Mataram (ANTARA) - Perjuangan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Dan Pemuda Republik Indonesia (DPP GMPRI) yang meminta agar Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo (alm) disematkan gelar Pahlawan Nasional memasuki babak baru.
Sejak 2024, GMPRI telah mengajukan permohonan ke Istana Negara, ketika H Joko Widodo menjabat sebagai Presiden ke-7 RI. Hasilnya, surat permohonan tersebut sudah diterima oleh Kementerian Sekretariat Negara RI Sekretariat Militer Presiden dengan Nomor 1: B-04/SM/GTK/GT.00/01/2025.
Ketua Umum DPP GMPRI, Raja Agung Nusantara mengucapkan rasa terima kasih atas kepemimpinan pemerintahan Presiden Jenderal (Purn) Prabowo Subianto.
"Alhamdulillah untuk semuanya, kegiatan hari ini di Istana Negara berjalan dengan baik, terkait undangan rapat dan audiensi sehubungan dengan pengusulan nama bapak almarhum Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo agar dinobatkan sebagai bapak Pahlawan Nasional, dalam hal ini kita (DPP GMPRI) diterima dan disambut dengan baik oleh Laksamana Pertama TNI Bapak I Bayu Trikuncoro SE, MM, CHRMP Kepala Biro GTK Sekretaris Militer Presiden," katanya dalam keterangan resminya, Kamis (24/1).
DPP GMPRI, kata dia, mengajukan permohonan karena pihaknya sangat meyakini bahwa Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo memiliki jasa dan perjuangan yang sangat besar serta luar biasa bagi Indonesia.
"Sudah sangat sepantasnya Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo yang sudah saya anggap sebagai bapak 'Founding Father' mendapatkan tanda bintang jasa, yakni disematkan gelar Pahlawan Nasional," ujar Raja Agung Nusantara.
DPP GMPRI memperjuangkan permohonan agar Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena memiliki ide kritis dan sangat nasionalis. Bahkan berbeda dengan pandangan para tokoh lainnya atau pandangan umum.
Terlebih saat menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB), putra dari Raden Mas Margono Djojohadikusomo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) tersebut memiliki pandangan yang bijaksana. Berbeda dengan Wakil Presiden Pertama RI, Moh. Hatta, sang pimpinan delegasi saat itu.
Kala itu, pria kelahiran Kebumen 29 Mei 1917 itu tidak setuju dengan klausul bahwa Indonesia harus membayar utang kepada Belanda sebesar 6 juta gulden.
Bahkan, salah satu ekonom Indonesia paling terkemuka pada masanya itu menegaskan agar pihak Belanda yang harus membayar kepada Indonesia atas penjajahan dan kedzaliman yang dilakukan mereka bagi bangsa Indonesia.
Pria yang pernah menjabat di tiga kementerian pada masa Orde Lama dan Orde Baru itu juga tidak setuju, Irian Barat (Papua) ditunda pengembaliannya ke Indonesia .
Berdasarkan kajian, investigasi dan studi banding oleh DPP GMPRI serta adanya dorongan murni dari nurani oleh berbagai elemen masyarakat dan tokoh masyarakat, juga berdasarkan rujukan Undang-Undang dan profil calon Pahlawan Nasional, maka Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, sudah semestinya mendapatkan anugerah gelar tokoh Pahlawan Nasional.
Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo yang dianggap sebagai "Guru Ekonomi Agung" dalam sejarah Republik Indonesia, pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, Menteri Keuangan, dan Menteri Riset baik selama era Orde Lama maupun Orde Baru.
Ia merupakan pencetus program Benteng yang bertujuan untuk mengembangkan industry nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor, kemudian mendukung masuknya modal dan investor asing ke Indonesia, untuk mempercepat proses industrialisasi.
Alumni Sekolah Tinggi Ekonomi (Nederlandsche Economische Hogeschool) di Rotterdam, Belanda, itu juga memiliki perhatian besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Ketika menjabat Menteri Riset pada masa Orde Baru, ia memprakarsai berdirinya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).
Soemitro Djojohadikoesoemo adalah salah contoh putra terbaik bangsa Indonesia yang berani berjuang melawan penjajah dan penindas, baik di dalam maupun di luar negeri.