Transformasi ekonomi UMKM yang diusik predatory pricing

id UMKM,transformasi ekonomi UMKM,kemenkopukm,predatory pricing,NIB,KUR Klaster,tiktok shop,thrifting

Transformasi ekonomi UMKM yang diusik predatory pricing

Seorang pekerja mengamplas kerajinan rotan yang akan dijual di Sentra Rotan Grogol, Jakarta Timur, Selasa (28/11/2023). ANTARA FOTO/Nadia Putri Rahmani/wpa/foc.

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koperasi dan UKM mencatat jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebanyak 65 juta dengan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 97 persen.
 

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, peranan UMKM juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Agustus 2023 mencapai 61 persen atau setara Rp9.580 triliun.

Agaknya, julukan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional tidak berlebihan dan memang masih terbukti di era pascapandemi COVID-19 dan tekanan ekonomi akibat ketegangan geopolitik.

Namun, apakah pemerintah boleh berpuas diri? Tentu tidak. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui di tubuh UMKM itu sendiri masih memiliki sejumlah tantangan yang perlu segera diselesaikan agar peranannya tidak memudar.

Melihat dari kuantitas, jumlah UMKM memang membuat takjub. Akan tetapi, struktur pelaku ekonomi di Indonesia didominasi oleh pelaku usaha skala mikro dengan persentase mencapai 99 persen.

Persentase usaha mikro yang terlampau banyak menjadi sebuah kekhawatiran. Selain kontribusi keekonomiannya yang sudah pasti tidak sebesar skala usaha kecil apalagi menengah, usaha mikro merupakan ekonomi subsisten yakni usaha yang cenderung ditujukan untuk sekedar bertahan hidup. Tidak ada skema pembiayaan apalagi sampai masuk ke industrialisasi dan impor.
 

Diusik thrifting, predatory pricing, dan social commerce

Pemerintah boleh berencana, namun tidak bisa memprediksi. Siapa yang menyangka sejumlah jalan yang telah disiapkan untuk membawa transformasi ekonomi UMKM akan diusik thrifting, predatory pricing dan social commerce.

Awal 2023 merupakan masa di saat perekonomian tanah air mulai merangkak naik setelah resmi lepas dari kondisi pandemi COVID-19. Daya belanja masyarakat mulai kembali dan pelaku UMKM kembali berani memproduksi lebih banyak produk.

Di saat yang bersamaan, fenomena berbelanja pakaian bekas atau yang dikenal dengan thrifting semakin marak seiring penggunaan e-commerce yang meningkat tajam selama pandemi.

Tidak ada yang salah dengan berbelanja pakaian bekas. Permasalahan muncul karena sebagian besar barang thrifting didapatkan melalui impor yang sudah jelas melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Pasal 2 dan 3 tertulis bahwa pakaian bekas dilarang untuk diimpor.

Jika perbuatan ilegal tersebut tidak sampai mengusik produk lokal, mungkin isu thrifting tidak menyeruak. Akan tetapi, momentum Ramadhan dan Lebaran yang diharapkan menjadi titik lonjakan permintaan produk lokal, tidak terjadi. Berbagai konveksi di Jawa Barat terpaksa berhenti beroperasi. Akibatnya, pelaku usaha fesyen termasuk pemilik merek kenamaan di dalam negeri menjerit.

Jeritan tersebut tentu akibat dari penjualan produk dalam negeri yang tertekan. Penyebab kurang lakunya bukan karena kualitas produk dalam negeri yang kalah bersaing, namun harga. Masyarakat cenderung memilih baju impor dengan yang lebih murah meskipun merupakan barang bekas dibanding produk lokal yang acap kali dicap kurang berkualitas.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang memang seharusnya memprioritaskan pengusaha dalam negeri bergerak cepat menyelamatkan UMKM dengan mengumpulkan pelaku e-commerce. Komitmen memberantas praktik thrifting dan perdagangan pakaian bekas impor dalam platform masing-masing dicapai.

Belum selesai masalah thrifting karena harus dikoordinasikan dengan lintas kementerian dan lembaga, kapal transformasi ekonomi UMKM kembali diterpa badai.

Kali ini adalah predatory pricing, sebuah strategi bisnis dengan menurunkan harga jual suatu produk untuk menghilangkan persaingan. Produk UMKM kembali kalah telak karena harga yang ditawarkan melalui e-commerce sungguh tidak masuk akal.

Pakaian, kosmetik, hingga sepatu dijual sangat murah di bawah harga pasar bahkan dimulai dari harga Rp5 ribu. Padahal jika menghitung biaya modal kain ditambah ongkos jahit saja, tentu sudah lebih dari Rp5 ribu. Belum lagi biaya produksi hingga pengiriman.

Ibarat setali tiga uang, predatory pricing merembet ke salah satu platform asal China yakni TikTok yang dengan sengaja memanfaatkan perizinannya sebagai media sosial sekaligus sebagai e-commerce melalui TIkTok Shop atau dikenal dengan nama social commerce.

TikTok melalui kecerdasan buatannya mampu mengidentifikasi video-video yang mampu menarik perhatian masyarakat termasuk jenis barang seperti apa yang sedang dicari dan diminati. Lalu, video yang muncul diarahkan pada produk yang dicari, melalui fitur TikTok Shop.

Transaksi TikTok Shop melejit mengalahkan e-commerce lain seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada karena menawarkan produk serupa dengan harga yang jauh lebih murah serta berada dalam satu platform dengan TikTok sebagai aplikasi media sosial.

Kendati pun sudah berusaha menekan biaya produksi dengan hanya mengambil untung tipis, pelaku usaha dalam negeri mana bisa yang bersaing jika produk impor serupa dijual dengan harga murah karena tidak perlu repot memikirkan biaya pengiriman maupun pajak.

Buntutnya, pedagang kembali melambaikan bendera putih sebagai tanda tidak mampu bersaing dengan harga dan strategi pemasaran yang dimiliki TikTok Shop.

Sebagai upaya melindungi UMKM, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun resmi diteken dan TikTok dilarang berjualan. Permendag tersebut secara tegas melarang platform media sosial bertindak sebagai produsen dan menjadi tempat transaksi langsung. Kemudian produk impor harus memenuhi standar layaknya produk dalam negeri serta melarang penjualan produk impor dengan nilai di bawah 100 dolar AS atau setara Rp1,5 juta.

Melalui peraturan tersebut diharapkan pelaku UMKM memiliki level playing field yang sama dengan produk asal impor. Sembari diiringi dengan peningkatan kualitas produk agar berdaya saing dengan produk impor.

Nomor Induk Berusaha

Upaya peningkatan kualitas UMKM salah satunya diwujudkan Kementerian Koperasi dan UKM terus mendorong pelaku UMKM untuk memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) agar mendapatkan banyak manfaat. Mulai dari insentif bisnis, perlindungan hukum hingga kemudahan akses pembiayaan formal. Tujuan besarnya tentu agar kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Sayangnya, pelaku UMKM masih menganggap mengurus izin usaha sebagai hal yang rumit dan memakan waktu lama. Belum lagi ada anggapan izin usaha hanya untuk usaha skala besar saja.

Faktanya, sesuai amanat dari turunan Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja, pembuatan NIB dapat dilakukan secara mudah, cepat, dan tanpa dikenakan biaya. Mendapatkan izin usaha cukup dengan semudah mengakses halaman oss.go.id atau mengunduh aplikasi OSS Indonesia. Lalu mengisi identitas dan tinggal menunggu izin usaha terbit.

Setelah NIB terbit, pelaku usaha yang bergerak di bidang makanan dan minuman bisa langsung mengurus sertifikasi halal maupun sertifikasi lainnya seperti Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT). Pemilik usaha dengan NIB juga mendapat kursi prioritas untuk mendapat pendampingan usaha dari pemerintah.

Tidak sekedar meminta masyarakat mengurus NIB, Kementerian Koperasi dan UKM secara khusus menyiapkan tim pendamping bernama Garda Transfumi yang berperan membantu pelaku usaha mikro memperolah NIB dan mendampingi agar masuk dalam program hilirisasi produk nasional di tengah maraknya produk impor.

Upaya bersama tersebut membuahkan hasil manis karena per akhir November 2023 penerbitan NIB telah mencapai 3,4 juta, melampaui target 2,5 juta. Begitu juga dengan sertifikasi halal yang sudah melampaui target 1 juta sertifikasi atau secara lengkap sebanyak 1.003.304 sertifikat telah terbit.


KUR Klaster

Terobosan penguatan ekonomi kerakyatan dilakukan pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) Klaster berbasis rantai pasok. Penyaluran pembiayaan bergeser dari sektor perdagangan ke sektor produksi prioritas yakni pertanian, perkebunan, pertanian, dan peternakan. Plafon KUR Klaster juga diperluas menjadi Rp500 juta.

Melalui KUR Klaster, risiko Non Performing Loan (NPL) akan lebih berkurang karena UMKM sudah terhubung dengan off taker rantai pasok industri. Sehingga, seharusnya perbankan tidak lagi khawatir UMKM akan gagal membayar pinjaman atau kredit macet karena telah memiliki kepastian market.

Di sisi lain, Kementerian Koperasi dan UKM tengah mengupayakan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperbolehkan perbankan tidak hanya menggunakan pendekatan konvensional kolateral melalui metode jaminan berupa agunan sebagai syarat bagi UMKM mengakses KUR.

Credit scoring diusulkan menjadi salah satu persyaratan bagi pelaku UMKM untuk mengakses KUR yang telah lebih dahulu diterapkan di 145 negara. Atau setidaknya bisa meniru konsep yang digunakan oleh pelaku financial technology (fintech). Melalui teknologi digitalnya, fintech bisa memberikan pinjaman tanpa agunan hingga Rp2 miliar. Bahkan bagi UMKM yang sudah terhubung dalam ekosistem Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) dapat meminjam ke fintech hingga Rp10 miliar.

Baca juga: Temu bisnis pada ajang UMKM Merdeka Export 2023
Baca juga: Disdag siapkan 24 lapak UMKM untuk dukung Teras Udayana Mataram

Secara total, ekspektasi penyerahan KUR Klaster berbasis rantai pasok adalah sebesar Rp1,34 triliun dengan rincian 117 klaster dan anggota klaster sebanyak 15.776 UMKM. Data terakhir KemenKopUKM mencatat realisasi KUR Klaster berbasis rantai pasok per April 2023 mencapai Rp539,7 miliar yang diberikan kepada 50 klaster dengan anggota klaster sebanyak 5.310 UMKM.