Mataram (ANTARA) - Indonesia adalah salah satu negara yang wilayah astronomisnya berada di garis khatulistiwa yakni 60 LU - 110 LS sd 950BT – 1410BT. Konsekwensi klimatologisnya adalah seluruh wilayah Indonesia senantiasa memiliki dua musim utama yakni kemarau dan hujan. Oleh karena itu, maka setiap penduduk Indonesia mestinya menyadari sejak awal bahwa negara Indonesia adalah negara yang tidak hanya rawan dengan bencana kemarau dan banjir melainkan ada fenomena hidrometeorologis lainnya seperti; angin tornado/puting beliung, suhu panas, la nina-el nino, dan rob.
Berdasarkan data yang diperoleh. Pada periode 01 Januari – 30 November 2024 telah terjadi bencana alam sebanyak 107 kejadian. Dari jumlah tersebut, bencana yang paling sering terjadi yaitu bencana Cuaca Ekstrem/angin puting beliung 46 kejadian kemudian banjir/banjir bandang dengan 29 kejadian, tanah longsor 9 kejadian, Gempa Bumi 2 kejadian, kekeringan 10 kejadian di kabupaten/kota terdampak, Kebakaran hutan dan Lahan 7 kejadian dan gelombang pasang/rob 4 kejadian (https://bpbd.ntbprov.go.id/). Ada peningkatan jumlah bencana dari tahun sebelumnya. Khusus pada kategori cuaca ekstrim/angin puting beliung dan kebakaran hutan dan lahan.
Data yang sangat menghawatrikan adalah jumlah alih fungsi lahan dari hutan menjadi ladang jagung sangat luas. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB, peruntukkan alih fungsi lahan sawah di NTB, khususnya Pulau Sumbawa sebagai berikut, Kabupaten Sumbawa seluas 3.794,30 hektare (Ha), Kabupaten Bima seluas 2.958,50 Ha, Kabupaten Dompu seluas 1.668,40 Ha. dan Kota Bima 395,10 Ha. Data menunjukkan bahwa yang paling tinggi tingkat alih fungsi lahannya adalah Kabupaten Sumbawa, Dompu, Kab. Bima, Kab. Sumbawa Barat dan Kota Bima.
Tentu saja kegiatan alih fungsi lahan bila dilakukan di Kawasan yang bukan termasuk penyangga air, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun, kegiatan alih fungsi lahan justru terjadi di Kawasan hutan. Hal itu, membuat banyak terjadi bencana hidrometeorologis seperti banjis, angin puting beliung, kemarau Panjang, cuaca ekstrim, dll. Semua kejadian bencana alam tersebut tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas manusia. Baik aktivitas ekonomi, social, budaya, dan politik.
Banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengupayakan penyelesaian masalah bencana hidrometeorologis tersebut. Namun, hampir semua solusi yang dilakukan pendekatannya bersifat teknis seperti membangun bendungan dan Dam. Belum ada upaya yang lebih serius dan berdampak jangka Panjang bagi keberlanjutan lingkungan hidup.
Solusi lain yang pernah dilakukan adalah melakukan Gerakan penanaman sejutan pohon. Hal tersebut juga dipandang sia-siakan anggaran karena pohon yang ditanam tidak banyak yang berhasil tumbuh. Bahkan sebelum tumbuh dia mengalami kematian premature karena tidak mampu bertahan dengan tantangan fisiografis di lahan tersebut. Faktor manusia sebagai “predator lahan“ juga menjadi salah satu faktor dari “kegagalan” program penanaman sejuta pohon tersebut.
Lalu apa masalahnya? Apakah patut menyalahkan masyarakat petani dengan mengabaikan elit politik dan elit ekonomi?
Lingkaran setan masalah alih fungsi lahan
Pertama; kondisi pertumbuhan ekonomi masyarakat petani yang stagnan. Sementara tingkat kebutuhan masyarakat yang makin tinggi karena berbagai harga sembako yang selalu naik setiap tahun. Lalu biaya sekolah/kuliah anak-anak yang juga mengalami peningkatan. Hal tersebut membuat petani menghalalkan segala cara untuk membuka lahan pertanian. Kedua; faktor janji politik kepala daerah. Hampir semua calon Kepala Daerah (gubernur, walikota, dan bupati) berjanji untuk melindungi aktivitas petani sebagai konstituen politik dari masing-masing calon. Hal tersebut membuat kepala daerah terpilih terikat janji politik dengan rakyat yang bekerja sebagai petani. Para calon kepala daerah tidak memperhatikan dampak jangka panjang bagi lingkungan. Saat ditetapkan sebagai kepala daerah definitifi, mereka tidak berani membuat kebijakan yang dinilai tidak populis. Mereka khawatir dengan kehilangan konstituennya. Akibatnya, kebijakan yang diputuskan adalah kebijakan yang melindungi petani dan mengabaikan kelestarian lingkungan. Ketiga; adanya ego geografi dari masing-masing kepala daerah. Seakan antara wilayah geografis tidak memiliki hubungan saling ketergantungan (interdepedensi). Ketiadaan hubungan antara wilayah membuat wilayah yang memiliki hutan banyak dan berfungsi sebagai penyangga air tidak peduli dengan wilayah lain yang kurang hutannya dan kondisi lingkungannya bergantung pada keadaan hutan. Di Pulau Lombok, harus diakui bahwa penyangga airnya adalah Lombok Utara. Lombok bagian Tengah, Barat, Timur, dan selatan bergantung pada kondisi hutan di utara. Bila Hutan utara rusak, maka akan berakibat pada tengah, barat, timur, dan lebih-lebih selatan. Andai pemerintah KLU membuat program penanaman jagung di lahan hutan yang ada, maka semua wilayah di Pulau Lombok akan mengalami problem hidrometeorologis yang ekstrim. Demikian halnya dengan Pulau Sumbawa, semua memiliki daerah penyangga
Ketiga hal tersebut adalah jalin berkelindan dan tidak dapat dipisahkan dari problem yang menimpa lingkungan hidup kita. Dengan kata lain bahwa wilayah satu dengan lainnya berhubungan saling ketergantungan (Hermawan, 2003). Elemen pemerintah daerah dan stake holders lainnya (DPRD, Polisi, TNI, LSM, Jurnalis, Toga, Toma, pemuda, perempuan, tokoh adat, sekolah, dll) harus menyadari sepenuhnya bahwa bumi yang ada ini harus dipelihara dan dijaga dengan baik. Semua elemen bahu membahu mengatasi problem bencana hidrometeorlogis yang makin lama makin intens dan membahayakan bagi keberlangsungan makhluk hidup.
Pemerintah setempat harus bertanggungjawab atas berbagai bencana yang terjadi. Pajak yang dikumpulkan oleh rakyat dan dimanfaatkan Sebagiannya untuk membayar aparatur negara dalam rangka melayani rakyat agar memastikan rakyat hidup dalam kenyamanan dan keamanan. Bila kehidupan rakyat terganggu dan tidak nyaman serta tidak aman dari berbagai macam gangguan dan ancaman, maka pemerintah tersebut dapat dikatakan tidak mampu menanggung amanah sebagai pelayan publik.
Sebagai contoh; bencana banjir yang menimpah wilayah Bima dan Dompu pada akhir tahun 2024 dan awal tahun 2025 tumben terjadi secara berturut-turut dan dengan volume air dan lumpur yang sangat banyak. Fenomena banjir yang datang berkali-kali tersebut menunjukkan bahwa tingkat kerusakan hutan yang berfungsi sebagai penyangga air sudah berkurang signifikan. Kurangnya jumlah kayu di hutan berakibat pada meningkatnya volume air yang mengalir di atas permukaan (runoff) di kala hujan tiba. Meningkatnya volume air yang mengalir di atas permukaan menyebabkan daerah aliran sungai (DAS) tidak sanggup menampung jumlah besar air hujan yang mengalir di atas permukaan tersebut. Selain air, DAS juga menerima material padat (kerikil, kerakal, pasir kasar dan halus, tanah, serta kayu-kayu) lebih banyak. Akibatnya terjadi percepatan sedimentasi pada daerah DAS yang menyebkan pendangkalan DAS. Sedimentasi DAS makin memperparah jumlah air yang meluap ke daratan dan pemukiman penduduk.
Situasi saat ini sudah masuk dalam fase kritis dan butuh segera untuk berbalik arah sebelum daerah Bima (kota dan kabupaten) dan Dompu tenggelam oleh banjir bandang pada periode-periode berikutnya.
Langkah yang diambil
Pertama; pemerintah harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru yang tidak hanya mengandalkan pertanian rutin (padi dan jagung). Perlu diperluas dengan rumput laut, udang, ikan, peternakan, pariwisata, dan usaha lain yang bisa dikembangkan berdasarkan pada potensi alam yang dimiliki. Sisihkan Sebagian biaya untuk menghadirkan pakar-pakar di bidang peternakan, perikanan-kelautan, teknologi pertanian, pariwisata, dan lain-lain. Pakar-pakar tersebut diharapkan dapat memberikan saran dan masukan yang penting untuk membangun daerah yang lebih baik. Jangan kepala daerah hanya mendengar tim sukses yang notabene praktis dan pragmatis. Apabila kepala daerah hanya mendengarkan tim sukses, maka kepala daerah tersebut siap menerima imbalan politik dari sikapnya yang ekslusif.
Kedua; perlu melakukan pendekatan sosial, budaya lokal, dan agama kepada masyarakat yang sudah terlanjur melakukan pembalakan liar atau mengalihfungsikan lahan hutan menjadi ladang jagung dan padi. Pendekatan tersebut dipandang peting agar proses berubahnya mindset petani benar-benar atas kesadaran penuh terhadap nilai budaya lokal, agama, dan sosial.
Ketiga; perlu penetapan kebijakan strategis zonasi hutan yang boleh dimanfaatkan untuk berladang dan mana yang dilarang untuk di buat ladang atau aktivitas pertanian lainnya. Sejauh pengetahuan saya, di Bima dan Dompu belum ada zonasi wilayah hutan yang boleh dan tidak boleh dijadikan sebagai ladang. Ketiadaan zonasi wilayah hutan menyebabkan penduduk “berlomba-lomba” melakukan pengalihan fungsi lahan hutan menjadi ladang.
Keempat; harus ada Langkah koordinasi yang intens antara Walikota Bima, Bupati Bima dan juga Bupati Dompu dalam rangka menyelesaikan bersama problem banjir yang terus menerus terjadi dan makin ke sini makin sering terjadi dan makin besar luapan air dari berbagai DAS yang ada.
Kelima; untuk solusi jangka Panjang, perlu secara serius melakukan reboisasi yang terkontrol. Selama ini ada Gerakan menaman sejuta pohon. Namun saya kira kalau hanya sekadar menanam tanpa diikuti dengan menjaga dan merawat pohon yang ditanam tersebut, maka tidak beberapa lama pohon tersebut akan mengalami kematian prematur karena tidak mampu beradaptasi dengan alam. Untuk itu, program reboisasi bukan hanya menanam melainkan juga memelihara dan menjaga sampai pohon yang ditanam tersebut benar-benar diyakini bisa tumbuh dengan sendiri. Selama ini mindset solusi selalu teknis yakni mendirikan DAM dan Bendungan. Mendirikan DAM Bendungan untuk menyelesaikan banjir adalah penyelesaian bersifat sesaat dan cenderung bersifat pragmatis. Fenomena alam hanya bisa diminimalisir dengan pendekatan alam. Reboisasi baik vegetatif, fisik, dan kimiawi.
Keenam; penegakan hukum bagi pelaku maupun yang mem-backup perilaku illegal logging. Hukum yang ada bisa memasukkan hukum adat sebagai salah satu instrument hukum yang dapat diterima oleh warga setempat. Selian pelaku illegal looging dan aparat yang melindungi petani, perlu juga ditindak dengan tegas pengusaha kayu yang menerima kayu jualan petani yang belum memenuhi usia potong sesuai standar UU.
Keenam poin tersebut dapat diterapkan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan daerah.
Menyelesaikan problem bencana hidrometeorologis diperlukan keberanian untuk memastikan tahapan solusi tersebut berjalan dengan baik dan sesuai ekspektasi warga. Selain keberanian, kekompakan semua stake holders dalam melihat problem jangka Panjang yang menimpa anak-anak dan cucu-cucu kita ke depan. Jangan sampai generasi mendatang hanya mendengar dongeng tentang adanya ayam hutan, burung pipit, ular phyton, kupu-kupu, capung, dan lain-lain. Mendengar bahwa di sini dulu adalah sungai yang jernih dan airnya mengalir sampai ke pantai. Pagi-pagi selalu mendengar ayam berkokok dan suara merdu burung berkicau menyambut pagi. Bila tidak dijaga dan dipelihara hutan sebagai sumber kehidupan makhluk hidup, maka generasi sekarang hanya meninggalkan sisa cerita tentang keindahan alam bagi generasi mendatang. Ironis!
Semoga pemimpin yang terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 lalu, memahami ancaman besar yang melanda keberlanjutan lingkungan hidup di daerah Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu.
*) Penulis adalah Dosen Geografi Universitas Muhammadiyah Mataram