Mataram (ANTARA) - Di kios-kios pupuk yang tersebar di Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), antrean petani kerap tampak sejak pagi. Mereka membawa KTP, satu-satunya syarat penebusan pupuk bersubsidi pada era digitalisasi.
Pemandangan itu menjadi simbol perubahan besar dalam tata kelola pupuk, sekaligus gambaran betapa kritikalnya pupuk bagi sentra jagung terbesar di NTB, wilayah yang selama satu dekade terakhir tumbuh sebagai motor produksi jagung nasional.
Berdaulat pangan tidak mungkin dicapai tanpa fondasi industri pupuk yang kuat. NTB yang menyumbang lebih dari separuh produksi jagungnya dari Dompu dan Bima, menjadi laboratorium penting untuk melihat bagaimana efisiensi pupuk menentukan produktivitas, kesejahteraan petani, dan keberlanjutan ekologi.
Upaya perbaikan tata kelola, digitalisasi penyaluran, hingga transformasi rantai distribusi pupuk oleh Pupuk Indonesia adalah bagian dari ekosistem besar untuk memperkuat ketahanan pangan.
Namun, jejaknya di lapangan tidak selalu mulus. Ada gangguan distribusi, penyalahgunaan pupuk, hingga tekanan pada lahan yang beralih fungsi masif.
Di tengah itu semua, pertanyaannya tetap sama bagaimana membangun industri pupuk yang menopang pangan berdaulat, bukan sekadar menyediakan pupuk tetapi juga memastikan pemanfaatannya efektif?
Tantangan
NTB memiliki dua wajah sekaligus.
Di satu sisi, daerah ini menjadi salah satu lumbung jagung terbesar di Indonesia. Bulog menargetkan penyerapan 9.000 ton jagung tahun 2025 dari Bima dan Dompu, sebuah cerminan potensi yang terus meningkat.
Di sisi lain, tekanan terhadap ekosistem meningkat. Catatan terbaru Walhi menyebutkan lebih dari 30.000 hektare lahan perbukitan beralih fungsi menjadi ladang jagung dan memicu kerentanan banjir.
Perubahan lanskap itu menegaskan bahwa produksi pangan tidak bisa berdiri sendiri tanpa tata kelola lahan dan penggunaan pupuk yang efisien.
Efisiensi pupuk menjadi kata kunci. Bukan hanya tepat jenis, tetapi juga tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat sasaran. Pupuk yang berlebih mempercepat degradasi tanah, tetapi pupuk yang kurang membuat produktivitas mandek.
Tantangan itu menjadi semakin besar karena pupuk bersubsidi adalah komoditas strategis yang rentan penyalahgunaan.
Polisi telah menangani beberapa dugaan penyalahgunaan pupuk di Bima. Kelangkaan, harga melambung, hingga penjarahan truk pengangkut adalah cerita lama yang kembali muncul setiap musim tanam.
Situasi itu menunjukkan bahwa industri pupuk tidak hanya soal kapasitas produksi, tetapi juga integritas distribusi.
Digitalisasi menjadi jalan keluar yang dipilih Pupuk Indonesia. i-Pubers, aplikasi untuk penebusan pupuk bersubsidi, diperkenalkan kepada distributor dan kios resmi sebagai alat untuk memastikan pupuk tersalurkan sesuai rencana definitif kebutuhan kelompok.
Petani cukup membawa KTP, sisanya aplikasi akan merekam lokasi, waktu, dan jumlah pupuk yang ditebus melalui fitur biotagging. Data itu menjadi basis akuntabilitas, memutus praktik manipulasi, dan mempercepat validasi kebutuhan.
Namun digitalisasi saja tidak cukup. Serapan pupuk organik subsidi masih rendah. Padahal pupuk organik seperti Petroganik sangat vital untuk memperbaiki struktur lahan dan meningkatkan efisiensi pupuk kimia.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketergantungan pada pupuk kimia meningkat seiring intensifikasi jagung. Pola seperti itu, jika terus berlanjut, berpotensi memerangkap petani dalam siklus kebutuhan pupuk yang makin tinggi tetapi produktivitas stagnan.
Di tingkat distribusi, Pelindo Lembar mencatat kenaikan distribusi pupuk sebesar 8,6 persen pada 2025. Angka itu menunjukkan kebutuhan yang terus meningkat.
Namun strategi distribusi yang kuat harus diimbangi pengawasan berlapis untuk memastikan pupuk benar-benar berakhir di tangan petani yang berhak.
Di titik ini, efisiensi bukan hanya soal teknis pemupukan, melainkan soal tata kelola.
Transformasi
Industri pupuk nasional, terutama melalui Pupuk Indonesia, sedang menjalani transformasi besar. Implementasi e-RDKK untuk 2026 menjadi tonggak penting.
Data yang akurat menjadi fondasi agar subsidi tidak salah arah. Pendataan yang realistis misalnya mencatat lahan tadah hujan hanya satu musim tanam menjadi kunci agar alokasi pupuk tidak bias dan tepat sasaran.
Dukungan ketersediaan pupuk terus diperkuat. Pupuk Indonesia menyiapkan 44.642 ton stok di gudang Lini III NTB, dengan realisasi penyaluran mencapai 236.172 ton sepanjang tahun 2025.
Urea masih mendominasi kebutuhan, sementara NPK dan organik mengisi struktur pemupukan yang lebih berimbang. Pada wilayah intensif jagung seperti Dompu dan Bima, produk NPK menjadi pilar untuk menunjang peningkatan produktivitas.
Transformasi juga menyentuh aspek edukasi. Sosialisasi pupuk organik dan pendampingan pemupukan tidak lagi menjadi agenda pinggir.
Ketika tanah mulai menurun kualitasnya akibat penggunaan pupuk kimia intensif, pupuk organik berperan mengembalikan kesuburan. Ini penting karena pangan berdaulat membutuhkan produksi yang berkelanjutan, bukan sekadar tinggi pada satu musim.
Di lapangan, pergeseran pola pikir petani menjadi penentu. Tanpa perubahan perilaku, struktur industri pupuk yang canggih tidak akan berdampak optimal.
Efisiensi penggunaan pupuk, praktik pertanian ramah lingkungan, dan pemetaan lahan menjadi kunci untuk mencegah pembabatan lahan yang berlebihan.
Dalam jangka panjang, pangan berdaulat harus berjalan seiring dengan tata kelola lingkungan yang sehat.
Transformasi industri pupuk juga harus memperhatikan dinamika distribusi. Kenaikan distribusi yang dicatat Pelindo Lembar merupakan kesempatan untuk memperkuat logistik agraria.
Pupuk yang mengalir lancar ke sentra produksi menjamin petani memiliki kepastian dalam perencanaan musim tanam.
Menuju pangan berdaulat
Pangan berdaulat tidak dibangun dalam sehari, tetapi ia ditentukan oleh kebijakan yang konsisten dan ekosistem yang saling terhubung. Industri pupuk merupakan salah satu pondasinya.
Di NTB, jejak efisiensi pupuk terlihat jelas dalam keberhasilan jagung, tetapi juga dalam tantangan ekologis yang mengintai. Transformasi Pupuk Indonesia adalah langkah penting, tetapi pekerjaan rumah masih banyak.
Pemda perlu menetapkan batas tegas dalam pembukaan lahan baru, sekaligus mempercepat pemulihan lahan yang sudah terdegradasi.
Validasi data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) harus benar-benar mencerminkan kebutuhan riil di lapangan agar pupuk tepat sasaran. Edukasi pemupukan seharusnya menjadi agenda wajib setiap musim tanam.
Jika industri pupuk dapat dikelola dengan efisien, transparan, dan berkelanjutan, maka pangan berdaulat bukan hanya slogan, melainkan kenyataan.
Pada akhirnya, kedaulatan pangan bukan hanya persoalan produksi, tetapi soal keberanian membangun tata kelola yang menjadikan petani sebagai subjek utama, bukan sekadar penerima kebijakan.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah NTB mampu menjadi lumbung jagung nasional? Namun, apakah industri pupuknya mampu menopang lumbung itu secara berkelanjutan?
Sebab, masa depan pangan Indonesia ditentukan dari apa yang ditanam hari ini, dan bagaimana kita merawat tanahnya.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jejak efisiensi pupuk di NTB