Perbedaan hukum antar-negara jadi hambatan tangani TPPO

id TPPO,Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia,Kamboja

Perbedaan hukum antar-negara jadi hambatan tangani TPPO

(kiri ke kanan): Anggota Zero Human Trafficking Network (ZHTN) Yuli Riswati, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo, moderator Sonya Simbolon, dan Kelapa Unit Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Aris Wibowo (atas) dalam arahan pers TPPO yang diadakan di Kedubes Amerika Serikat, dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia yang jatuh pada 30 Juli, di Jakarta, Jumat (28/7/2023). (ANTARA/Cindy Frishanti)

Jakarta (ANTARA) - Kepala Unit Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Aris Wibowo mengatakan perbedaan sistem hukum antar negara menjadi salah satu hambatan dalam menangani kasus TPPO.
 

Aris mengatakan, sistem hukum negara lain yang berbeda dengan Indonesia, seperti yang terjadi dalam kasus jual beli ginjal di Kamboja, adalah salah satu hambatan dalam menangani kasus TPPO.

“Di Indonesia, ini dianggap murni kasus TPPO. Dari Polri sudah berupaya untuk berkomunikasi dengan pihak KBRI Phnom Penh dan meminta bantuan untuk memfasilitasi upaya penyelidikan tersangka kepada pemerintah Kamboja,” kata Aris Wibowo dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Aris mengatakan hal tersebut dalam acara arahan pers TPPO yang diadakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia (World Day against Trafficking in Persons) yang jatuh pada 30 Juli.

Namun, Aris melanjutkan, Pemerintah Kamboja menganggap prosedur operasi donor organ yang dilakukan di rumah sakit Pemerintah Kamboja sudah benar sehingga menyulitkan pihak kepolisian Indonesia untuk melakukan penyelidikan.

Baca juga: Polda NTB memperjuangkan dana restitusi korban dari 29 perkara TPPO
Baca juga: Polda NTB memburu cukong perekrut PMI korban TPPO ke Libya

Selain itu, Aris mengatakan, hambatan lain dalam menangani kasus TPPO adalah korban sulit untuk di ajak bekerja sama. “Sering kali korban tidak kooperatif. Maksud kami, ada beberapa di antara mereka yang tidak merasa sebagai korban. Mereka memang niat bekerja, tapi karena pekerjaannya tidak sesuai, ya sudah. Yang penting, sudah usaha untuk bekerja,” kata Aris. Aris juga mengatakan bahwa ada beberapa korban TPPO yang ingin melanjutkan bekerja kembali di negara lain.