Mataram (ANTARA) - Bangunan yang berdindingkan bambu yang dianyam serta atap ilalang, tampak masih kokoh berdiri padahal di perut bumi bangunan itu telah terjadi pergerakan patahan berkekuatan 7 Skala Richter (SR) saat terjadi gempa bumi pada 2018.
Bangunan kokoh itu merupakan rumah adat Bayan di Kampung Adat Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Hal tersebut sekaligus bisa menjadi pengingat akan sejumlah kearifan budaya lokal yang berada di tanah "Bumi Gora".
Kearifan lokal yang turun temurun dan sudah terbukti keampuhannya alias bukan hanya dongeng menjelang tidur.
Soal kearifan budaya lokal dalam mitigasi bencana tersebut dituturkan oleh tokoh masyarakat Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Sunting Mentas saat diwawancara Antara NTB pada 18 Mei 2022.
Lalu Sunting Mentas mengatakan kearifan budaya lokal dalam wujud konstruksi "rumah balai balak" harus dilestarikan dalam mengantisipasi ancaman gempa bumi.
"Wilayah Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Pasifik dan Indo-Australia berdampak terhadap tingginya potensi bencana termasuk di wilayah NTB, sehingga diperlukan kearifan lokal seperti dalam konstruksi bangunan," katanya.
Ia mengatakan, peran kearifan budaya lokal dalam menghadapi atau memitigasi bencana ke depan sangat penting, karena konstruksi rumah suku Sasak pada zaman dahulu dirancang tahan gempa, karena terbuat dari kayu dan bentuknya yang lancip seperti rumah tani yang memiliki teras depan dan rumah balai balak.
Masyarakat dulu meyakini bahwa rumah mereka tahan gempa, hanya saja saat ini bahan bangunan tidak sekuat dulu, sehingga sering kebakaran, katanya.
Anggota DPRD Lombok Tengah itu juga mengatakan, dengan adanya kemajuan zaman dimana konstruksi rumah masyarakat telah banyak berubah pada era digitalisasi saat ini, sehingga dirinya berharap pemerintah bisa melakukan kolaborasi konstruksi bangunan supaya tidak melupakan kearifan budaya lokal yang dikenal masyarakat zaman dulu tahan gempa.
"Sekarang banyak bangunan permanen yang dibangun warga, tapi tidak tahan gempa. Walau ada gedung besar yang dibangun, harus ada kearifan budaya lokal yang bisa dikolaborasikan," katanya.
Selain itu juga, tradisi selamat laut juga sangat penting untuk terus dilestarikan dengan cara memotong kerbau warna hitam dan merah yang dipercaya sebagai tumbal untuk menolak bala.
"Meskipun hal tersebut sebagian masyarakat banyak yang menganggapnya sebagai mitos saat ini, tapi orang tua pada zaman dahulu selalu melakukan hal tersebut, sehingga warga di Kecamatan Pujut masih melakukan hal itu ketika akan membangun rumah atau gedung besar," katanya.
Kepala kerbau yang dipotong itu dipercaya untuk menolak bencana yang akan datang atau sebagai tumbal kata orang tua dulu, katanya.
Sementara itu, kearifan budaya lokal dalam menghadapi bencana alam seperti tsunami yang pernah terjadi secara tiba-tiba pada tahun 1978 itu sangat membantu masyarakat, karena tidak ada alat pengeras suara. Namun, tanda kentongan "Kul-Kul" yang terbuat dari pohon bambu atau kayu memiliki peran dalam menjaga keamanan maupun dalam menghadapi bencana alam.
"Ada tanda pukulan dari kentongan tersebut dalam mengumpulkan warga, maupun sebagai informasi dalam bencana," katanya.
Kearifan budaya lokal tersebut harus dilestarikan dan diharapkan supaya generasi penerus bangsa saat ini harus mengetahui hal tersebut, supaya mereka juga bisa mengenal budaya lokal di Lombok Tengah khususnya dan NTB pada umumnya.
"Generasi penerus kita harus diberikan informasi terkait kearifan budaya lokal yang ada," katanya.
Kentongan "alarm bencana"
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengatakan mitigasi bencana dari kearifan lokal yang masih dipelihara dan nilai efektif memberikan informasi dan peringatan dini bencana kepada masyarakat adalah kentongan dan beduk.
"Dua kearifan lokal itu masih kita manfaatkan sebagai mitigasi bencana. Lainnya, sudah berubah sesuai perkembangan zaman dan teknologi," kata Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Mataram Akhmad Muzaki di Mataram.
Ia mengatakan dua alat mitigasi bencana dari kearifan lokal tersebut biasanya akan dibunyikan ketika ada satu bencana yang terjadi di sebuah lokasi.
Untuk beduk biasanya dilakukan masyarakat di masjid-masjid sedangkan kentongan dibunyikan di banjar-banjar umat Hindu, katanya.
Kentongan dan beduk, tambah Muzaki, hingga kini masih menjadi EWS (early warning system) atau sistem peringatan dini menjadi bagian penting dari mekanisme kesiapsiagaan masyarakat karena peringatan dapat menjadi faktor kunci penting yang menghubungkan antara tahap kesiapsiagaan dan tanggap darurat.
"Kentongan dan beduk merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat," katanya.
Dengan target, agar masyarakat dapat merespon informasi tersebut dengan cepat dan tepat karena kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena waktu yang sempit dari saat dikeluarkannya informasi datangnya bencana.
Sementara peringatan dini bencana yang sudah berkembang mengikuti teknologi saat ini antara lain, kata Muzaki, bisa lakukan dengan membunyikan sirene dan pengeras suara.
"Khusus untuk pendeteksi bencana tsunami, kita sudah punya EWS tsunami di pinggir Pantai Penghulu Agung. Pada tanggal 26 setiap bulan, kita tetap aktivasi untuk memastikan alat tersebut masih berfungsi baik," katanya.
Mataram merupakan salah satu dari 10 kabupaten/kota di NTB yang memiliki enam jenis bencana dari 10 jenis bencana yang kerap terjadi di NTB. Selain gempa disertai tsunami, bencana lain yang mengancam wilayah Kota Mataram adalah banjir, kebakaran permukiman, gelombang pantai, abrasi, dan konflik sosial.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sendiri berkomitmen untuk memperkuat dan mengoptimalkan perencanaan pembangunan daerah dalam mitigasi dan pengurangan risiko bencana.
"Kami sudah siap dalam mengantisipasi bencana gempa bumi, angin puting beliung, banjir, kekeringan, tanah longsor, gunung meletus, dan tsunami," kata Sekretaris Daerah (Sekda) NTB HL Gita Ariadi.
Ia mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB telah menyusun dokumen perencanaan penanggulangan bencana, seperti dokumen kajian risiko bencana dan rencana penanggulangan bencana. Bahkan, dalam misi yang pertama pemprov adalah NTB Tangguh Bencana.
"Ini artinya kita memiliki kemampuan dan ketangguhan menghadapi dan bertahan dari bencana," ujarnya.
Mudah-mudahan melalui perpaduan antara ilmu pengetahuan modern dalam penanganan kebencanaan bisa bergandengan tangan dengan kearifan budaya lokal. Sehingga warga di Kepulauan Sunda Kecil bisa lebih mengantisipasi ketika terjadi bencana.
Belajar kearifan Suku Sasak dalam mitigasi bencana
Dua kearifan lokal itu masih kita manfaatkan sebagai mitigasi bencana. Lainnya, sudah berubah sesuai perkembangan zaman dan teknologi