Mataram, (Antara NTB)- Ketua Komisi I DPRD Sumbawa Barat M Thamzil mendukung pelaksanaan tes "DNA" terhadap anak yang lahir diduga karena tindak asusila agar kasus tersebut segera terungkap.
Ketika dikonfirmasi dari Mataram, Jumat, Thamzil menyatakan tes "DNA" bisa menjadi pintu masuk untuk pengungkapan kasus tersebut, karena umumnya kasus pelecehan dan kekerasaan seksual terhadap anak sulit dan membutuhkan waktu cukup lama untuk dibuktikan.
"Kami mendukung sepenuhnya langkah penyidik dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) melakukan tes `DNA` dalam kasus ini. Ini penting agar segera ada kepastian hukum," kata Thamzil.
Politisi Partai Golkar itu juga menyatakan prihatin atas tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Sumbawa Barat.
Menurut dia, salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menekan kasus tersebut adalah penerapan hukum maksimal terhadap pelaku.
"Pelaku memang harus dihukum berat agar ada efek jera. Penerapan hukum seperti itu juga penting sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap anak," katanya.
Fakta bahwa umumnya pelaku adalah orang dekat di lingkungan sekitar tempat tinggal dan pergaulan anak, ini juga harus menjadi perhatian semua pihak.
"Bukan hanya orang tua, masyarakat juga perlu terlibat dalam pengawasan agar kasus seperti ini tidak terulang lagi," ujarnya.
Seperti diberitakan, LPA dan tim Pusdokes Polres Sumbawa Barat pekan lalu melakukan pengambilan sampel darah dalam rangka penyelidikan kasus dugaan asusila terhadap seorang anak di Kecamatan Seteluk, Sumbawa Barat pada akhir 2013.
Korban berusia 14 tahun dan duduk dibangku kelas 1 SMP saat kasus itu terjadi. Terduga pelaku adalah tetangga korban. Akibat dugaan tindak asusila itu, korban hamil dan melahirkan. Kasus itu baru dilaporkan pada Juni 2014 saat usia kehamilan sudah enam bulan.
Proses pengambilan darah dilaksanakan pada Maret 2015 karena menunggu usia bayi yang lahir diduga akibat kasus tersebut, cukup untuk diambil sampel darahnya.
Ketua LPA Sumbawa Barat Aliatullah mengatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak di daerah ini tergolong tinggi. Sejak Juni 2014 sampai awal 2015, tercatat ada enam kasus kekerasan seksual dan penganiayaan terhadap anak yang diadvokasi lembaga tersebut.
"Seluruh kasus tersebut sudah diproses hukum. Kami memperkirakan sebenarnya jumlah kasus yang terjadi lebih banyak. Hanya saja, korban maupun keluarganya kebanyakan tidak melapor karena malu atau dianggap sebagai aib," katanya. (*)
Ketika dikonfirmasi dari Mataram, Jumat, Thamzil menyatakan tes "DNA" bisa menjadi pintu masuk untuk pengungkapan kasus tersebut, karena umumnya kasus pelecehan dan kekerasaan seksual terhadap anak sulit dan membutuhkan waktu cukup lama untuk dibuktikan.
"Kami mendukung sepenuhnya langkah penyidik dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) melakukan tes `DNA` dalam kasus ini. Ini penting agar segera ada kepastian hukum," kata Thamzil.
Politisi Partai Golkar itu juga menyatakan prihatin atas tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Sumbawa Barat.
Menurut dia, salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menekan kasus tersebut adalah penerapan hukum maksimal terhadap pelaku.
"Pelaku memang harus dihukum berat agar ada efek jera. Penerapan hukum seperti itu juga penting sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap anak," katanya.
Fakta bahwa umumnya pelaku adalah orang dekat di lingkungan sekitar tempat tinggal dan pergaulan anak, ini juga harus menjadi perhatian semua pihak.
"Bukan hanya orang tua, masyarakat juga perlu terlibat dalam pengawasan agar kasus seperti ini tidak terulang lagi," ujarnya.
Seperti diberitakan, LPA dan tim Pusdokes Polres Sumbawa Barat pekan lalu melakukan pengambilan sampel darah dalam rangka penyelidikan kasus dugaan asusila terhadap seorang anak di Kecamatan Seteluk, Sumbawa Barat pada akhir 2013.
Korban berusia 14 tahun dan duduk dibangku kelas 1 SMP saat kasus itu terjadi. Terduga pelaku adalah tetangga korban. Akibat dugaan tindak asusila itu, korban hamil dan melahirkan. Kasus itu baru dilaporkan pada Juni 2014 saat usia kehamilan sudah enam bulan.
Proses pengambilan darah dilaksanakan pada Maret 2015 karena menunggu usia bayi yang lahir diduga akibat kasus tersebut, cukup untuk diambil sampel darahnya.
Ketua LPA Sumbawa Barat Aliatullah mengatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak di daerah ini tergolong tinggi. Sejak Juni 2014 sampai awal 2015, tercatat ada enam kasus kekerasan seksual dan penganiayaan terhadap anak yang diadvokasi lembaga tersebut.
"Seluruh kasus tersebut sudah diproses hukum. Kami memperkirakan sebenarnya jumlah kasus yang terjadi lebih banyak. Hanya saja, korban maupun keluarganya kebanyakan tidak melapor karena malu atau dianggap sebagai aib," katanya. (*)