Hari Kusta Sedunia diperingati setiap hari Minggu terakhir bulan Desember, khusus di Asia ditetapkan pada hari Minggu terakhir bulan Januari, sesuai hari kematian Mahatma Gandhi.
Mahatma Gandhi selaku pemimpin India yang meninggal dunia karena dibunuh itu, dinilai menaruh perhatian dan berjasa besar kepada penderita kusta.
Lazimnya, Hari Kusta Sedunia dimaknai penduduk dunia sebagai hari penggalangan solidaritas dan kepedulian masyarakat serta berbagai pihak untuk lebih meningkatkan upaya pemberantasan penyakit kusta agar jumlah penderita dapat ditekan.
Masyarakat Indonesia juga perlu memaknai Hari Kusta Sedunia itu, karena pada tahun 2005 Indonesia menempati urutan ketiga penyumbang penderita kusta terbesar di dunia.
Demikian pula, masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) karena pada Agustus 2006 lalu, Direktur Pengendalian Penyakit Menular (P2M) Departemen Kesehatan dr Rusmini Day, MPH, mengumumkan 14 provinsi di Indonesia yang tergolong daerah rawan penyakit kusta.
Ke-14 propinsi di Indonesia yang rawan penyakit kusta itu yakni, Papua Barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Aceh dan DKI Jakarta.
Saat itu, dokter Rusmini menyebut jumlah penderita penyakit kusta di daerah-daerah tersebut mencapai sedikitnya 10.000 orang.
Kendati unsur Pemerintah Provinsi NTB tidak melakukan aksi penggalangan solidaritas dan kepedulian masyarakat di Hari Kusta Sedunia di kalangan penduduk Asia tanggal 25 Januari 2009, tidak berarti tidak ada upaya nyata.
Sepanjang tahun dinas teknis terkait di jajaran Pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah kabupaten/kota se-NTB, terus memantau dan menerapkan program pemulihan dan pemberdayaan para penderita kusta agar dapat menjalani kehidupan wajar seperti komunitas masyarakat lainnya.
Setiap tahun, Pemerintah Provinsi NTB mengalokasikan dana pemulihan dan pemberdayaan komunitas eks kusta yang berkisar antara Rp140 juta hingga Rp160 juta dengan jumlah sasaran bantuan 30-32 orang sesuai data yang direkomendasikan pihak rumah sakit.
Menurut Kepala Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil NTB, Drs Bachrudin, MPd, sebutan eks kusta tidak berarti pasien kusta itu telah terbebas dari penyakit yang disebabkan kuman "Mycobacterium Leprae" itu.
"Eks kusta merupakan penderita kusta yang sudah melewati proses perawatan intensif di rumah sakit namun masih diwajibkan mengkonsumsi obat minimal dua bulan sekali," ujarnya.
Sejarah Kusta
Dalam catatan kusta di dunia, penderita kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 sebelum Masehi, yang mengacu kepada buku "City of Joy" (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter sejumlah penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an.
Ketika itu, kusta menjadi penyakit yang "populer" dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India.
Namun, pendapat lain menyatakan kuman penyebab kusta pertama kali ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di Norwegia, sehingga penyakit ini sering disebut penyakit Hansen.
Sejak saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Penyakit kusta disebabkan kuman Mycobacterium Leprae dan sejauh ini dikenal dengan dua tipe kusta yakni kusta tipe kering (Paucibacillary/PB) dan kusta tipe basah (Multibacillary/MB).
Tanda dini tipe PB adalah bercak putih seperti panu yang mati rasa pada kulit, sementara tipe MB berupa penebalan kulit atau benjolan-benjolan kecil kemerahan yang lama-lama mati rasa.
Sebagian besar ahli berpendapat dapat menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernafasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun, bahkan bisa mencapai 40 tahun.
Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi dengan nornal.
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka dan mati rasa karena kerusakan saraf tepi.
Kadangkala, ada orangtua menganggap enteng jika ada anggota keluarga menderita luka yang tidak kunjung sembuh dalam kurun waktu lama dan tidak terasa sakit bila ditekan menggunakan jari, padahal itu merupakan salah satu tanda menderita penyakit kusta.
Pencegahannya, masyarakat dianjurkan tidak kontak langsung dengan penderita dan memeriksakan diri ke dokter di puskesmas terdekat agar diketahui sejak dini apakah seseorang menderita penyakit kusta atau tidak.
Itu sebabnya, untuk mengantisipasi agar penderita kusta tidak bertambah banyak, maka petugas kesehatan bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat guna melakukan pemeriksaan terhadap masyarakat miskin di berbagai daerah terpencil.
Daerah terpencil pada umumnya merupakan kawasan terisolir dan kumuh, sehingga diyakini masyarakat yang menderita penyakit kusta umumnya berasal dari keluarga miskin dengan Sumber Daya Manusia (SDM) rendah bahkan belum memahami pentingnya arti kebersihan lingkungan bagi kehidupan manusia.
Faktor kemiskinan, SDM yang rendah dan kurangnya pemahaman tentang kebersihan lingkungan mendorong seseorang berpotensi terserang penyakit kusta.
Trauma masyarakat
Pemerintah Provinsi NTB telah berupaya membangun unit pemukiman khusus untuk para penderita kusta, dengan anggapan penyakit kusta atau lepra selaku salah satu penyakit tertua di dunia itu tidak menyebar luas.
Unit pemukiman khusus penderita kusta itu berlokasi di Rempung, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, sekitar 70 kilometer arah timur Kota Mataam, ibukota Provinsi NTB.
Lokasi itu juga tidak jauh dari RSUD Raden Soejono Selong, milik Pemkab Lombok Timur, hanya sekitar lima kilometer arah utara.
Namun, warga di sekitar kawasan pemukiman itu selalu saja menolak kehadiran komunitas penderita kusta itu karena masih dilanda trauma atas cerita-cerita miring tentang penyakit kusta.
Sebagian warga beranggapan penyakit kusta merupakan kutukan para leluluhur atas dosa-dosa yang pernah dibuat, dan kutukan itu diyakini dapat mendatangkan bencana ikutan.
"Trauma masyarakat itu masih saja terjadi sehingga program resettlemen (pemukiman baru) untuk penderita kusta tidak menjadi program prioritas," kata Kepala Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil NTB, Bachrudin.
Padahal, pola konsentrasi di unit pemukiman khusus memudahkan proses pengobatan dan pemeliharaan intensif serta dapat mencegah penularan yang semakin meluas.
Departemen kesehatan pun secara intensif berupaya memberikan layanan kesehatan gratis bagi penderita, karena pemerintah mendapat bantuan obatan-obatan bernilai miliaran rupiah dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan juga dana miliaran rupiah dari APBN setiap tahun anggaran.
Pemerintah meyakini penyakit kusta itu dapat disembuhkan dalam waktu singkat, enam bulan sampai satu tahun melalui pengobatan kombinasi Rifampicin, Lampren dan Dapson, sebagaimana direkomendasikan oleh WHO.
Kombinasi tiga obat yang direkomendasikan WHO itu telah terbukti memuaskan di negara-negara yang melaksanakan program pengobatan dengan regimen itu, lebih dari 10 juta penderita disembuhkan dan lebih dari satu juta selamat dari kecacatan.
Karenanya, Majelis Kesehatan Sedunia (WHA) mengeluarkan resolusi eliminasi kusta sejak tahun 2000 dengan tergat penurunan angka kesakitan lebih kecil dari satu per 10.000 penduduk.
Disisi lain, tambah Bachrudin, program pembauran komunitas penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat pun belum begitu efektif karena penolakan warga masih terjadi.
Sejumlah penderita kusta dari pemukiman Rempung, Lombok Timur, pernah diungsikan ke kediaman sanak keluarganya di lokasi pemukiman penduduk di berbagai kabupaten/kota, namun aksi penolakan warga terjadi juga.
"Dalam kondisi memprihatinkan, sanak keluarga penderita kusta itu kemudian mengisolasikan sipenderita di daerah yang relatif jauh dari orang yang mengenalnya dengan asumsi penyakit itu tidak diketahui," ujarnya.
Bachrudin mengakui, dilematis Pemerintah Provinsi NTB itu terus berlanjut, pola resettlemen dan program pembauran penderita kusta di tengah kehidupan bermasyarakat tidak bisa diterapkan.
"Sementara ini, pemerintah daerah cenderung mengikuti inisiatif sanak keluarga penderita penyakit kusta itu sambil mengupayakan bantuan obat-obatan untuk pemulihan dan penyaluran dana pemberdayaan dalam bentuk modal usaha terbatas," ujarnya. (*)