Mataram (ANTARA) - Partai politik dalam arti modern dapat dianggap sebagai formasi sosial yang relatif tahan lama (yang berusaha meraih jabatan atau kekuasaan dalam pemerintahan), menunjukkan suatu struktur atau organisasi yang menghubungkan para pemimpin di pusat (pemerintahan) dengan pengikut rakyat yang signifikan di arena politik dan kantong-kantong lokal, dan menghasilkan perspektif atau setidaknya simbol-simbol identifikasi atau kesetiaan kelompok. - William Nisbet Chambers (1967)
Tulisan Abdul Hakim tentang Rumah Rakyat NTB di Tengah Badai Gratifikasi dalam Tajuk Antara NTB, Kamis 4 Desember 2025, kembali mengingatkan kita tentang pentingnya etika dan integritas politik, serta transparansi dan kompas moral bagi pejabat publik. Tulisan dengan latar pemanggilan 32 orang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Nusa Tenggara Barat (DPRD NTB) oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB dalam kasus dugaan dana gratifikasi itu, disebut sebagai pukulan serius bagi bagi tata kelola politik di daerah.
Istilah ‘tata kelola politik’ yang digunakan Kepala Biro ANTARA NTB dalam tulisan itu, seakan mengajak kita untuk meneropong ulang konsep demokrasi, partai politik dan politisi. Sekaligus mencermati bagaimana interaksi ketiganya dalam praktik.
Clinton Rossiter (1960), mengatakan, tidak ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik tanpa partai”. Jika merujuk pada aksioma ini, maka terlihat jelas bahwa kehadiran partai politik tidak bisa dipisahkan dengan politik sebagai suatu makna dan aktivitas. Bersamaan dengan itu, partai politik juga menjadi alat ukur kemajuan suatu negara terhadap berdemokrasi, khususnya dalam hal kemampuan partai politik dalam mengembangkan organisasi.
Organisasi partai politik, harus disadari, tidak digerakkan oleh mesin dan teknologi. Tetapi oleh manusia-manusia yang ada di dalamnya. Dan manusia-manusia yang ada di dalam organisasi partai politik adalah para politikus. Karenanya, kualitas organisasi partai politik akan sangat ditentukan oleh kualitas politisinya.
Kendatipun demikian, Aldrich JH (1995) tetap mengingatkan, partai politik tidak boleh juga diletakkan dibawah bayang-bayang para politisi yang ada di dalamnya. Karena secara organisasi, partai politik memiliki misi, visi, tujuan jangka panjang dan strategi. Karena itu, partai politik harus menjadi dirinya sendiri. Partai harus menjadi living-organism yang terus menerus (ad infinitum) beradaptasi dengan lingkungannya, sekaligus menjadi motor penggerak ide dan gagasan baru untuk menyejahterakan rakyat serta mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas. (Firmanzah : 2008)
Karena itu kita bisa memaklumi kegelisahan Abdul Hakim yang melihat kasus dugaan dana gratifikasi itu sebagai (salah satu) pukulan serius bagi tata kelola politik di daerah. Penetapan tiga orang anggota DPRD NTB 2024 2029 sebagai tersangka dalam kasus dugaan dana gratifikasi, Indra Jaya Usman dan M. Nashib Ikroman (20 November 2025), menyusul empat hari kemudian Hamdan Kasim (24 November 2025), bagaimanapun mengundang keprihatinan.
Ketiganya merepresentasikan politisi muda yang sukses meniti karir politik. Sebut saja Indra Jaya Usman. Ia adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat NTB. Begitupun M. Nashib Ikroman. Ia adalah Sekretaris DPW Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Sementara Hamdan Kasim adalah Ketua Fraksi Partai Golkar dan Ketua Komisi IV DPRD NTB. Jabatan prestisius, yang hampir semua politsi, baik tua maupun muda, menginginkannya.
Secara hukum, tidak secara serta merta seorang tersangka sudah dapat dinyatakan bersalah, sebelum ada putusan pengadilan. Hal ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penentuan bersalah atau tidaknya seseorang adalah dengan adanya putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Disisi lain, penyidik menetapkan status seseorang sebagai tersangka, juga bukan serta merta. Melainkan karena sudah memiliki bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana terhadap suatu peristiwa.
Sambil menghormati proses hukum yang sedang berjalan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat telah menunjuk dan mengangkat, Sekretaris I Badan Pembinaan Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi (BPOKK) DPP Partai Demokrat, Si Made Rai Edi Astawa, S.Sos., M.P.M., sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD Partai Demokrat NTB.
Langkah yang dilakukan DPP Partai Demokrat melalui Agus Harimurti Yudhoyono (Ketua Umum) dan H.E. Herman Khaeron (Sekretaris Jenderal) mengkonfirmasi apa yang secara teoritis dirumuskan oleh William Nisbet Chambers sebagaimana dikutip pada bagian awal tulisan ini. Partai politik modern menunjukkan adanya keterhubungan antara pemimpin di pusat dengan pengikut rakyat yang signifikan di arena politik dan kantong-kantong lokal, yang menghasilkan perspektif atau setidaknya simbol-simbol identifikasi atau kesetiaan kelompok.
Karena itu, mewakili Partai Demokrat, Plt. Ketua DPD Partai Demokrat NTB, Si Made Rai Edi Astawa, S.Sos., M.P.M., menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat NTB atas kasus yang menyeret nama IJU tersebut. Tetapi, sebagai bagian dari tanggungjawab organisasi serta bentuk solidaritas internal, Partai Demokrat tetap memberikan pendampingan hukum kepada IJU.
Prinsipnya, Si Made Rai Edi Astawa, menegaskan, kasus yang menimpa IJU tidak boleh mengalihkan fokus Partai Demokrat dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Demokrat tetap solid dan akan terus berupaya memberikan peran dan berkontribusi positif bagi masyarakat NTB.
Melansir amicus curiae yang diajukan Komite Pembaharuan Partai berbasis di Amerika Serikat ke Mahkamah Agung setempat di tahun 1996, . partai memainkan peran penting dalam mendorong partisipasi aktif dalam politik, menuntut politisi bertanggungjawab atas tindakan mereka, dan mendorong debat dan diskusi tentang isu-isu penting. Amicus curiae ini dalam buku Handbook Partai Politik (2014) diistilahkan sebagai semacam konsensus ringkas tentang peran yang bisa dimainkan oleh semua partai politik. Wallahualam Bishawab.
*) Penulis adalah Sekretaris DPC Partai Demokrat Kota Mataram
