Mataram (ANTARA) - Pemeriksaan dua Wakil Ketua DPRD NTB oleh Kejaksaan Tinggi NTB pada 25 Juli 2025 menandai babak baru pengawasan terhadap dana pokok pikiran (pokir) DPRD. Lalu Wirajaya dan Yek Agil Al Haddar diperiksa dalam konteks dugaan aliran dana "siluman" dalam penganggaran tahun 2025. Walau masih berstatus klarifikasi, proses ini mengundang pertanyaan publik: di manakah batas legalitas peran anggota DPRD dalam pengusulan pokir? Dan sejauh mana mereka dapat dimintai pertanggungjawaban hukum?

Pokir lahir dari semangat memperkuat fungsi representatif DPRD. Dalam sistem penganggaran nasional, pokir diatur melalui Permendagri No. 86 Tahun 2017 dan mekanismenya dilaksanakan melalui SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah). DPRD melalui reses atau penjaringan aspirasi masyarakat mengusulkan program kegiatan yang kemudian dibahas dalam Musrenbang dan disinkronkan oleh TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah).

Namun, pokir bukanlah celah untuk menciptakan proyek titipan, apalagi menyelundupkan dana yang tidak transparan. Pengusulan program pokir harus memenuhi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kesesuaian dengan rencana kerja pembangunan daerah. Bila pokir digunakan sebagai sarana untuk mengakomodasi “kepentingan tertentu” yang dikondisikan, maka fungsinya melenceng dari tujuan awal sebagai alat demokrasi partisipatif.

Secara hukum, pemeriksaan terhadap anggota DPRD oleh kejaksaan dalam tahap penyelidikan bersifat normatif. Tidak ada yang luar biasa dari proses ini sepanjang dilakukan untuk mengklarifikasi dugaan pelanggaran hukum. Namun, penggunaan istilah “Dana Siluman” dalam isu ini menandakan adanya ketidakwajaran atau ketiadaan dasar hukum dalam alokasi dana pokir tersebut.

Dalam hukum pidana korupsi, penyimpangan anggaran, pengondisian proyek, dan intervensi dalam proses pengadaan dapat menjadi pintu masuk delik korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, terutama bila ditemukan adanya unsur memperkaya diri atau pihak lain secara melawan hukum.

Namun demikian, penting untuk mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Hingga kini, belum ada penetapan tersangka. Proses hukum harus dijalankan dengan adil, dan tidak boleh menjadi alat pembusukan politik. Pemeriksaan yang transparan dan obyektif adalah prasyarat utama bagi penegakan hukum yang adil.

Walau secara hukum belum ada penetapan bersalah, dari sudut pandang etik dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), publik berhak menilai integritas dan akuntabilitas para wakilnya. Anggota DPRD adalah pejabat publik yang terikat oleh kode etik dan sumpah jabatan. Keterlibatan mereka, bahkan hanya pada level pengusulan, patut dikritisi jika ternyata program tersebut dikondisikan untuk memperoleh keuntungan atau ditujukan pada pihak-pihak tertentu.

Dengan demikian, isu pokir bukan hanya soal legalitas, tetapi juga menyangkut tanggung jawab etik dan moral. Terlebih di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik, kasus seperti ini memperparah luka kolektif masyarakat atas perilaku elite yang kerap mengaburkan batas antara tugas representatif dan kepentingan pribadi.

Bahwa Pemeriksaan Kejati NTB terhadap dua pimpinan DPRD NTB dan anggota DPRD NTB menjadi alarm pengingat bahwa kewenangan politik mesti dijalankan dalam koridor hukum dan etika publik. Pokir yang semestinya menjadi kanal aspirasi rakyat tak boleh diselewengkan menjadi alat pengaruh atau keuntungan kelompok.

Kejaksaan harus menyelesaikan proses ini secara terbuka dan akuntabel. Bila cukup bukti, lanjutkan ke penyidikan. Namun bila tidak, masyarakat juga harus diberi penjelasan yang masuk akal. Di sisi lain, DPRD perlu mengevaluasi mekanisme internal pokir, memperkuat fungsi pengawasan, dan mengedepankan integritas dalam setiap usulan. Pokir disorot, dan kini etika dewan benar-benar dipertaruhkan.

*) Penulis adalah Praktisi Dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram dan Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027


Pewarta :  Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H. *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025