Mataram (ANTARA) - Putusan Pengadilan Tinggi NTB yang memangkas hukuman Rosiady Husaenie Sayuti dari delapan menjadi enam tahun kembali menempatkan proyek NTB Convention Center (NCC) dalam sorotan publik. 

Koreksi pidana mungkin menjadi ruang pembacaan ulang terhadap pertimbangan hukum, tetapi inti persoalan justru terletak pada rentetan kelemahan tata kelola yang memungkinkan kasus ini terjadi. Vonis dapat berubah, tetapi kerangka akuntabilitas yang rapuh tidak boleh dibiarkan tetap sama.

Proyek NCC sejak awal menjanjikan lompatan ekonomi dengan menghadirkan pusat konvensi berskala besar yang diharapkan menggerakkan sektor MICE. Namun kerja sama bangun guna serah (BGS) dengan PT Lombok Plaza berjalan di atas fondasi prosedural yang lemah. 

Pengadilan menyebut tidak adanya persetujuan DPRD NTB dalam perjanjian BGS, sebuah kelalaian fundamental yang membuat seluruh kerja sama masuk kategori cacat legalitas. Aset publik seluas 3,2 hektare tidak pernah boleh dikelola tanpa legitimasi penuh yang disyaratkan oleh peraturan.

Lemahnya aspek kontraktual itu kemudian diperburuk oleh lemahnya eksekusi di lapangan. Bangunan pengganti Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat yang seharusnya bernilai Rp12,2 miliar hanya terealisasi sekitar Rp5 miliar, memunculkan selisih signifikan yang berkontribusi pada kerugian negara. 

Selain itu, royalti BGS sebesar Rp8 miliar per tahun tak pernah masuk kas daerah sejak 2017 hingga 2024. Fakta ini menunjukkan bukan hanya pelanggaran kontrak, tetapi juga kelonggaran pengawasan yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan setelah terjadi pergantian pejabat.

Pertanyaan publik pun meluas. Bagaimana aset sebesar itu dapat dibiarkan berjalan tanpa kontrol memadai? Mengapa pemerintah provinsi tidak aktif menagih kewajiban perusahaan selama tujuh tahun? Temuan persidangan menunjukkan bahwa masalahnya jauh melampaui kesalahan individu. 

Ketiadaan sistem penagihan otomatis, lemahnya audit berkala, hingga budaya administratif yang bergantung pada figur pejabat, telah menciptakan ruang bagi kelalaian yang berulang.

Pengurangan hukuman bagi terdakwa tidak serta-merta mengubah temuan hukum bahwa unsur korupsi terpenuhi. Namun putusan banding memberi ruang refleksi lebih luas bagi publik. 

Apakah hukuman telah diiringi langkah-langkah korektif di birokrasi? Apakah pembenahan prosedur pengelolaan aset sudah disiapkan? Tanpa perbaikan sistemik, putusan apa pun berisiko hanya menjadi penyelesaian formal tanpa dampak substantif.

NTB saat ini tengah menggenjot investasi dan membangun pusat-pusat pertumbuhan baru. Agenda tersebut membutuhkan tata kelola yang jauh lebih disiplin dibanding masa lalu. 

Pemerintah daerah harus memastikan bahwa kerja sama aset publik hanya dilakukan dengan dasar legalitas yang lengkap dan mekanisme pengawasan yang terstruktur. 

Penagihan royalti perlu dipindahkan dari pola manual ke sistem berbasis data yang aktif mengirimkan pengingat dan laporan. Audit kontrak tidak boleh sekadar formalitas; ia harus menjadi instrumen koreksi yang berfungsi nyata.

Transparansi kepada publik merupakan elemen penting lainnya. Aset negara bukan sekadar nilai ekonomi, melainkan hak warga atas pengelolaan yang bersih. 

Keterbukaan data BGS, evaluasi berkala, hingga publikasi hasil audit dapat memperkuat pengawasan sosial, mencegah kelengahan yang pernah terjadi. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana aset dikelola dan bagaimana negara merespons ketika terjadi penyimpangan.

Kasus NCC tidak hanya menyampaikan pesan tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang perlunya menata ulang sistem agar lebih tahan terhadap penyimpangan. 

Vonis enam tahun terhadap mantan pejabat tinggi provinsi mungkin menjadi penanda akuntabilitas individu. Namun keberlanjutan integritas hanya dapat dijamin melalui pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola aset publik.

Jika pembelajaran ini benar-benar dijalankan, NTB tidak sekadar menyelesaikan satu kasus, melainkan memperkuat pilar pemerintahan yang lebih transparan, disiplin, dan berpihak pada kepentingan publik. 

Aset negara harus dikelola dengan kehati-hatian yang setara dengan nilai strategisnya. Itu adalah prasyarat pembangunan yang berkelanjutan, sekaligus komitmen moral kepada masyarakat yang mempercayakan sumber daya mereka kepada negara.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menakar ulang keadilan di kasasi Agus
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Rumah rakyat NTB di tengah badai gratifikasi
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mencari keseimbangan pembangunan NTB
Baca juga: Buku 'Dari Api ke Aksara' lahir dari ruang redaksi ANTARA NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Luka sunyi perempuan di Bumi Gora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jejak efisiensi pupuk di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Saat pekerja wisata NTB belum aman
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Arah baru industri halal NTB


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025