Dinamika pokir dalam Ketatanegaraan Indonesia

id Pokir ,Mahasiswa ,Politik ,Efisiensi Oleh Murdi *)

Dinamika pokir dalam Ketatanegaraan Indonesia

Mahasiwa Doktor Hukum dan Pembangunan pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Murdi (ANTARA/HO-Murdi)

Mataram (ANTARA) - Politik hukum Program Pengembangan Daerah Pemilihan (P2DP) atau yang populis dalam narasi publik sebagai “dana pokok pikiran (POKIR) dewan” seolah tidak berdaya untuk melepaskan diri dari dialektika ketatanegaraan di Indonesia.

Dalam catatan historisnya, gagasan ini pernah menjadi salah satu wacana paling kontroversial. Pada mulanya, ide ini berangkat dari kehendak sebagian anggota legislator yang meminta negara memfasilitasi instrumen penyaluran aspirasimasyarakat di daerah asal pemilihannya dapat dilaksanakan secara langsung dalam pembangunan.

Dalam tataran ide, kehendak ini terlihat sangat bermartabat dan syarat nilai aksiologis. Namun, di balik itu semua, sesungguhnya terdapat persoalan serius pada aspek relasi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang menyentuh ranah jantungkonstitusi kita.

Pada tahun 2010, legislator mengusulkan alokasi dana aspirasi sekitar 15 sampai 20 milyar per anggota di APBN. Dalil yang dikemukakan dikoherensikan dengan ratio legis percepatan akselerasi pembangunan daerah sekaligus memutus mata rantai birokratisasi.

Namun, Presiden waktu itu tidak sependapat. Alasannya, ide dimaksud dipandang bertendensi “mengacaukan” kaidah ketatanegaraan dan mengaburkan batasan kewenangan antar lembaga negara.

Empat tahun kemudian, kehendak legislator mampu menembus ruang pembentukan norma dana aspirasi dengan “menyelipkan” ketentuan secara spesifik yang mengatur hak anggota DPR untuk mendapatkan tunjangan dan hak protokoler, dalam Pasal 80 huruf j UndangUndang MD3, serta diperinci melalui Peraturan DPR Nomor 4 Tahun 2015.

Gamblangnya, legislator merangsek masuk ke wilayah eksekutor kebijakan publik. Mereka mengusung misi melaksanakan program dan kegiatan fisik semacam pembangunan infrastruktur dasar. Mulai dari jalan sampai dengan rumah ibadah.

Secara kalkulatif terakumulasi kebutuhan dana program menembus angka paling sedikit 11 T per tahun. Sebuah nilai mekanisme politik anggaran yang tidak sedikitditengah “keraguan” publik atas asas transparansi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan.

Eskalasi polemik mengalami peningkatan. Sikap elemen bangsa terbelah menjadi kubu pro vs kontra. Mereka yang mendukung terkonsolidasi secara masif mengusung isu “POKIR DPR sarana nyata aspirasi publik”.

Demikian juga, halnya dengan kelompok penentang. Meraka melakukan perlawanan dengan isu “POKIR DPR mengaburkan fungsi legislatif”. DPR berupaya “meninggalkan” fungsi check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial. Sikap dimaksud tentu masuk dalam ranah abuse of constitutionalism di Indonesia.

Kami memandang, fungsi anggaran yang disematkan pada lembaga legislatifdalam kerangka prinsip pembagian kekuasaan negara tidak dapat dengan serta merta dimaknai sebagai hak budgeting.

Kewenangan membahas dan menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja yang diajukan oleh eksekutif, sebagaimana dituangkan dalam UUD Negara Indonesia Tahun 1945, mengandung makna filosofisyang bersifat instrumentatif untuk melaksanakan fungsi check and balances.

Adalah keliru ketika dikemudian hari dimaknai sebagai hak menentukan sendiri alokasi dana tertentu seperti halnya eksekutif. Mari kita periksa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 menjadi rujukan penting dalam hal ini.

Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa DPR tidak boleh ikut membahas anggaran hingga ke tingkat kegiatan dan jenis belanja kementerian atau lembaga. Pembahasan yang terlalu teknis dinilai melanggar prinsip checks and balances, karena DPR akan terlibat langsung dalam perencanaan yang merupakan kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Dengan demikian, mekanisme dana aspirasi yang memberi kewenangan kepada anggota DPR untuk mengusulkan proyek pembangunan di daerah pemilihannya jelas berpotensi melanggar konstitusi.Dalam dialektika hukum ketatanegaraan, dana aspirasi tidak hanya bermasalah secara norma, tetapi juga secara prinsipil.

Argumentasinya seperti ini. Pertama, sebaran arena konflik kepentingan menjadi semakin luas, bahkan secara eskalatif dapat menjadi lebih serius. Bagaimana tidak, bila legislator memposisikan dirinya sebagai pengusul, pembahas, dan pengawas (bahkan dalam banyak kasus sebagai pelaksana) proyek dana aspirasi.

Kedua, model pelaksanaan dana aspirasi, menjadi pupuk bagi tumbuh suburnya persoalan patronase, korupsi, serta kaburnya batas antara lembaga legislatif dan eksekutif.

Ketiga, kebijakan politik anggaran dana aspirasi mengandung unsur inkonstitusionalitas. Khususnya berkenaan dengan ketentuan Pasa 1 ayat (3) UUD Negara Indonesia Tahun 1945. Artinya, norma dalam Pasal 80 huruf j UU MD3 yang memberi hak bagi anggota DPR untuk mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan dapat dipandang melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh konstitusi.

Keempat, dana aspirasi juga berpotensi menjauhkan hukum dari tujuannya dalam sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini prinsip keadilan transformatif antar wilayah. Kondisi demikian jelas memperbesar ketidak seimbangan distribusi kemanfaatan hukum dan kebijakan publik.

Hal ini jelas bertentangan dengan semangat Pembukaan UUD 1945.Karenanya, ekstraksi atas dinamika dana POKIR, tidak dapat dipandang sebagai respon atas kebutuhan penguatan fungsi legislatif.

Sejatinya, legislatifdisuntik dengan suplemen penguatan kapasitas kelembagaan pada segmenkeseimbangan hubungan antar lembaga negara dan kualitas penegakan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas agregasi kepentingan rakyat. Argumentasi konstitusional ini mengerucut pada satu titik simpul, bahwa dana aspirasi DPR bersifat inkonstitusional, baik secara norma maupun praktik.

Bukan hanyamencampuradukkan fungsi kekuasaan, tetapi juga berpotensi melahirkan budaya politik yang transaksional dan tidak sehat. Prinsip kedaulatan rakyat justru tereduksi menjadi kedaulatan perorangan anggota parlemen.

Aspirasi rakyat seharusnya disalurkan melalui mekanisme representasi, legislasi, dan pengawasan yang kuat, bukan melalui distribusi dana pembangunan yang bersifat personal. Dalam konteks negara hukum dan sistem presidensial, menjaga batas fungsi antara lembaga adalah bagian dari menjaga marwah demokrasi itu sendiri.

*) Penulis adalah Mahasiwa S3 Hukum dan Pembangunan pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.