Tajuk ANTARA NTB- Honorer NTB: Harapan dan kekecewaan

id tajuk ANTARA NTB,honorer,harapan,kekecewaan Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB- Honorer NTB: Harapan dan kekecewaan

Ilustrasi. (Istimewa)

Mataram (ANTARA) - Setiap tahun, ribuan tenaga honorer di Nusa Tenggara Barat menunggu kepastian status mereka. Skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu hadir sebagai harapan, memberi peluang bagi mereka yang telah lama mengabdi di sekolah, puskesmas, dan kantor pemerintahan.

Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan, ribuan honorer tetap terpinggirkan, sebagian karena tidak tercatat di database resmi, sebagian lain tersisih akibat keterbatasan kuota.

Ketidakpastian ini bukan sekadar angka statistik. Setiap honorer yang tertinggal menghadapi dampak sosial dan ekonomi nyata seperti halnya pendapatan yang tidak stabil, motivasi kerja yang menurun, bahkan risiko meninggalkan profesi yang mereka geluti puluhan tahun. Gaji honorer masih jauh dari upah minimum. Di sekolah swasta, misalnya, guru honorer hanya menerima Rp300.000 per bulan dari insentif Baznas.

Di Lombok Timur, 1.500 honorer tidak masuk database Badan Kepegawaian Negara (BKN), sehingga otomatis tak bisa diusulkan ke pusat. Di tingkat provinsi, 518 honorer masih menunggu keputusan Gubernur terkait nasib mereka pada 2026.

Di sisi lain, kabar baik datang dari Lombok Tengah, di mana 4.591 tenaga honorer dinyatakan lulus seleksi administrasi dan segera menerima Surat Keputusan tanpa harus mengikuti ujian ulang. Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah kebijakan PPPK paruh waktu benar-benar mampu menyelesaikan masalah honorer, atau justru memperlebar kesenjangan antarwilayah?

Proses seleksi PPPK, yang seharusnya memberi kepastian, justru memunculkan persoalan baru. Di Dompu, muncul laporan tentang “honorer siluman” yang lolos meski tidak bekerja dalam dua hingga tiga tahun terakhir.

Sementara itu, honorer yang puluhan tahun mengabdi tersingkir karena persoalan administratif seperti tidak masuk database, masa pengabdian kurang dari dua tahun, atau gagal memenuhi syarat teknis. Ketimpangan ini menimbulkan rasa tidak adil di kalangan tenaga honorer yang bekerja nyata di lapangan.

Masalah utama berakar pada keterbatasan kuota dan data yang tidak sinkron. Banyak honorer tidak tercatat di BKN, meski setiap hari hadir di sekolah atau puskesmas. Seleksi yang kaku dan minim pengawasan juga membuka ruang praktik curang.

Solusinya adalah memberikan pengakuan lebih bagi honorer senior melalui bobot nilai tambahan, memperbaiki sistem database agar akurat dan transparan, serta menyediakan skema perlindungan bagi mereka yang gagal lolos, termasuk pelatihan dan kesempatan pekerjaan alternatif.

Jika persoalan ini tidak segera diatasi, NTB berpotensi menghadapi dampak jangka panjang berupa meningkatnya pengangguran terdidik, menurunnya kualitas layanan publik, dan menurunnya motivasi honorer yang masih bertahan.

Nasib ribuan tenaga honorer hari ini adalah potret nyata bagaimana kebijakan bisa meninggalkan celah. Mereka bukan sekadar angka dalam database; mereka adalah wajah pelayanan publik yang setiap hari hadir di kelas, ruang tunggu puskesmas, atau kantor desa. Menyelesaikan persoalan honorer bukan hanya soal anggaran, tetapi soal penghargaan terhadap pengabdian.

Baca juga: Tajuk - Krisis tabung hijau di NTB: Data vs realita
Baca juga: Tajuk: Jejak hoaks di NTB, Media lokal jadi garda terakhir
Baca juga: Tajuk: Hilirisasi garam NTB, Tantangan atau peluang?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Garasi jadi paripurna, Aspirasi jangan terbakar lagi
Baca juga: Tajuk: MotoGP Mandalika 2025: Saatnya NTB berbenah di luar lintasan



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.