Penggunaan e-Voting untuk pilpres, pileg, dan pilkada

id Aplikasi Pemilu Elektronik,Pemilu Elektronik,e-Voting,BRIN,Pemilu,Pilkada,Pilkades Oleh Rio Feisal

Penggunaan e-Voting untuk pilpres, pileg, dan pilkada

Warga menggunakan hak pilih saat pemungutan suara ulang di TPS 15 Desa Penarukan, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (18/2/2024). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nym.

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan hasil Pemilu 2024 yang meliputi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) DPR RI, DPD RI, maupun DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota.
 

Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.

Walaupun demikian, jika menilik hari pemilihan pada Rabu, 14 Februari 2024, tentu masih teringat proses pemungutan suara masih menggunakan surat suara yang memiliki bagian warna berbeda-beda untuk setiap jenis pemilihan.

Surat suara tersebut kemudian dicoblos di dalam bilik dengan mengecek surat suaranya terlebih dahulu. Kemudian, membuka dan melipat kembali surat suara. Lalu, surat suara yang telah dicoblos tersebut dimasukkan ke kotak suara yang telah disediakan di tempat pemungutan suara (TPS).

Akan tetapi, ada harapan untuk mengganti surat suara tersebut dengan aplikasi pemilu elektronik atau e-Voting di pilpres dan pileg. Selain itu, e-Voting juga diharapkan untuk dipakai dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).


Aplikasi e-Voting

Pencipta aplikasi e-Voting sekaligus Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Sains Data dan Informasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andrari Grahitandaru menjelaskan lembaganya telah melakukan riset untuk pengembangan e-Voting sejak 2010.

Riset tersebut menargetkan e-Voting dapat dipakai untuk pemilu di Indonesia, meliputi pilpres, pileg, maupun pilkada. Oleh sebab itu, uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan untuk memastikan metode coblos dan contreng memiliki arti yang sama dengan sentuh panel komputer.

Langkah awal tersebut perlu karena pemilu merupakan amanah dari undang-undang yang tiap tahapannya telah diatur. MK kemudian mengeluarkan Putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 yang mengatur coblos, contreng sama artinya dengan sentuh panel komputer, tetapi perlu disiapkan lima komponen.

Komponen pertama adalah kesiapan teknologi   sehingga BRIN yang membidangi teknologi bertanggung jawab terhadap kesiapan tersebut.

Komponen kedua, legalitas. Saat ini e-Voting sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Kendati demikian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum belum mengatur mekanisme e-Voting dalam pemilu. Komponen ketiga, yaitu kesiapan dari penyelenggara. Berikutnya, kesiapan dari masyarakat. Terakhir, memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).

Sementara itu, aplikasi e-Voting yang saat ini telah dikembangkan oleh BRIN memiliki tiga prinsip tentang keamanan, yakni aman, akurat, dan jujur. Hal yang dimaksud aman adalah sistem e-Voting tidak tersambung ke jaringan internet bila tidak digunakan untuk pemilu.

Prinsip akurat menandakan sistem tidak memulai dari awal saat perangkat elektronik mati karena sudah diatasi dengan adanya kertas struk audit. Jadi, kalau perangkatnya mati, maka yang dihitung dari awal sampai akhir adalah struknya yang ditambahkan dengan hasil dari perangkat yang diganti.

Lalu jujur, perangkat e-Voting tidak bisa menghasilkan lebih dari satu surat suara untuk satu pemilih.

Sementara itu, mekanisme pengiriman datanya membutuhkan koneksi internet, dan dengan satu kali klik, maka datanya langsung terkirim ke pusat data nasional. Namun, data yang ditampilkan akan sesuai dengan tingkatannya, yakni TPS, kabupaten, provinsi, dan nasional. Adapun di tiap TPS akan menghasilkan form Model C Hasil setelah TPS ditutup yang dapat menampilkan perolehan tiap calonnya.


Pilkades yang pertama

Andrari menjelaskan daerah yang pertama kali menggunakan e-Voting di pemilihan kepala desa (pilkades) adalah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Permasalahan utama di Boyolali adalah jumlah surat suara tidak sah melebihi perolehan suara calon kepala desa yang menang sehingga kades terpilih dinilai bukan murni pilihan masyarakat.

Oleh sebab itu, e-Voting menjadi pilihan untuk digunakan karena tidak terdapatnya surat suara tidak sah,l sehingga kades yang terpilih benar-benar merupakan pilihan masyarakat.

Sementara itu, sejak 2013 aplikasi e-Voting telah dipakai di pilkades. Adapun hingga 2022 terdapat 1.753 desa di 27 kabupaten dan 2 kota pada 15 provinsi yang telah melaksanakan pilkades dengan e-Voting.

Beberapa daerah yang telah melaksanakan pilkades yaitu Kabupaten Jembrana, Musi Rawas, Boyolali, Banyuasin, Bantaeng, Boalema, Empat Lawang, Pemalang, Batanghari, Indragiri Hulu, Agam, Bogor, Mempawah, Ogan Komering Ulu Timur, Sarolangun, Sidoarjo, Luwu Utara, Pasaman Barat, Lumajang, Toraja Utara, Situbondo, Magetan, Sleman, dan lain-lain.

Untuk teknisnya, e-Voting melibatkan dua kali sentuh. Pertama, menyentuh calon gambar peserta pilkades. Berikutnya, konfirmasi pilihan berupa iya atau tidak. Setelah pemilih menyentuh pilihan konfirmasi, maka langsung tercetak struk audit. Struk audit itu kemudian diperiksa dan dimasukkan ke kotak audit sehingga dapat menjadi bukti hukum manual ketika terdapat sengketa.

Bila sengketa pemilihan terjadi, maka struk tersebut akan dihitung dan disandingkan dengan jumlah suara yang ada. Di sisi lain, Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Paudah mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik penerapan e-Voting di pilkades karena kerumitannya dinilai mirip dengan pemilu maupun pilkada.

Setelah diterapkan sejak 2013, e-Voting pun dinilai menjadikan pilkades makin transparan dan akuntabel sehingga hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Proses pemilihan menggunakan e-Voting juga disebut mudah karena prosesnya tidak panjang, tidak berbelit-belit, dan hasilnya akurat.

Penggunaan e-Voting dalam pilkades juga disebut menekan anggaran yang dikeluarkan karena pengadaan untuk kertas suara maupun tinta telah ditiadakan. Selain itu, pemakaian e-Voting dalam pilkades dinilai mengurangi potensi konflik. Oleh karena itu, e-Voting dinilai dapat menjadi alat demokrasi ke depan untuk diterapkan pada jenjang Pemilu dan Pilkada, bukan sebatas pilkades saja.


Penerapan e-Voting untuk pemilu dan pilkada

Secara teknis, penerapan e-Voting untuk pemilu dan pilkada kurang lebih sama dengan yang diterapkan pada pilkades. Teknis untuk 0emilu dan 0ilkada, e-Voting tetap melibatkan dua kali sentuh. Pertama, menyentuh gambar calon peserta dan konfirmasi pilihan.

Setelah itu, struk audit juga tetap tercetak dan dimasukkan ke kotak audit sebagai bukti hukum untuk menghadapi sengketa nantinya. Selanjutnya, borang atau form Model C, hasilnya akan tercetak di TPS setelah waktu pemungutan suara berakhir. Hasil tersebut juga langsung terkirim ke KPU sebagai penyelenggara, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga mendapatkan log file-nya.

Sementara itu, untuk sistemnya dapat mengakomodasi wilayah yang infrastruktur internetnya masih tidak terpenuhi. Bahkan, listrik juga tidak menjadi kendala karena dapat memanfaatkan aki mobil untuk kebutuhan laptop, printer, dan smart card.

Smart card merupakan alat yang akan dibuat otomatis di TPS dan diberikan kepada pemilih sebelum menuju bilik suara. Namun demikian, kalau tidak ada sinyal untuk mengirimkan hasil pemilu maupun pilkada di TPS, maka perangkat e-Voting akan dimatikan terlebih dahulu dan akan dibawa ke kabupaten/kota. Perangkat kemudian dinyalakan kembali dan datanya kemudian dikirimkan.

Adapun untuk keamanan, datanya sudah otomatis terenkripsi dan tidak bisa dilihat sembarangan jika diterapkan untuk pemilu dan pilkada. e-Voting kemudian dinilai dapat memfasilitasi pemilu dan pilkada karena basis datanya sama dengan pilkades karena daftar pemilih tetap (DPT) sesuai dengan pilkades karena TPS-nya pun sama.

Terakhir, e-Voting disebut dapat meminimalkan angka golput karena pilihan dalam aplikasi hanya peserta pemilu maupun pilkada sehingga tidak ada suara yang dinyatakan tidak sah.

Catatan akademikus

Akademikus Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengingatkan, agar e-Voting dapat diterapkan dalam semua lini pemilihan, maka ketersediaan dan kesiapan infrastruktur teknologi informasi pemilu harus disiapkan.

Walaupun demikian, untuk sebagian besar daerah kabupaten/kota di Indonesia disebut tidak memiliki kendala soal jaringan atau infrastruktur tersebut, kecuali di daerah pedalaman atau pelosok.

Baca juga: Pengamat meminta negara sosialisasikan penggunaan kotak suara Papua
Baca juga: Sengketa Pilpres 2024 dan optimisme MK meraih kepercayaan publik


Kedua, sumber daya manusia penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat pusat dan daerah juga perlu disiapkan sehingga apabila ada kendala teknis maka mereka dapat memperbaikinya.

Berikutnya, aspek pengawasan. Mekanisme pengawasan perlu diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi peretasan terhadap suara.  Oleh sebab itu, untuk mengurangi potensi peretasan ataupun penggelembungan suara, maka pihak-pihak terkait perlu banyak melibatkan ahli sehingga harapan agar e-Voting diterapkan pada pemilu dan pilkada bisa segera terwujud.