Mataram (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan inflasi tahun kalender di Nusa Tenggara Barat baru mencapai 0,17 persen hingga September 2024 yang menandakan ekonomi daerah sedang tumbuh melambat.
"Inflasi memang tidak bisa terlalu rendah dan tidak bisa juga terlalu tinggi, karena itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi," kata Kepala BPS NTB Wahyudin dalam pernyataan di Mataram, Rabu.
Bank Indonesia menetapkan target inflasi adalah sebesar 2,5 persen plus minus 1 persen yang artinya inflasi paling rendah minimal 1,5 persen dan inflasi paling tinggi maksimal 3,5 persen.
BPS Nusa Tenggara Barat mengingatkan pemerintah daerah untuk bisa mengendalikan laju inflasi dalam waktu tiga bulan ke depan dari angka 0,17 persen menjadi minimal 1,5 persen.
Baca juga: BPS: Pisang jadi penyumbang inflasi di NTB
Baca juga: BPS NTB ungkap tantangan yang dihadapi ekonomi kreatif
Bila target minimal 1,5 persen tidak tercapai hingga bulan Desember mendatang, maka fenomena itu menunjukkan gairah ekonomi daerah yang lesu sepanjang tahun 2024.
"Pemerintah daerah harus bergerak untuk mengendalikan harga barang," kata Wahyudin.
BPS mengungkapkan inflasi tahun kalender Nusa Tenggara Barat 0,17 persen berada di bawah angka inflasi tahun kalender nasional yang tercatat sebesar 0,74 persen.
Sedangkan, inflasi bulan ke bulan Nusa Tenggara Barat hanya tumbuh sebesar 0,09 persen dan inflasi tahun ke tahun berada pada angka 1,17 persen.
Komoditas penyumbang inflasi pada bulan lalu adalah akademi/perguruan tinggi, ikan layang/ikan benggol, ikan tongkol, beras, dan pisang. Sedangkan, komoditas yang memiliki andil terhadap deflasi adalah cabai rawit, cabai merah, bensin, terong, dan kol putih/kubis.
Baca juga: Pemprov NTB optimalkan pengembangan pariwisata dan industri pengolahan
Pakar ekonomi pembangunan Universitas Mataram Muhammad Firmansyah mengatakan harga rendah yang bertahan adalah deflasi dan itu tidak mesti menunjukkan angka pertumbuhan yang negatif.
Menurutnya, operasi pasar seharusnya dilakukan ketika kondisi inflasi ekstrem dengan tujuan untuk stabilisasi harga, bukan malah terjadi deflasi.
"Inflasi dan deflasi itu sama-sama penyakit dalam ekonomi, sehingga ditetapkan batas plus minus satu dari hasil estimasi," papar Firmansyah.
Deflasi menyebabkan ekonomi lesu akibat produsen tidak bergairah berproduksi, sedangkan inflasi dapat merusak daya beli konsumen.
Baca juga: Pemprov NTB berupaya lepaskan ketergantungan ekonomi dari sektor tambang
Deflasi bisa terjadi karena produk melimpah dan bisa juga karena daya beli yang memang turun, sehingga konsumen membatasi untuk berbelanja.
Dalam kondisi itu, produsen akan terus menekan harga sampai barang laku terjual. Ketika penurunan harga sudah mulai berhimpitan dengan biaya produksi itu mulai menjadi masalah bagi produsen karena barang yang dijual rugi.
Lebih lanjut Firmansyah menyarankan pemerintah untuk memeriksa sumber penyebab deflasi di Nusa Tenggara Barat. Apabila harga rendah yang terus bertahan itu karena data beli masyarakat, maka beberapa upaya perlu dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, subsidi yang bisa diberikan secara langsung dalam bentuk uang tunai ataupun subsidi harga untuk barang-barang tertentu misalnya kebutuhan pokok.
Kedua, kurangi atau turunkan harga pada komponen pengeluaran rutin konsumen seperti BBM, pajak-pajak tertentu, dan lain-lain.
"Bila deflasi karena melimpahnya produk, pastikan buka ruang untuk perluasan skala pasar dengan ekspor atau bila produk mentah dijadikan olahan melalui hilirisasi," pungkas Firmansyah.
Baca juga: BI NTB kendalikan inflasi melalui perluasan klaster cabai di Pulau Sumbawa