Bondowoso (ANTARA) - Hari ini, tangisan warga NU pecah. Tangisan itu bukan karena sedih, tapi wujud tumpahan rasa syukur atas terealisasinya islah atau perdamaian antara Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam pertemuan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Kamis (25/12).

Warga NU menangis ketika pilihan hati dan pikiran tidak lagi tersedak di lorong kebimbangan untuk memihak syuriah atau tanfidziyah, ketika kedua belah pihak yang selama ini menjadi panutan kaum nahdliyyin berjalan dengan sikapnya masing-masing.

Kini pilihan kaum nahdliyyin hanya satu, berpikir dan berpihak untuk mendukung kemajuan NU, di tingkat apapun peran mereka itu.

Persatuan tokoh NU yang sempat membuat khawatir banyak pihak ini bersamaan dengan momen Umat Kristen merayakan Hari Raya Natal, 25 Desember 2025. Memang, tidak ada hubungan substantif antara islah ini dengan Hari Raya Natal, kecuali hanya soal waktu.

Hanya saja, melihat kiprah NU selama ini, momen islah bersamaan dengan Natal mengingatkan bagaimana organisasi keislaman terbesar di Indonesia yang didirikan oleh Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari ini menunjukkan pembelaan total terhadap kaum minoritas.

Wujud paling nyata pembelaan NU terhadap kaum minoritas paling menonjol ketika organisasi keislaman dengan basis masyarakat tradisional ini dipimpin oleh seorang tokoh yang ketulusan hatinya terus dikenang, meskipun tubuh fisiknya telah tiada, yakni KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur kemudian mendapat julukan abadi sebagai "Bapak Pluralisme Indonesia".

Sebagai implementasi nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur, Banser yang merupakan sayap pengamanan dari organisasi badan otonom NU, yaitu Ansor, harus berhadapan dengan tuduhan-tuduhan pedas saat mengamankan jalannya misa Natal di gereja. Tuduhan ada motif finansial mengalir untuk anggota Banser.

Kisah heroik ditunjukkan oleh Riyanto, anggota Banser yang bertugas mengamankan malam Natal, 24 Desember 2000, di Gereja Eben Haezar, Mojokerto, Jawa Timur.

Malam itu, Riyanto mengambil bungkusan berisi bom di depan pintu gereja. Ia membawa lari bom tersebut, menjauh dari lokasi gereja agar tidak banyak korban. Bom meledak, dan jemaat gereja selamat, sedangkan Riyanto menjadi korban. Ia meninggal saat mengamalkan nilai-nilai paling dalam dari Islam.

Riyanto meninggal dan menjadi pahlawan atas perlindungan terhadap kaum minoritas yang diperjuangkan oleh Gus Dur dan tokoh-tokoh NU yang mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil 'aalamiin atau menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Meskipun demikian, cibiran dari kelompok-kelompok yang merasa paling benar dalam menafsirkan dan mengamalkan nilai-nilai Islam terhadap Gus Dur, termasuk Riyanto, sangat dahsyat. Riyanto dituduh sebagai kafir karena penilaian sangat dangkal, yakni dianggap mati membela orang non-muslim. Padahal, sesungguhnya, Riyanto membela nilai-nilai luhur Islam.

Mereka yang berpikir sempit dalam memahami nilai-nilai Islam menutup mata bagaimana Nabi Muhammad Saw melindungi semua warga di Madinah dalam ikatan Piagam Madinah.

Nabi Muhammad mengajarkan bahwa Islam hadir untuk memberi rasa aman kepada masyarakat di suatu wilayah, bukan sebaliknya menunjukkan kuasa yang menghadirkan rasa takut bagi warga di luar Islam.

Kembali ke NU, yang dalam beberapa pekan terakhir membuat khawatir banyak kalangan karena perbedaan sikap di pucuk pimpinannya, kini telah menunjukkan wajah aslinya sebagai pengayom dan saling menjaga adab.

Melihat dinamika NU memang tidak bisa hanya mengedepankan logika. Organisasi itu begitu dinamis dan tidak jarang menampilkan kejutan.

Sebelumnya, kalangan syuriah, yang dipimpin oleh KH Miftahul Akhyar, sepertinya bergeming dengan keputusannya memecat KH Yahya Cholil Staquf. Bahkan, beberapa kali pertemuan mustasyar di Lirboyo dan Jombang, tidak menunjukkan tanda-tanda syuriah  bakal berubah sikap.

Tiba-tiba, dalam pertemuan lanjutan para kiai sepuh di Lirboyo, Kediri, 25 Desember 2025, perjumpaan KH Miftahul Akhyar dengan KH Yahya Cholil Staquf, yang selama ini diidamkan warga NU, menjadi kenyataan.

Pada permulaan pertemuan itu, meskipun hasilnya belum diketahui, dari video yang beredar di media sosial, telah menampilkan rasa sejuk dan nyaman bagi warga NU. Pada video yang beredar, tampak KH Yahya Cholil Staquf menyalami dan mencium tangan KH Miftahul Akhyar kemudian keduanya saling menempelkan pipi. Keduanya menampilkan layaknya santri dengan kiainya.

Warga NU dan simpatisan menjadi bertambah lega ketika hasil pertemuan itu menyepakati pelaksanaan muktamar akan dilaksanakan sesuai ketentuan organisasi NU, yakni melibatkan rais aam dengan ketua umum tanfidziyah.

Mustasyar PBNU KH Ma'ruf Amin yang hadir dalam pertemuan di Ponpes Lirboyo itu mengapresiasi adanya kesepakatan untuk penyelenggaraan Muktamar NU bersama-sama antara Ketua Umum PBNU dan Rais Aam PBNU hasil Muktamar ke-34 Lampung.

"Pertemuan ini berakhir bagus. Ujungnya ada kesepakatan dan segera diadakan muktamar yang tidak satu pihak, tapi bersama. Tetap ada rais aam dan Ketua Umum PBNU, jadi bersama-sama membentuk kepanitiaan menyelenggarakan muktamar," kata mantan Wapres RI dan mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengaku bersyukur dan berterima kasih kepada sesepuh ulama dan sesepuh Mustasyar PBNU yang selalu membimbing.

Pertemuan di Lirboyo menunjukkan bahwa NU tidak melenceng dari rel semangatnya yang menjunjung persatuan untuk kebesaran organisasi yang akan menjadi modal untuk menjaga Indonesia tetap damai dan aman.

 


Pewarta : Masuki M. Astro
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025