Memaknai Maraknya Serangan Lanun

id Bajak laut,Lanun

Memaknai Maraknya Serangan Lanun

Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi (Foto: Istimewa)

laut
Mataram (ANTARA) - Selama 2019, ternyata perairan serantau marak aksi lanun (bajak laut/perompak). Menurut catatan Perjanjian Kerjasama Regional untuk Memerangi Pembajakan dan Perampokan Bersenjata Terhadap Kapal di Asia (ReCAAP ISC), hingga tutup tahun lalu terjadi 31 perompakan terhadap kapal yang tengah melintas di Selat Singapura. 
       
Angka ini terbilang tinggi dibanding catatan 2018. Lembaga yang bermarkas di Singapura itu mengungkapan, aksi lanun tercatat hanya tujuh kejadian selama 2018. Jadi, pada 2019 aksi kejahatan di laut itu mengalami kenaikan yang signifikan, yakni lebih dari 400 persen. 
       
Pada bulan ini, tepatnya 7 Februari 2020, satu aksi perompakan menimpa tug boat dan barge berbendera Malaysia (masing-masing Sung Fatt 27 dan Sung Fatt 32) yang tengah berlayar di perairan Kepulauan Riau, tepatnya sekitaran Pulau Karimun Besar.
       
Demikian dilaporkan oleh Information Fusion Center, Singapura, sebuah lembaga kerja sama keamanan maritim yang melibatkan Angkatan Laut se-Asia Tenggara dan Angkatan Laut mitra ASEAN. Para lanun sepertinya tengah “kejar tayang”.
       
Melihat tempat kejadian dan sasaran aksi perompakan, Indonesia boleh bernafas lega. TKP 31 perompakan yang terjadi tahun lalu berada di luar yurisdiksi kita. Adapun yang terjadi di perairan kita, kapal yang digasak lanun di Pulau Karimun Besar itu merupakan properti asing, dalam hal ini Malaysia.
       
Benarkah demikian adanya? Atau, jangan-jangan sebaliknya: kita merupakan bagian dari maraknya aksi perompakan di lautan serantau. Pertanyaannya, seberapa besar “bagian” Indonesia dalam maraknya aksi perompakan belakangan ini di Selat Singapura dan Selat Malaka?

Model Perompakan
       
Terkait aksi lanun yang marak itu, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu model atau jenis perompakan yang ada. Tipologi ini hanyalah pembedaan yang sederhana dan dimaksudkan untuk memudahkan penjelasan saja. 
       
Model pertama adalah tipe Asia Tenggara. Tipe ini terbagi ke dalam dua bagian lagi, yaitu model Selat Malaka/Selat Singapura dan model Filipina. Sub model pertama, lanun bertipe ini biasanya menggasak kargo yang diangkut oleh kapal yang melintasi kawasan perairan tersebut. Apa saja. Ada BBM, ada besi bekas, dan lain sebagainya.
       
Puas dengan hasil rampokannya, kelompok ini melepaskan kapal yang sempat mereka bajak sebentar lengkap dengan ABK-nya. Kondisi kru biasanya sehat wal afiat. Tetapi, pernah juga lanun memukul awak kapal. 
       
Ini terjadi kepada engineer tanker Jag Lalit yang disatroni perompak ketika melintasi Selat Singapura akhir Desember 2019. Namanya penjahat, tidak ada yang beretika dan penuh kasih sayang terhadap korbannya. Plus, tidak bisa dipercaya.
       
Sub model Filipina lain lagi. Para lanun di negara ini biasanya menyandera kapal beserta ABK dan meminta tebusan atau ransom bagi pembebasan kru yang disekap. Bila perompak model Selat Malaka/Selat Singapura lebih berorientasi bisnis dan cenderung bersifat independen, lanun Filipina, pada derajat tertentu, merupakan bagian dari kelompok Abu Sayyaf. 
       
Karenanya, aksi-aksi perompakan yang mereka lakukan memiliki dimensi yang lebih luas daripada sekedar cari duit. Para pakar keamanan maritim melabeli perompak Filipina sebagai pelaku terorisme maritim. 
       
Ketika Supperferry 14 meledak di Teluk Manila pada 26 Februari 2004, adalah kelompok Abu Sayyaf yang berada di balik tragedi itu. Kabarnya, feri tersebut diledakkan karena operatornya, William, Gothong, and Aboitiz (WG&A) menolak permintaan “jatah preman” yang diminta oleh Abu Sayyaf. 
       
Nelayan Indonesia acap berurusan dengan kelompok Abu Sayyaf. Yang terbaru, lima nelayan kita diculik ketika tengah mencari ikan di perairan Sabah, Malaysia, awal tahun ini. Hingga kini tidak jelas nasib mereka.

Model kedua adalah tipe Afrika. Perompak Afrika membajak kapal dan menyandera awak kapal. Mereka lalu meminta ransom kepada pemilik atau operator kapal yang disandera. Aksi kelompok ini terbilang dramatik sehingga lahir sebuah film Hollywood yang menggambarkan bagaimana perompakan dijalankan oleh mereka. 
       
Kini, aksi perompakan di benua hitam turun lumayan drastis karena hadirnya Angkatan Laut dari negara-negara Eropa dan AS di sana. Namun, satu-dua aksi perompakan tetap saja terjadi. Paling mutakhir adalah serangan terhadap kapal peti kemas Jerman yang dimanajemeni oleh Bernard Schulte di lepas pantai Nigeria belum lama berselang.

“Peran” Indonesia
       
“Peran” Indonesia dalam maraknya aksi perompakan di Selat Singapura/Selat Malaka belakangan -- juga dalam aksi-aksi sebelumnya -- boleh dibilang cukup besar. Peran utamanya adalah dengan “menyediakan” para perompak. 
       
Penulis tidak hendak mendiskreditkan negara sendiri dengan pernyataan ini. Tetapi memang seperti itulah kenyataannya. Sebagian besar, jika tidak seluruhnya, dari lanun yang mencari makan di perairan tersebut berasal dari kawasan Batam dan Tanjung Balai Karimun, kawasan yang posisinya hanya selemparan batu dari Singapura.
       
Parahnya, tidak banyak yang bisa dilakukan aparat penegak hukum nasional untuk menindak kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Inilah yang menjadi sebab mengapa perompakan di Selat Singapura/Selat Malaka terus terjadi dan amat besar kemungkinannya akan terus berlangsung di masa depan. Secara hukum, aksi yang mereka lakukan berlangsung saat kapal yang diincar tengah berada di perairan internasional. 
       
Usai menjalankan aksinya, mereka melarikan diri ke Indonesia. Karena locus-nya berada di luar wilayah hukum Indonesia, para perompak jelas untouchable. Tetapi, keberadaan kelompok ini di Batam dan Tanjung Balai Karimun sebetulnya sudah diketahui oleh masyarakat setempat termasuk aparat keamanan.
       
Sejauh ini, pemerintah Indonesia aktif mengamankan Selat Malaka/Selat Singapura melalui TNI AL. Bersama Angkatan Laut Malaysia dan Singapura diluncurkanlah program patroli terkoordinasi tiga negara selat (littoral state) sejak 2004. Dengan berdirinya Badan Keamanan Laut atau Bakamla, digelar pula kegiatan yang sama. Sayangnya, aksi perompakan tetap saja terjadi. 
       
Nampaknya, perlu langkah-langkah lain di samping kebijakan keamanan yang sudah berjalan. Dengan peran Indonesia yang dominan tadi, tanggung jawab terbesar tentu saja berada di pundak kita.

*Penulis, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)