LMKN berupaya transparan dan fleksibel royalti lagu

id lmkn,royalti,ikke nurjanah,royalti lagu,royalti musik,lmk,lembaga royalti lagu

LMKN berupaya transparan dan fleksibel royalti lagu

Ilustrasi partitur lagu. (ANTARA/Pixabay)

Jakarta (ANTARA) - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional berupaya mengedepankan transparansi sistem kerja dan manajemen keuangan kepada 11 anggota Lembaga Manajemen Kolektif sekaligus tetap fleksibel dalam menjalankan wewenang mengumpulkan royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik dari pengguna komersial.

“Transparansi sistem kerja sangat penting karena LMKN ini adalah perwakilan dari 11 LMK, maka kami tahu apa yang selama ini menjadi kebutuhan dan hal ini memudahkan kami untuk saling berkoordinasi dan bekerja sama,” kata Komisioner Hubungan Antar Lembaga dan Sosialisasi LMKN Hak Terkait Ikke Nurjanah, kepada ANTARA, Selasa.

Kehadiran LMKN mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengamanatkan lembaga tersebut untuk menangani pengumpulan royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik di Indonesia.

LMKN mempunyai kewenangan untuk mengoleksi (mengumpulkan) royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik dari para pengguna komersial dengan tarif yang ditetapkan dan disahkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Lembaga itu kemudian mendistribusikan hasil pengumpulan royalti tersebut kepada para pencipta, pemegang pak dan Pemilik hak terkait melalui LMK.

Ikke menjelaskan sistem kerja dan kebijakan baru mengharuskan LMKN bekerja secara transparan dengan menerapkan manajemen dan pelaporan keuangan yang terbuka bagi anggota.

"Belum lama ini kami berkoordinasi untuk membahas Peraturan Menteri dan Undang-undang yang baru sambil membuka laporan keuangan yang sudah diaudit oleh akuntan publik kepada LMK-LMK," kata Ikke.

Kepengurusan LMKN periode baru telah mencapai titik keberhasilan penarikan royalti melalui satu pintu. Dengan demikian tidak ada lagi LMK-LMK atau pihak-pihak lain yang melakukan penarikan performing rights, hak penggunaan untuk memperdengarkan musik di tempat umum dan komersial, selain pihak LMKN.

Sejak bulan Juli hingga Desember 2022, LMKN berhasil mengumpulkan royalti sejumlah Rp25 miliar dan bila dikompilasi dengan kepengurusan sebelumnya maka capaiannya menjadi total Rp34 miliar.

"Tahun ini kami akan mulai penarikan sambil mencermati perubahan-perubahan tarif dan regulasi yang baru. Jadi, kami benar-benar melakukan evaluasi dan mulai berjalan lagi dengan tetap melibatkan 11 LMK,” paparnya.

LMKN selama ini memposisikan 14 sektor layanan publik bersifat komersial yang diwajibkan membayar royalti sebagai rekan kerja sehingga mereka tetap bisa berdiskusi demi kepentingan bersama.

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada tanggal 30 Maret 2021 yang merupakan amanat Pasal 35 ayat (3) dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Baca juga: KCI distribusikan royalti digital pencipta lagu
Baca juga: Kafe-restoran wajib bayar royalti lagu, ini tarifnya!

Pasal 3 ayat 2 aturan tersebut menjelaskan sebanyak 14 sektor usaha maupun kegiatan wajib membayar royalti musik saat beroperasi komersial di antaranya restoran, konser musik, transportasi, bioskop, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran, hotel, dan usaha karaoke.

Ikke mengatakan selama ini proses penarikan royalti dari 14 sektor tersebut terbilang belum maksimal karena di satu sisi ada sektor yang tertarik dan sebaliknya, ada pula yang enggan membayar bahkan berupaya mengajukan ke ranah hukum.

Meskipun demikian, LMKN tidak ingin menjadikan proses pengumpulan royalti menjadi hal yang menyusahkan. Oleh karena itu, LMKN kerap membuka ruang diskusi dengan semua pemangku kepentingan terkait hak penggunaan komersial lagu dan musik.

“Kami tentu berharap para pengguna menjadi mitra karena mereka menggunakan karya dan kami juga merasakan karya tersebut kalau digunakan berarti ada manfaat buat musisi. Kami mencoba pendekatan persuasif sebagai rekan kerja dan sangat fleksibel serta realistis mencermati kondisi para pengguna dengan tetap berpedoman para regulasi yang ada,” kata Ikke.