Mataram (ANTARA) - Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Andi Sirajudin, mantan Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dalam perkara korupsi pemotongan dana bantuan sosial (bansos) kebakaran bagi masyarakat terdampak tahun 2020.
"Menyatakan Sirajudin tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum sehingga dengan ini membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan," kata Ketua majelis hakim Mukhlasuddin dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin.
Dengan menyatakan terdakwa bebas dari segala dakwaan, hakim memerintahkan penuntut umum untuk mengeluarkan Sirajudin dari tahanan serta memulihkan harkat dan martabat terdakwa.
Jaksa penuntut umum sebelumnya meminta agar hakim menjatuhkan pidana hukuman terhadap Sirajudin selama 3 tahun dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa menuntut hukuman demikian dengan menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar Pasal 11 dan 12e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa pun sebelumnya menjelaskan perihal awal mula perkara korupsi ini terungkap, yakni dari adanya keluhan penerima manfaat bansos dalam program penyaluran pada tahun 2021.
Penerima manfaat dari bantuan ini berasal dari kalangan korban bencana kebakaran di Kabupaten Bima pada tahun 2020 sebanyak 258 kepala keluarga yang tersebar di 6 desa.
Setiap penerima mendapatkan bantuan dana dari kementerian secara langsung ke rekening pribadi masing-masing. Total dana yang disalurkan Rp5,4 miliar.
Anggaran diterima dalam dua tahap, 60 persen untuk tahap pertama, sisanya diberikan dengan syarat penerima harus membuat surat pertanggungjawaban (SPJ).Dari pemeriksaan penerima manfaat dengan jumlah 258 orang, terungkap adanya pemotongan dana bansos dari Dinsos Kabupaten Bima dengan nominal bervariasi. Pemotongan terjadi ketika penerima mencairkan dana bansos melalui pihak perbankan.
Menurut keterangan penerima, pihak Dinsos melakukan pemotongan dengan alasan untuk biaya administrasi. Nilai potongan cukup beragam, mulai dari Rp500 ribu hingga Rp1,2 juta per penerima.
Dalam perkara ini pun jaksa menguraikan peran masing-masing terdakwa dengan berawal dari
laporan terdakwa Sukardin selaku pendamping kepada Andi Sirajudin, Kepala Dinsos Kabupaten Bima terkait penerima yang tidak bisa membuat SPJ.
Sebagai kepala dinas, Andi pun memerintahkan Sukardin untuk memotong dana bansos dari para penerima bantuan sebagai biaya administrasi pembuatan SPJ. Pemotongannya bervariasi. Bagi rumah yang rusak ringan, dipotong Rp500 ribu, rusak sedang Rp800 ribu, dan rusak berat Rp1,2 juta.
Dari pemotongan itu, Sukardin berhasil mengumpulkan Rp105 juta. Hasil pemotongan kemudian disetorkan ke Andi Sirajudin dan Ismud.
Dari dana yang terkumpul, jaksa pun menguraikan bahwa Andi Sirajudin menerima Rp23 juta dan Ismud Rp32 juta. Sisanya Rp50 juta diambil Sukardin.
Dengan uraian tuntutan demikian, hakim tidak menemukan fakta persidangan yang berkaitan dengan bukti Sirajudin menerima uang hasil pemotongan.
Abdul Hanan, penasihat hukum Andi Sirajudin usai persidangan turut angkat bicara perihal adanya tuduhan terhadap kliennya yang menerima uang hasil pemotongan sejumlah Rp23 juta.
"Hakim dalam putusan menyatakan tidak ada fakta hukum soal itu (menerima dana pemotongan)," kata Abdul Hanan.
Dia pun menegaskan bahwa kliennya tidak pernah menikmati Rp23 juta tersebut. Melainkan, uang itu telah habis digunakan untuk biaya penanganan banjir bandang di Kabupaten Bima, pembelian aki kendaraan pemadam kebakaran, dan operasional dapur umum.
"Itu digunakan pada awal tahun 2021. Jadi, uang itu (dana potongan) tidak ada digunakan oleh klien kami," ujarnya.