertif, dan membuat pilihan positif," ujar Mawar.
Melalui pendidikan kesehatan reproduksi, katanya, anak minimal tahu bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain. "Lalu, kalau tidak boleh disentuh, bagaimana caranya mereka menyampaikan penolakan. Kalau mengalami pemaksaan, apa yang harus dilakukan? Itu saja dulu yang kita harapkan bisa mereka terapkan," katanya.
Dengan demikian, anak-anak tunagrahita ke depannya diharapkan dapat mewujudkan kesehatan, kesejahteraan, dan martabat mereka, mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang saling menghargai, mempertimbangkan bagaimana pilihan mereka mempengaruhi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain, serta memahami dan memastikan perlindungan atas hak mereka.
"Anak tunagrahita juga punya pertumbuhan fisik dan banyak yang tidak berbeda dengan anak lain. Mereka juga mengalami pubertas, tumbuh punya tubuh dewasa, mengalami menstruasi atau mimpi basah, dan mulai ada ketertarikan seksual terhadap orang lain, dan sebagainya. Hal seperti ini perlu kita siapkan untuk menghadapinya," kata Mawar dalam webinar "Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Anak Tunagrahita" yang diikuti daring dari Jakarta, Selasa.
Menurut Mawar, pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak tunagrahita bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua, melainkan juga guru di sekolah. Ia menyatakan anak-anak, termasuk anak tunagrahita bisa mendapatkan pengalaman terkait seksualitas dari mana saja termasuk keluarga, teman, dan lingkungan sekitar.
Sayangnya, kata dia, ada kekhawatiran jika informasi yang mereka dapatkan adalah informasi yang negatif, sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok yang lebih rentan terhadap kasus pelecehan atau kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku karena ketidaktahuannya.
Sehingga, lanjutnya, sebagai lembaga pendidikan yang selalu didatangi setiap hari, sekolah diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran yang paling dapat dipercaya oleh anak-anak tunagrahita.
"Oleh karena itu, pendidikan ini sebaiknya sudah bisa kita mulai sejak dini. Tapi, tentu saja bertahap, sesuaikan dengan tahap perkembangannya, tahap kebutuhannya, dan juga usianya," imbuh Mawar.
Pendidikan kesehatan reproduksi yang diselenggarakan di sekolah, menurut Mawar, merupakan proses pembelajaran berbasis kurikulum yang mencakup aspek kognitif, emosional, fisik, dan sosial dari kesehatan reproduksi.
Ia menjelaskan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif tersebut bertujuan untuk membekali anak dan remaja dengan informasi yang akurat, mengembangkan life skills, serta membentuk nilai-nilai positif.
Baca juga: Anak disabilitas Yogyakarta harapkan pemenuhan-perlindungan hak
Baca juga: Perlu penguatan Komnas Disabilitas dalam pemenuhan hak
"Life skills ini tentu bukan hanya berkaitan dengan kemampuan mereka untuk mandiri, membersihkan diri, dan lain sebagainya, tapi juga kemampuan mereka untuk melindungi dirinya dari situasi yang tidak aman, menjalin relasi yang sehat, berkomunikasi secara asertif, dan membuat pilihan positif," ujar Mawar.
Melalui pendidikan kesehatan reproduksi, katanya, anak minimal tahu bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain. "Lalu, kalau tidak boleh disentuh, bagaimana caranya mereka menyampaikan penolakan. Kalau mengalami pemaksaan, apa yang harus dilakukan? Itu saja dulu yang kita harapkan bisa mereka terapkan," katanya.
Dengan demikian, anak-anak tunagrahita ke depannya diharapkan dapat mewujudkan kesehatan, kesejahteraan, dan martabat mereka, mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang saling menghargai, mempertimbangkan bagaimana pilihan mereka mempengaruhi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain, serta memahami dan memastikan perlindungan atas hak mereka.