Padang (ANTARA) - Pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 telah berakhir, ditandai dengan rapat pleno rekapitulasi perolehan suara tingkat nasional di Kantor KPU Jakarta pada 20 Maret lalu. Duet Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ditetapkan sebagai pemenang dalam pemilu tersebut.
Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
Pasangan yang lekat dengan julukan "gemoy" tersebut mengalahkan pasangan calon Presiden Nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Kemenangan Prabowo-Gibran setelah berhasil meraih 96.214.691 suara, disusul Anies-Muhaimin 40.971.906 suara dan, Ganjar-Mahfud Md 27.040.878 suara.
Meskipun telah ditetapkan sebagai pemenang untuk memimpin Indonesia 5 tahun ke depan periode 2024-2029, Prabowo-Gibran harus menahan diri. Sebab, kubu 01 dan 03 sama-sama mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menduga terdapat kecurangan selama proses atau tahapan pemilu.
Menurut pakar hukum tata negara (HTN) dari Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat Charles Simabura, langkah hukum yang ditempuh kubu Anies maupun Ganjar patut dihormati sebagai bagian dari proses demokrasi di Tanah Air.
Gugatan yang dilayangkan ke MK dinilai bukan semata-mata untuk memastikan menang atau kalah, atau terpilihnya pemimpin Indonesia yang terbebas dari praktik kecurangan. Lebih dari itu, perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) khususnya Pilpres 2024 merupakan bagian dari penghormatan terhadap konstitusi yang dijamin oleh undang-undang.
Simabura yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Unand tersebut menyatakan jika dilihat dari dalil-dalil hukum yang diajukan kedua penggugat, dapat ditarik sebuah benang merah terkait syarat formal dari pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Kubu Anies maupun kubu Ganjar sama-sama ingin membuktikan di persidangan bahwa putra sulung Presiden Jokowi tersebut cacat syarat formal dalam proses pencalonan.
Hal itu diperkuat dengan putusan Majelis Kehormatan MK atau MKMK yang kala itu diketuai oleh Jimly Asshiddiqie didampingi Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih.
Sidang MKMK memutuskan Anwar Usman yang pada saat itu masih menjabat sebagai Ketua MK dengan status hakim terlapor bersalah. MKMK juga memberhentikan Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Tidak hanya itu, Charles mengatakan penjatuhan sanksi peringatan keras terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari, dan enam anggotanya terkait pencalonan Gibran oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),
juga bisa menjadi alasan kuat kubu 01 dan 03 melayangkan gugatan ke MK.
Dari berbagai rentetan dan dinamika hukum dan politik yang terjadi selama proses Pemilu 2024, sidang PHPU menjadi momentum bagi MK--yang merupakan anak kandung reformasi--untuk membuktikan masih pantas dan layak menjaga konstitusi di Indonesia.
"Ini momentum untuk mengembalikan citra MK dengan memberikan keputusan yang bisa menjawab keresahan publik," ujarnya.
Optimistis
Jika merujuk Pasal 50 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang tata beracara dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden diputuskan dalam tenggang waktu 14 hari kerja sejak permohonan tercatat di buku registrasi perkara konstitusi elektronik.
Melihat tenggat waktu yang dimiliki MK untuk menyidangkan dua perkara sekaligus, sebagian pihak pesimistis bahwa gugatan untuk mencari keadilan sulit dibuktikan.
Namun, sekecil apa pun peluang gugatan tersebut diterima, sebagai suatu langkah hukum maka siapa saja harus optimistis terhadap perjuangan yang dilakukan penggugat. Apabila penggugat memiliki bukti-bukti yang signifikan dan mampu meyakinkan hakim, maka waktu yang singkat tidak akan menjadi masalah besar.
"Persoalan hukum ini bisa subjektif walaupun memang secara objektif kita tidak bisa mengukur waktu yang tepat itu berapa lama," ujarnya.
Dalam asasnya disebutkan bahwa peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Oleh karena itu, suka atau tidak maka siapa pun harus menerima mekanisme persidangan di MK.
Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo ketika berkunjung ke Unand dalam kuliah umum fi hadapan civitas academica kampus tertua di luar Pulau Jawa itu tidak menampik bahwa dua gugatan sengketa Pilpres 2024 akan menyita tenaga dan pikiran para hakim.
Pada Pemilu 2019, kala itu hanya ada satu gugatan yang masuk ke MK yakni Prabowo-Sandi, sementara pada Pemilu 2024 terdapat dua gugatan yang masuk.
Dengan kata lain, para hakim konstitusi akan bekerja lebih keras dibandingkan pemilu sebelumnya. Undang-undang memerintahkan lembaga itu harus memutus perkara dalam tenggat waktu 14 hari.
Apalagi, dari sembilan hakim MK satu di antaranya yakni hakim Anwar Usman sudah dipastikan tidak boleh ikut serta terlibat PHPU. Hal itu merupakan imbas atau sanksi yang dijatuhkan oleh MKMK beberapa waktu lalu.
Meskipun demikian, hakim Suhartoyo tetap optimistis lembaga yang dipimpinnya mampu menyelesaikan dua gugatan sengketa Pilpres 2024. Karena, para hakim MK telah terbiasa menyidangkan gugatan serupa pada periode sebelumnya.
Terkait independensi, ditegaskan bahwa MK akan bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi yang diamanahkan undang-undang. Pada saat bersamaan, MK juga sedang berjuang mengembalikan kepercayaan publik setelah ada beberapa permasalahan yang terjadi.
"Sebagai anak kandung reformasi, MK akan terus berupaya mengembalikan muruah lembaga, terutama kepercayaan publik yang sempat menurun," tekad Ketua MK.
Kendati demikian ia memahami untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK bukan perkara mudah. Sebagai contoh, sebuah putusan yang disusun dengan matang melalui proses dan mengedepankan keadilan bisa saja hasilnya diragukan masyarakat.
Terakhir, dengan ditetapkannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh KPU yang kemudian berlanjut dengan tahapan di MK, masyarakat berharap bahwa siapa pun yang akan memimpin Indonesia 5 tahun ke depan dapat membawa negeri ini lebih baik lagi sekaligus menjadi negara yang bermartabat.