Mataram (ANTARA) - Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat menyerahkan kasus dugaan pungutan liar sewa-menyewa dan jual beli lahan pemerintah seluas 65 hektare di Gili Trawangan, Lombok Utara, dalam periode kontrak kerja sama pengelolaan dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) ke kepolisian.
"Untuk kasus yang itu (pungli) sudah kami serahkan ke Polda NTB," kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Selasa.
Pertimbangan penyerahan kasus tersebut ke Polda NTB, jelas dia, melihat hasil koordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
"Jadi, bersama BPKP kami punya pendapat yang sama bahwa korupsi itu terjadi kalau lahannya beralih nama. Sedangkan kepemilikan lahan ini masih di pemprov, jadi di sini kerugian negaranya tidak ada," jelasnya.
Baca juga: Kejati NTB menggandeng BPKP audit kerugian perkara korupsi aset Trawangan
Baca juga: Kejaksaan: Penyidikan korupsi aset Gili Trawangan terus berjalan
Dengan melihat pendapat itu, penyidik menyimpulkan kasus dugaan pungli sewa-menyewa dan jual beli lahan yang terjadi secara masif dan ilegal selama kontrak kerja sama pengelolaan dengan PT GTI berjalan, tidak masuk kategori perbuatan korupsi.
"Itu makanya GTI tidak masuk ke ranah tindak pidana korupsi karena asetnya tetap nama pemprov (pemerintah provinsi)," ucapnya.
Dia juga menjelaskan bahwa adanya transaksi sewa-menyewa dan jual beli lahan tanpa ada persetujuan dari pemilik lahan, dalam hal ini Pemerintah Provinsi NTB, hal tersebut bagian dari perbuatan melawan hukum.
"Itu potensi (pelanggaran hukum), penyerobotan lahan itu namanya, dan itu tindak pidana umum," kata Ely.
Dengan menyimpulkan hal ini bagian dari perbuatan tindak pidana umum, kejaksaan menyerahkan kasus tersebut ke Polda NTB.
Baca juga: Harga sewa kaveling di areal GTI Rp1 miliar per tahun
Baca juga: Kejati NTB menangani laporan dugaan pungli aset di Gili Trawangan
"Untuk kasus yang itu (pungli) sudah kami serahkan ke Polda NTB," kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Selasa.
Pertimbangan penyerahan kasus tersebut ke Polda NTB, jelas dia, melihat hasil koordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
"Jadi, bersama BPKP kami punya pendapat yang sama bahwa korupsi itu terjadi kalau lahannya beralih nama. Sedangkan kepemilikan lahan ini masih di pemprov, jadi di sini kerugian negaranya tidak ada," jelasnya.
Baca juga: Kejati NTB menggandeng BPKP audit kerugian perkara korupsi aset Trawangan
Baca juga: Kejaksaan: Penyidikan korupsi aset Gili Trawangan terus berjalan
Dengan melihat pendapat itu, penyidik menyimpulkan kasus dugaan pungli sewa-menyewa dan jual beli lahan yang terjadi secara masif dan ilegal selama kontrak kerja sama pengelolaan dengan PT GTI berjalan, tidak masuk kategori perbuatan korupsi.
"Itu makanya GTI tidak masuk ke ranah tindak pidana korupsi karena asetnya tetap nama pemprov (pemerintah provinsi)," ucapnya.
Dia juga menjelaskan bahwa adanya transaksi sewa-menyewa dan jual beli lahan tanpa ada persetujuan dari pemilik lahan, dalam hal ini Pemerintah Provinsi NTB, hal tersebut bagian dari perbuatan melawan hukum.
"Itu potensi (pelanggaran hukum), penyerobotan lahan itu namanya, dan itu tindak pidana umum," kata Ely.
Dengan menyimpulkan hal ini bagian dari perbuatan tindak pidana umum, kejaksaan menyerahkan kasus tersebut ke Polda NTB.
Baca juga: Harga sewa kaveling di areal GTI Rp1 miliar per tahun
Baca juga: Kejati NTB menangani laporan dugaan pungli aset di Gili Trawangan