Jakarta (ANTARA) - Berbicara tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) erat kaitannya dengan tiga hal, yaitu perencanaan yang baik, tata kelola yang sehat, dan kepatuhan pada good corporate governance (GCG).
Ketiganya menjadi fondasi utama untuk memastikan PMN benar-benar memberikan dampak yang signifikan bagi kinerja BUMN.
PMN, idealnya berfungsi sebagai instrumen strategis untuk memperkuat struktur keuangan, mendukung transformasi bisnis, dan mendorong perusahaan negara menjadi lebih kompetitif.
Hanya saja, dalam praktik selama ini, efektivitas PMN sering kali tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Banyak kebijakan PMN yang tidak berangkat dari perencanaan matang, tidak memiliki target kinerja terukur, serta tidak didahului audit menyeluruh terhadap kinerja dan tata kelola BUMN penerimanya. Di sinilah akuntabilitas publik dan kualitas tata kelola negara menghadapi ujian serius.
Contoh, Krakatau Steel dapat menjadi cermin untuk melakukan refleksi. Perusahaan ini telah beberapa kali menerima PMN, tetapi tetap mengalami tekanan keuangan yang berat.
Bahkan, setelah memperoleh tambahan modal negara, kondisi kinerja masih belum pulih secara fundamental. Ketika kemudian muncul kembali usulan pemberian PMN, muncul pertanyaan besar mengenai sejauh mana evaluasi atas penggunaan PMN sebelumnya dilakukan secara objektif, transparan, dan berbasis data.
Jika pola ini berulang, PMN hanya akan menjadi siklus penyelamatan jangka pendek, tanpa menyentuh akar persoalan, mulai dari beban utang, efisiensi operasi, hingga tata kelola manajemen.
Masalah menjadi semakin kompleks karena proses persetujuan PMN melibatkan lembaga politik. Dalam praktik, arena politik sering kali memengaruhi proses pengambilan keputusan yang seharusnya mengedepankan analisis bisnis, proyeksi ekonomi, dan kepentingan nasional jangka panjang.
Intervensi politik tersebut, bahkan dapat merembes hingga penentuan jabatan direksi dan komisaris. Ketika jabatan strategis ditentukan berdasarkan pertimbangan politik ketimbang meritokrasi, profesionalisme manajemen BUMN berpotensi tergerus.
Tanpa manajemen yang memiliki kompetensi, integritas, dan orientasi kinerja yang kuat, seberapa pun besar PMN disalurkan, perbaikan yang diharapkan akan sulit terwujud.
Padahal inti dari efektivitas PMN terletak pada tiga pilar utama. Pertama, perencanaan yang matang dengan sasaran yang jelas, terukur, dan realistis. Kedua, tata kelola yang transparan, akuntabel, serta bebas dari benturan kepentingan.
Ketiga, kepatuhan menyeluruh terhadap prinsip good corporate governance. Tanpa ketiga pilar tersebut, PMN hanya akan menjadi instrumen fiskal, tanpa arah strategis yang kuat.
PMN seharusnya dipandang sebagai investasi publik yang wajib memberikan pengembalian dalam bentuk nilai ekonomi dan manfaat sosial, bukan sekadar penyelamatan perusahaan milik negara yang sedang menghadapi tekanan.
Dalam konteks inilah wacana pembentukan Danantara sebagai entitas pengganti Kementerian BUMN perlu dilihat secara kritis.
Perubahan kelembagaan tidak otomatis menghadirkan perubahan substansial apabila kultur birokrasi dan praktik patronase politik masih tetap berlangsung.
Reformasi kelembagaan seharusnya diarahkan untuk menciptakan pengelolaan aset negara yang lebih profesional, independen, dan berorientasi kinerja.
Salah satu prasyarat utamanya adalah meminimalkan campur tangan politik jangka pendek dalam proses pengambilan keputusan bisnis.
Pengalaman sejumlah negara dapat menjadi rujukan. Di Singapura, Malaysia, dan China, pengelolaan perusahaan negara berada langsung di bawah otoritas tingkat tertinggi pemerintahan.
Dengan demikian, jalur akuntabilitas menjadi lebih jelas, intervensi politik sektoral dapat diminimalkan, dan fokus pada kinerja bisnis dapat lebih terjaga. Model seperti ini hanya akan berjalan efektif apabila dilengkapi pagar tata kelola yang kuat.
Mekanisme seleksi pimpinan BUMN harus berbasis kompetensi, rekam jejak profesional, dan integritas. Prosesnya perlu dirancang transparan dan bebas dari kepentingan politik yang tidak relevan dengan tujuan bisnis.
PMN seharusnya diposisikan sebagai opsi terakhir, setelah seluruh langkah pembenahan internal dijalankan. Restrukturisasi utang, efisiensi operasional, penataan rantai pasok, penerapan manajemen risiko, dan modernisasi proses bisnis perlu lebih dulu dilakukan.
Setiap penyaluran PMN harus diikuti dengan kontrak kinerja yang jelas, target yang terukur, serta konsekuensi manajerial apabila target tidak tercapai.
Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan setiap rupiah PMN benar-benar menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Transparansi menjadi kunci penting dalam seluruh proses tersebut. Laporan penggunaan PMN perlu disusun secara terbuka, detail, dan dapat diakses publik. Audit independen harus dilakukan secara berkala dengan hasil yang dipublikasikan.
DPR tetap memiliki peran pengawasan strategis, tetapi pendekatan yang ditempuh perlu berbasis data dan analisis ekonomi yang objektif, bukan pertimbangan politik jangka pendek. Dengan demikian, mekanisme check and balance dapat berjalan secara sehat, tanpa mengorbankan profesionalisme pengelolaan BUMN.
Perlu disadari bahwa BUMN memiliki posisi yang amat strategis dalam perekonomian nasional. Peran penting di sektor energi, pangan, infrastruktur, logistik, keuangan, dan telekomunikasi menjadikan keberhasilan atau kegagalan BUMN berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, pembenahan tata kelola PMN dan manajemen BUMN bukan sekadar isu teknis manajerial, melainkan bagian dari agenda besar reformasi ekonomi nasional.
Jika BUMN dikelola berdasarkan prinsip meritokrasi, transparansi, dan orientasi kinerja, PMN akan berubah fungsi dari beban fiskal menjadi instrumen penggerak pembangunan.
Pemikiran ini penulis sampaikan melalui penelitian akademik yang diuji dalam sidang ujian terbuka promosi doktor terapan di Politeknik STIA LAN Jakarta. Sidang yang dipimpin oleh Prof Dr Luki Kurnia tersebut menetapkan kelulusan penulis sebagai doktor terapan.
Dari sini kemudian diharapkan, konsep terkait PMN bisa menjadi semakin baik ke depan agar tata kelola BUMN semakin sehat dan kuat dalam menopang perekonomian nasional.
Sebab Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun ekosistem pengelolaan aset negara yang profesional dan berdaya saing tinggi. Syarat utamanya adalah keberanian menempatkan kepentingan ekonomi nasional di atas kepentingan politik jangka pendek.
Apabila PMN direncanakan secara matang, dikelola secara transparan, diawasi secara disiplin, serta didukung manajemen yang profesional, maka BUMN akan berkembang menjadi lokomotif ekonomi yang sangat kuat.
Hal ini kemudian diharapkan mampu mendorong BUMN menjadi semakin sehat, bukan hanya memberikan keuntungan finansial bagi negara, tetapi juga menjaga kedaulatan ekonomi dan menghadirkan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan masyarakat.
Opsi terakhir
Reformasi ekonomi
Baca juga: DPR apresiasi kinerja Menteri BUMN tingkatkan dividen
Baca juga: Sembilan Fraksi Komisi VI DPR mendukung PMN 2025 sebesar Rp44,2 triliun
*) Dr Ter Hilmi Rahman Ibrahim, SSos, MSi adalah dosen Universitas Nasional
Efektivitas PMN Mendorong Kinerja BUMN
Hilmi Rahman Ibrahim dalam Sidang Ujian Terbuka Promosi Doktor Terapan, di kampus Politeknik STIA LAN, Jakarta, Senin (29/12). (ANTARA/HO-Politeknik STIA LAN)
Hilmi Rahman Ibrahim dalam Sidang Ujian Terbuka Promosi Doktor Terapan, di kampus Politeknik STIA LAN, Jakarta, Senin (29/12). (ANTARA/HO-Politeknik STIA LAN)