Bom waktu kepunahan tenggang rasa kita

id Bom waktu ,tenggang rasa,demo,anarkis,mahasiswa Oleh Zunnur Roin *)

Bom waktu kepunahan tenggang rasa kita

Pemerhati Sosial Politik/Founder KOLEEGA, Zunnur Roin (ANTARA/HO-Dok Zunnur Roin)

Mataram (ANTARA) - Ekspresi kemarahan publik dalam kurun sebulan terakhir, tersulut tanpa kendali yang bahkan menyisakan bekas luka terparah pasca reformasi, 1998. Kita ingat bagaimana gelombang massa di mulai dari Pati, saat masyarakatnya menolak kenaikan 250 % Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang terpicu dari reaksi arogan Bupati Pati, Sudewo saat awal-awal merespon aspirasi penolakan tersebut.

Akhir pekan di penghujung Agustus 2025 ini, gelombang massa meluas seantero tanah air. Berasal dari berbagai elemen masyarakat dengan fokus isu yang sebenarnya tidak seragam dan landasan komprehensif. Namun didominasi oleh kritik atas penyesuaian pendapatan anggota DPR yang mengalami kenaikan signifikan dari sektor tunjangan.

Respon publik kemudian gayung bersambut dengan komentar-komentar, gimmick dari beberapa anggota DPR dan Pejabat elit eksekutif yang di nilai ngawur dan tendensius. Alhasil memunculkan mosi pembubaran DPR hingga tuntutan terhadap berbagai persoalan kesenjangan sosial dan krisis perekonomian yang tengah dialami masyarakat.

Domino effect gerakan massa yang berlangsung sejak 28 Agustus lalu telah menelan korban jiwa, pembakaran kendaraan, markas kepolisian, fasilitas umum, dan Gedung-gedung pemerintah di berbagai daerah. Sebagai buntut dari gugurnya salah seorang Pengemudi ojek online, Affan Kurniawan yang diketahui terlindas kendaraan taktis milik Brimob Polda Metro Jaya. Nasib nahas yang menimpa Affan diketahui jika ternyata ia bukan peserta aksi massa, melainkan sedang menjalani pekerjaannya yang kebetulan terjebak dalam kerumunan massa yang chaos.

Situasi nasional terkini bahkan telah meluas menjadi konten kerusuhan di berbagai media sosial, bahkan tersorot dalam pemberitaan Internasional. Pemerintah telah melakukan berbagai reaksi, pernyataan pers Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto nyatanya tidak efektif sebagai obat penenang. Sehari setelah Prabowo menyerukan pernyataannya, situasi Jakarta dan berbagai daerah tetap lebih mencekam. Bahkan upaya mengevaluasi total rencana kebijakan baru soal tunjangan anggota DPR nyatanya diabaikan, hingga diketahui rumah anggota DPR, Ahmad Syahroni, Eko Patrio, Uya.Kuya dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani di datangi massa dan di jarah.

Pertanyaan soal situasi yang terjadi sepanjang waktu terakhir ini seakan tidak terjawab secara utuh. Apakah semata karena prakondisi keamanan nasional yang lemah akibat dari rapuhnya koalisi Pemerintah, atau adanya desain provokasi dari lingkar dalam maupun lingkar luar Pemerintahan Prabowo-Gibran, atau bahkan akumulasi krisis kepercayaan publik terhadap Lembaga negara itu sendiri. Bagaimanapun pertanyaan dan jawabannya, legitimasi Prabowo dipertaruhkan dalam menjaga stabilitas ekonomi-politik nasional yang berdampak langsung pada reputasi kepemimpinannya.

Seyogyanya, Presiden Prabowo harus memanfaatkan kondisi ini sebagai variabel utama mengukur masa depan kepemimpinannya. Presiden memiliki otoritas untuk menggunakan fitur-fitur Negara demi dan untuk menjaga target cita-cita Nasional multi sektor. Termasuk halnya melakukan investigasi sekaligus evaluasi kondisi krisis yang ditimbulkan oleh aksi massa yang telah terjadi. Narasi patriotik yang selalu jadi bingkisan kalimat Presiden Prabowo di publik, harusnya tidak di anggap “tong kosong nyaring bunyinya” di telinga para pembantu-pembantunya, kawan-kawan koalisinya, hingga mengalir sebagai tabiat baik lingkaran rezimnya.

Melalui eskalasi perrgerakan massa yang mungkin akan terus berlangsung, wajah sosial dan politik kita akhirnya menunjukkan raut aslinya. Ketika rakyat menggunakan kedaulatannya secara bebas nilai, “tembok-tembok normatif,birokratis,elitis” akhirnya rusak oleh kekuatan sporadik. Kondisi ini tidak sebatas cerminan perlunya evaluasi sektoral, tapi lebih otentik tentang kesadaran kolektif dan subtantif. Bukan sekedar mengerucutkan persoalan pada analisis aktor dan peristiwa monumental. Yang kemudian dibalut dengan kebijakan tentatif dan insidentil, lalu seakan-akan menampakkan rasa kemanusiaan yang sesungguhnya reaksioner, atau melakukan upaya-upaya simpatik agar terlihat peduli.

Kita harus bertanya sejauh mana akal budi di pakai sebagai kekuatan dalam pembangunan bangsa dan negara. Disaat terasa sekali hilangnya tenggang rasa dalam afirmasi kebijakan kerakyatan kita, rontoknya tenggang rasa keadilan hukum, hipokritnya tenggang rasa dalam dinamika orkestrasi kepentingan para aktor politik kita, sempitnya celah tenggang rasa antara si kaya dan si miskin.

Syahdan, tenggang rasa tampaknya telah punah, sebentuk nilai yang meletakkan kesetaraan dan kemanusiaan sebagai standar nilai-nilai keadilan itu sendiri. Ia tidak boleh hanya mengendap sebagai kampanye sosial dalam prinsip hubungan antar sesama di lapis bawah, antara “si butet dan di aliong” atau “si suryo dan si daeng”, namun harus berkelindan dalam hubungan rakyat, pemerintah dan negara. Berbentuk loyalitas pada fatsun kemanusiaan antara personil penyelenggara negara dengan rakyat, sebagai konsekuensi luhur bernegara kita. Yakni konsensus untuk memandatkan kedaulatan rakyat kepada pemerintahan yang sejatinya dijalankan oleh aktor-aktor demokratis, humanis dan tahu diri.

Apa yang kemudian diakibatkan atas kepunahan tenggang rasa yang paling berbahaya adalah, benturan kesewenang-wenangan antara satu sama lain. Seperti apa yang telah terjadi dalam fenomena belakangan hari merupakan “daya rusak” vis a vis akumulasi ketidakadilan. Faktor sebab akibat kerusuhan tak lagi relevan ditelisik pada standar norma-norma hukum, tapi lebih otentik tentang rasa kemanusiaan, kewarasan dan kesadaran politk seluruh anak bangsa.

*) Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik/Founder KOLEEGA (Koneksi Lentera Egaliter)



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.