Mataram (ANTARA) - Apakah Indonesia masih layak disebut sebagai paru-paru dunia ? setelah kebakaran hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit _(palm oil)_ , hilirisasi bahan ekstaktif _(ekstraktif Industries)_ sebut saja di Kalimantan dan Maluku yang merajalela sampai terjadi bencana banjir di Sumatera baru-baru ini akibat degradasi hutan hujan tropis di kawasan itu yang sangat vital.
Pertanyaan itu berkumandang semakin nyaring ketika harian kompas merilis peta citra Pulau Sumatera terutama di tiga Provinsi yaitu Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang membandingkan alih fungsi Hutan Konservasi (hutan lindung, suaka alam, cagar alam, suaka margasatwa, dan tahura) dan Hutan Nonkonservasi (hutan produksi,
hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi konversi) sejak kurun waktu 2012-2024 yang mengalami alih fungsi yang menurut Kompas sebagai Penyalahgunaan Peruntukan RTRW yang sangat ekstrim menjadi area tambang, lahan perkebunan sawit, permukiman dan lainnya.
Kita mungkin sering mendengarkan sebuah alibi “Indonesia menanggung beban oksigen untuk menjaga hutan, setelah dunia terutama negara-negara barat melakukan industrialisasi/hilirisasi di masa lampau dengan mengalih fungsikan hutan mereka, dan Indonesia kerap ditempatkan sebagai pihak yang harus memikul beban dan tanggung jawab moral atas kerusakan lingkungan global tersebut hingga dicap sebagai “paru paru dunia”, belakangan alibi itu disebut sebagai _Environmental Hypocrisy._
Saya ingin mengutip pendapat Farid Gaban seorang Jurnalis Senior dalam bukunya Reset Indonesia yang ditulisnya yang menyebutkan bahwa setiap pembangunan ada harganya. Perubahan Iklim, Bencana Alam, Kemiskinan yang secara real terjadi adalah akibat dari usaha pemerintah membuka kawasan hutan untuk keperluan pembangunan yang diklaim disebut sebagai upaya “kemakmuran”.
Namun sangat disayangkan bahwa pembangunan tersebut tidak berada pada landasan pembangunan yang kokoh dan berkelanjutan. Ketika pembangunan justru memberi dampak ekologis nyata dan luar biasa yang secara langsung ditanggung masyarakat, maka muncul sebuah pertanyaan apakah model pembangunan itu harus dipertahankan ? tentu tidak.
Dengan demikian, Indonesia harus memandang bahwa membuka lahan besar-besaran bukan menjelaskan sikap hipokrit negara lain atas tuntutan menjaga paru-paru dunia melainkan sudah tanggung jawab internal negara memastikan pembangunan tidak mengorbankan lingkungan hidup dan masa depan generasi mendatang.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan mesti secara sadar harus sejalan dengan cita-cita dan tujuan Negara dalam konstitusi alinea ke 4 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Hak Menguasai Negara & Hak Masyarakat Adat
Sebuah ungkapan terkenal menyebutkan “korupsi terbesar adalah korupsi terhadap lingkungan”, Negara mesti hadir untuk menjamin setiap upaya pembangunan harus menjadi ekspektasi anak bangsa untuk mendapatkan kesejahteran _(welfare benefits)_ . Namun terkadang penyalahgunaan kewenangan oleh negara tersebut sering terjadi dengan embel-embel kepentingan umum.
Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 dipahami sebagai bentuk tafsir yang keliru terhadap hak menguasai menjadi hak untuk untuk memiliki oleh negara atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sebagaimana warisan kolonial pemerintahan Hindia Belanda kita mengenal peraturan dalam bidang Agraria _(agrarisch besluit)_ atau _domein verklaring_ yang mendeklarasikan kepemilikan negara atas tanah, hal inilah yang kemudian menjadi keliru dan upaya monopolistik terhadap status kepemilikan negara terhadap lahan.
Jika kita simak Pasal 33 ayat 2 & 3 dalam konstitusi menyebutkan “(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Memaknai dua ayat ini setidknya ada dua hal bahwa negara memiliki hak menguasai yang secara eksplisit diberikan konstitusi namun sejalan dengan itu harus dijalankan semata-mata untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, makna menguasai oleh negara dalam hal ini harus kita maknai lebih terang. Negara memiliki hak untuk mengatur dan mengelola tanah bukan hak untuk memiliki tanah. Jika hendak mengaitkan dengan kedaulatan terhadap lingkungan, negara telah memberikan hak konsesi yang sangat besar kepada perusahaan-perusahaan tambang untuk melakukan eksplorasi serta pembukaan lahan juga untuk kebutuhan perkebunan sawit yang sangat luas.
Pemberian konsesi yang luas tersebut barangkali diberikan secara legal namun yang mesti digaris bawahi disini adalah bagaimana pemberian konsesi tersebut adalah pilihan yang tepat, terutama jika mengaitkan peruntukan lahan sesuai rencana tata ruang, disinilah sering terjadi kelemahan regulasi sampai dengan pengawasan konsesi yang sangat kurang, tiba-tiba dari kanal sebuah media satu perusahaan menguasai lahan untuk eksplorasi ratusan ribu hektar dalam jangka waktu yang tidak singkat.
Sementara itu, hak masyarakat adat dalam penguasaan hutan dan tanah adat telah dijamin dan diakui oleh Negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi yaitu mengakui dan menghormati satuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
Masyarakat adat telah terjamin mampu dan berhasil menjaga hutan secara turun temurun dari tiap generasi. Karena dalam nilai-nilai masyarakat adat _(living law)_ terdapat prinsip perlindungan kepentingan bersama dan menjunjung tinggi fungsi sosial yang sakral terhadap nilai/eksistensi satu benda. Dalam sistem adat juga dikenal awik-awik dan sanksi sosial terhadap penyalahgunaan terhadap nilai-nilai adat.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat adat kehilangan akses di tanah dan hutan adat yang sejak nenek moyang mereka beratus-ratus tahun lalu sudah menetap, berburu dan meramu disana. Sebut saja di proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), kawasan-kawasan di wilayan Program Strategis Nasional (PSN), dan wilayah eksplorasi di Papua.
Pemerintah harus hadir untuk melindungi hak-hak masyarakat adat sebagaimana lumrah diketahui tanah-tanah dan hutan adat tidak terdokumentasi secara administratif oleh Negara dan yang sering terjadi hutan dan tanah adat dicaplok menjadi bagian dalam konsesi yang beratus-ratus ribu hektar tersebut, masyarakat adat terasingkan, terpinggirkan dan dimatikan.
Rehabilitasi & Reforestasi Sebuah Keharusan
Membuka lahan untuk Industri ekstraktif dan perkebunan sawit bukanlah sebuah dosa besar jika dalam tata pelaksanaannya tidak melakukan eksploitasi berlebih dan menafikkan tanggung jawab sosial dan ekologi.
Laporan Auriga Nusantara menunjukkan angka deforestasi di Indonesia sangat tinggi, tahun 2024 mencapai 261.575 hektare naik sebesar 4.191 hektare dari tahun 2023 dengan angka 257.384 hektare. Angka yang sangat fantastis ini terjadi terutama di kawasan hutan Kalimantan dan Sumatra yang masing-masing kehilangan hutan 124.000 hektare dan 91 ribu hektare. Jika fokus pada konsesi sawit menurut laporan Transparency Internasional Indonesia dan Forest Watch Indonesia menyebutkan angka yang fantastis yaitu 17 juta hektare. (cek www.ti.or.id/Proyek Sawit 20 Juta Hektar: Deforestasi Masif atau Korupsi Sistemik?)
Seperti lumrah dan kerap terjadi, pertanggungjawaban ekologis dalam praktik ekspolrasi bahan tambang di Indonesia sering kali dijalankan bahkan tanpa memenuhi kewajiban terhadap AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai syarat mutlak eksplorasi sesuai ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jika landasan eksplorasi saja tidak taat hukum maka apalagi jika berbicara mengenai aspek rehabilitasi lingkungan, bak air di hulu sudah tercemar maka demikian pula ekosistem di hilir.
Pentingnya rehabilitas akibat eksplorasi tambang maupun perkebunan kelapa sawit agar kembali pada ekosistem awal adalah sebuah keharusan. Tutupan lahan harus dipantau dengan ketat dan berkelanjutan. Mengembalikan hutan seperti sedia kala dengan melakukan penanaman kembali (reforestasi) baru bisa terjadi ketika bibit pohon yang ditanam berumur 5-6 tahun sehingga membutuhkan pemeliharaan yang berkelanjutan.
Generasi hari ini yang pada akhirnya akan menjadi generasi emas 2045 harus memiliki konsern terhadap isu lingkungan. SDGs _(Sustainable Development Goals)_ menetapkan salah satu isu krusial sebagai titik acuan pembangunan berbasis lingkungan agar sinambung untuk generasi yang akan datang diantaranya SDGs 6 Memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih dan berkelanjutan untuk semua dan SDGs 7 yaitu Mendorong penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi.
Pada akhirnya, perang terhadap kerusakan lingkungan hidup bukanlah sekedar soal menjawab tekanan global atau menuding negara lain bersifat hipokrit. Melainkan sebuah tanggung jawab _(responsibility)_ dan harga diri _(dignity)_ sebuah bangsa menjamin keberlangsungan hidup generasi yang akan datang. Pembangunan dan upaya menjaga hutan harus senantiasa berjalan beriringan, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup harus ditegakkan sehingga cita-cita kejayaan Indonesia 2045 bukanlah omong kosong belaka.
*) Penulis adalah Kolumnis/Alumni Pelatihan Advokasi Kebebasan Sipil Friedrich Naumann Foundation