Mataram, (Antara)- Malik Salim, tokoh masyarakat Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, menyebutkan keberadaan Undang Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), telah membuat PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dalam kondisi dilematis.
"UU Minerba ini dilematis bagi PTNNT. Kalau diikuti, sudah pasti terlambat karena ada persyaratan bagi pertambangan yang harus dipatuhi, antara lain harus memiliki smelter, dan untuk membangun itu butuh waktu yang tidak sebentar. Sementara kalau tidak diikuti, ya jelas melanggar undang-undang," kata Malik Salim, ketika dihubungi dari Mataram, Jumat.
Mengenai pernyataan Menteri ESDM Jero Wacik bahwa 2014 kalangan pertambangan tidak boleh lagi mengekspor mineral mentah, Malik menilai, apabila hal itu benar-benar diterapkan maka akan berpotensi cukup besar untuk menghentikan operasional PTNNT pada 12 Januari tahun depan.
"Kalau sampai PTNNT berhenti beroperasi, tentu Sumbawa Barat akan menjadi kota mati karena ribuan karyawan perusahaan itu akan pergi. Perekonomian setempat sudah pasti terguncang, hingga berimbas nilai properti akan menjadi anjlok drastis," ucap dia.
Ada kekhawatiran, Malik menuturkan, masyarakat setempat yang selama ini menggantungkan hidup pada PTNNT tidak akan tinggal diam dengan penghentian pengoperasian perusahaan itu. Akibatnya, bisa saja masyarakat melampiaskan kemarahan kepada pemerintah kabupaten.
"PTNNT itu mempunyai peran yang amat besar, terutama dari sisi ekonomi. Selain mengucurkan dana untuk menggaji karyawan tetap dan karyawan subkontraktor, perusahaan ini juga selalu memberikan sumbangan sosial dan turut menggerakkan perekonomian masyarakat setempat," katanya.
Sehubungan dengan itu, langkah penutupan operasional PTNNT yang dikaitkan dengan belum dimilikinya smelter untuk memproses bijih mentah menjadi barang siap ekspor, perlu dipertimbangkan dengan lebih seksama, ucapnya mengharapkan.
Sementara itu, Presiden Direktur PTNNT Martiono Hadianto sendiri membantah kalau pihaknya selama ini mengekspor bahan tambang mentah ke luar negeri.
"PTNNT tidak mengekspor bijih mentah yang tidak diolah dari tambang tembaga dan emas yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat. Semua bijih dari tambang Batu Hijau diolah melalui sistem peremukan, penggerusan, dan pengapungan untuk menghasilkan konsentrat," ujarnya menjelaskan.
Menurut Martiono, semua bijih tambang itu diolah menjadi konsentrat menggunakan fasilitas pengolahan milik PTNNT yang ada di lokasi tambang. "Jadi, kami tidak mengekspor bijih mentah yang tidak diolah," ujarnya.
Menyinggung soal UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, yang mewajibkan perusahaan pertambangan melaksanakan kegiatan untuk meningkatkan mutu mineral, Martiono menyebutkan, selama ini PTNNT sangat mendukung itu.
PTNNT sangat mendukung kebijakan mengenai UU Pertambangan Minerba dengan cara memaksimalkan penjualan konsentrat tembaga kepada PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, satu-satunya pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga di Indonesia.
"Kegiatan operasi kami telah sesuai ketentuan UU Pertambangan Minerba. Kami juga bersedia melakukan berbagai upaya lain yang wajar untuk mendukung kebijakan tersebut," katanya.
Selain itu, lanjut Martiono, investasi PTNNT selama ini bernilai lebih dari 5 miliar dolar AS dalam pembangunan fasilitas pengolahan, yang memungkinkan untuk meningkatkan mutu bijih tembaga sebesar lebih dari 50 kali.
Sebagai hasil dari peningkatan nilai tambah ini, para pembeli konsentrat tembaga membeli dari PTNNT tembaga yang terkandung dalam konsentrat dengan harga yang sama dengan harga yang mereka keluarkan untuk logam tembaga yang telah dimurnikan.
"Dengan kondisi tersebut, PTNNT telah melakukan sekitar 95 persen dari rangkaian kegiatan penambahan nilai secara keseluruhan di Indonesia," katanya.