Mataram (ANTARA) - Pengusaha transportasi lokal yang sehari-hari melayani jasa angkutan di Bandara Lombok, Nusa Tenggara Barat, merasa nasibnya dilemahkan oleh PT Angkasa Pura I (AP I) yang membuka akses bagi perusahaan transportasi besar, seperti Blue Bird dan taksi daring (online).
Ketua Koperasi Lombok Baru, H Lalu Basir, menyayangkan keputusan AP I yang tetap membuka keran bagi Blue Bird dan taksi aplikasi online, meskipun ada penolakan dari para pengusaha lokal.
"Saya lihat kebijakan ini melemahkan pengusaha lokal. Angkasa Pura I tetap memasukkan Blue Bird meskipun sudah ada penolakan dari kami, baik secara lisan maupun tertulis. Kami sudah berupaya memberikan masukan dalam sosialisasi, tetapi tetap tidak dihiraukan," katanya.
Menurutnya, upaya untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha lokal sudah dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari audiensi dengan dewan, hingga aksi protes. Namun, keputusan AP I tetap tidak berubah.
AP I Bandara Lombok memang memberikan opsi penambahan kuota armada bagi transportasi lokal. Namun, bagi pengusaha lokal, solusi ini tidak menyelesaikan masalah.
"Menambah kuota tidak menyelesaikan masalah karena armada sudah banyak, tetapi penumpang tidak bertambah. Ini sama saja memperkecil ruang usaha kami," ujarnya.
Para pengusaha transportasi lokal juga menyoroti bahwa kebijakan ini dinilai bertentangan dengan beberapa regulasi yang seharusnya melindungi mereka.
Mereka merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan ekonomi berbasis gotong royong dan kesejahteraan rakyat. Selain itu, mereka menyinggung Astra Cita Presiden yang mengutamakan ekonomi kerakyatan serta UU Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009 yang mengatur sistem transportasi nasional.
Tidak hanya itu, Peraturan Menteri Perhubungan No. 118 Tahun 2018 tentang angkutan sewa khusus juga menjadi sorotan karena dianggap tidak diterapkan secara merata dan adil bagi pengusaha lokal.
Lalu Basir menegaskan bahwa Angkasa Pura seharusnya lebih mempertimbangkan nasib pengusaha lokal sebelum mengizinkan perusahaan besar masuk.
"Kami tidak alergi terhadap perubahan, tapi waktunya belum tepat. Supir freelance lokal masih sangat membutuhkan penghasilan dari bandara. Transportasi lokal kita sudah cukup standar dan jumlahnya sangat cukup untuk melayani penumpang. Harap dipertimbangkan lagi kerja sama dengan Blue Bird dan taksi online lainnya," ucapnya.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) NTB, Junaidi Kasum, juga menyoroti polemik moda transportasi darat di Bandara Lombok. Menurutnya, pihak pengelola bandara seharusnya lebih mengutamakan transportasi lokal sebelum memberikan izin kepada perusahaan besar.
"Saya memberikan saran kepada otoritas bandara untuk mengacu pada aturan yang berlaku. Hari ini ada pihak yang melakukan demonstrasi menolak masuknya perusahaan nasional dan aplikasi online, tetapi Organda tidak diajak berdiskusi untuk mencari solusi bersama. Padahal, ini menyangkut keadilan bagi pengusaha lokal," katanya.
Ia juga menyayangkan jika nantinya pengelola bandara berencana mendatangkan pengelola transportasi dari luar daerah untuk mengatur layanan di Bandara Lombok.
"Kalau pengusaha lokal masih mampu memberikan layanan, kenapa harus mendatangkan perusahaan luar? Ini bisa memicu konflik baru. Ini kan artinya pengelola bandara sendiri sebagai otoritas yang membuat keributan itu," ujarnya.
Junaidi juga menyoroti kehadiran taksi online yang mulai masuk tanpa regulasi yang jelas.
"Taksi online boleh masuk, tapi harus ada pembatasan. Di bandara lain biasanya ada penandaan seperti stiker khusus agar tidak semua armada bisa seenaknya masuk. Hal ini harus diperhatikan oleh pengelola bandara," ucapnya.
Menanggapi protes dari pengusaha transportasi lokal, Humas PT Angkasa Pura I Bandara Lombok, Arif Haryanto, menegaskan bahwa keberagaman pilihan transportasi di bandara adalah bagian dari upaya meningkatkan pelayanan bagi penumpang.
"Perlu diketahui bahwa para pengemudi transportasi berbasis online yang ada di bandara merupakan mitra usaha PT Angkasa Pura Indonesia yang masuk ke dalam anggota koperasi dan juga perusahaan land transport yang dikelola masyarakat Lombok Tengah," katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa penghentian kemitraan dengan Blue Bird, Grab, dan GoCar bisa menciptakan preseden buruk bagi dunia usaha di bandara.
"Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi ekosistem bisnis di PT Angkasa Pura Indonesia KC Bandara Lombok secara khusus, serta PT Angkasa Pura Indonesia secara keseluruhan, guna menjaga stabilitas dan keberlanjutan operasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional," ucapnya.