Mataram (ANTARA) - Kata meritokrasi kerap kali terdengar indah dan sering diucapkan di ruang-ruang publik kita hari ini. Meritokrasi menjanjikan dunia yang adil, tempat di mana setiap orang bisa maju karena kerja keras dan kemampuannya sendiri. Namun, seperti diingatkan filsuf Michael Sandel dalam The Tyranny of Merit, kisah itu sering hanya menjadi separuh kebenaran.

Tak semua orang berangkat dari garis start yang sama. Ada yang lahir dengan gizi cukup, akses pendidikan memadai, dan jejaring sosial kuat. Ada pula yang memulai hidup dari pinggir sawah, di rumah yang bocor, dengan buku-buku yang jarang utuh.

Keadilan sosial bukan sekadar memberi imbalan bagi yang tekun, melainkan memastikan semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berusaha. Karena itu, kerja keras saja tak cukup tanpa sistem yang menyiapkan tangga sosial yang kokoh.

Tangga itu, di banyak desa di Nusa Tenggara Barat (NTB), masih rapuh. Di sini, anak-anak cerdas kadang terhalang oleh gizi buruk, stunting, akses pendidikan yang timpang, atau keterbatasan ekonomi keluarga.

Dalam konteks inilah visi Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, dan Wakil Gubernur NTB, Indah Dhamayanti Putri, tentang Desa Berdaya Transformatif dan Tematik menemukan relevansinya. Gagasan ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan ikhtiar membangun sistem yang adil bagi warga desa untuk tumbuh dari bawah.

Desa atau kelurahan tak lagi menjadi penerima kebijakan, melainkan subjek perubahan yang memahami potensinya sendiri. Di banyak tempat, desa kerap menjadi cermin dari ketimpangan struktural: layanan publik terbatas, lapangan kerja sempit, dan infrastruktur sosial yang rapuh.

Dalam situasi seperti itu, meritokrasi yang bertumpu pada semangat “siapa bekerja keras, dia berhasil” sering kali berakhir sebagai slogan tanpa makna.

Meritokrasi yang Membumi

Desa Berdaya Transformatif mengandung semangat meritokrasi yang lebih membumi. Ia bukan kompetisi bebas tanpa arah, melainkan sistem yang menyiapkan “lapangan bermain” yang setara. Ketika infrastruktur dasar, pendidikan, dan layanan publik dijamin, maka kerja keras betul-betul bisa menjadi faktor pembeda.

Di situlah meritokrasi mendapat maknanya yang sejati, bukan sebagai mitos yang meninabobokan, melainkan sebagai sistem yang berpihak pada keadilan. Sistem yang tidak hanya menilai dari hasil, tetapi juga dari peluang yang dimiliki setiap orang untuk berusaha.

Namun, jalan ke sana tidak mudah. Meritokrasi di desa hanya bisa tumbuh jika kebijakan publik berpihak pada yang tertinggal. Jika akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan teknologi tidak dibuka luas, maka slogan “siapa yang bekerja keras pasti sukses” hanya akan menjadi gema di ruang seminar.

Menata Tangga Sosial dari Desa

Di tingkat tapak atau akar rumput, warga desa membutuhkan bukan sekadar motivasi, melainkan sistem yang memungkinkan mereka berdaya. Seorang petani di Pringgabaya, misalnya, bisa saja bekerja keras dari pagi hingga malam, tetapi tanpa akses pasar dan dukungan harga yang adil, kerja keras itu berhenti di lingkar kemiskinan.

Begitu pula anak muda di Wera atau Sekotong, yang memiliki semangat belajar tinggi, tetapi tak punya jaringan internet stabil atau ruang belajar yang layak.

Pembangunan yang berkeadilan berarti membenahi struktur sosial yang kurang baik dari awal untuk menata kembali tangga mobilitas yang patah agar siapa pun, entah anak nelayan di Tanjung Luar, Lombok Timur, atau anak petani di Wera, Bima, punya peluang yang sama untuk menentukan masa depannya.

Karena sejatinya, keberdayaan desa bukan soal siapa yang paling gigih, tetapi siapa yang paling diberi ruang untuk tumbuh. Pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lembaga masyarakat perlu berjalan bersama, bukan sekadar mendorong warga desa “rajin bekerja”, melainkan memastikan sistem pendukungnya hidup dan berpihak.

Sebuah meritokrasi sejati hanya lahir dari sistem sosial yang sehat, yang tidak mengukur manusia dari keberhasilannya semata, melainkan dari sejauh mana masyarakat memberi ruang bagi setiap orang untuk berhasil.

Visi Desa Berdaya Transformatif dan Tematik memberi arah baru bagi NTB yang tengah berbenah dari ketimpangan. Desa tak lagi menjadi objek pembangunan, tapi poros utama kebijakan. Dengan pendekatan tematik seperti desa wisata, desa tangguh pangan, atau desa ramah lingkungan, pemerintah provinsi berupaya membuka jalur baru mobilitas sosial.

Namun, keberhasilan visi ini akan sangat ditentukan oleh konsistensi sistemnya: sejauh mana birokrasi mampu menyalurkan sumber daya secara adil dan transparan. Tanpa itu, meritokrasi yang diimpikan hanya akan menjadi jargon politik yang kehilangan ruh keadilannya.

Saya kira, semangat ini pula yang mesti menjadi pertimbangan kuat dalam menyeleksi calon pendamping Desa Berdaya yang saat ini tengah berlangsung di 10 kabupaten/kota di NTB.

Desa Berdaya membutuhkan tenaga pendamping yang profesional dan berpengalaman dalam kerja-kerja advokasi serta pengorganisasian; mereka yang mampu bekerja dengan hati dan ketulusan dalam membangun masyarakat di tingkat tapak agar terbebas dari kemiskinan ekstrem maupun kemiskinan absolut.

Pendamping Desa Berdaya yang direkrut mesti berdaya terlebih dahulu, baik secara kapasitas maupun mental. Mereka yang sudah sedikit terbebas dari kerepotan urusan domestik agar bisa fokus dalam proses transformasi komunitas yang didampinginya. Sebab, keluhan tentang sistem kerja dan “pendapatan” sering menjadi kendala para pendamping desa, sehingga mereka kurang maksimal dalam melakukan pendampingan.

Mungkin inilah jalan sunyi yang mesti ditempuh para pemangku kebijakan di Provinsi NTB, yakni dengan membangun meritokrasi yang bukan saja tentang siapa yang tercepat, melainkan siapa yang paling diberi kesempatan untuk bangkit dan berlari ke arah yang lebih baik. Nah, begitu?!

*) Penulis adalah etnografer di kolektif Nusa Artivisme.


Pewarta : Harianto Bahagia *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025