Jakarta (ANTARA) - Pakar ilmu politik Universitas Brawijaya (UB) Muhammad Faishal Aminuddin menilai kelelahan partai politik berefek pada menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 dibandingkan Pemilu 2024.
“Saya melihat dalam kasus Indonesia, sebenarnya yang capek adalah partai dan kandidatnya karena mereka maraton mengusung calon presiden, calon gubernur, dan kepala daerah kabupaten/kota, serta kandidat anggota DPR dan DPRD mereka sendiri,” kata Faishal saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Dia berpendapat bahwa kurang maksimalnya partai politik dalam berkampanye karena minim suplai logistik akibat sudah dihabiskan pada Pemilu 2024 atau tidak samanya koalisi partai politik pada pilkada provinsi dan kabupaten/kota, sehingga membingungkan pemilih juga membuat penurunan partisipasi pemilih pada Pilkada 2024.
Walaupun demikian, dia mengatakan bahwa munculnya pandangan menurunnya partisipasi pada pilkada disebabkan fenomena voters fatigue atau kelelahan dalam memilih perlu ditelaah lebih lanjut.
“Jangan-jangan persoalan yang membuat orang tidak datang ke TPS (tempat pemungutan suara) itu disebabkan oleh hal-hal lain, misalnya sosialisasi dari penyelenggara yang kurang inovatif. Mereka hanya pasang baliho di sana sini, tetapi tidak banyak menyentuh platform digital yang langsung masuk dalam beranda hidup pemilih,” ujarnya.
Sementara itu, dia menjelaskan fenomena kelelahan dalam memilih bisa terjadi ketika pemilu diselenggarakan terlalu sering, yakni dalam satu waktu terdapat lebih dari satu pemilihan di semua tingkatan dan jabatan publik.
“Seperti di Israel ketika terjadi krisis politik yang mana pada 2019 digelar dua kali pemilu, kemudian pada 2020 dan 2021 masing-masing sekali, dan dua kali pemilu pada 2022. Juga di Bulgaria yang mana pada 2021 digelar tiga kali pemilu, pada 2022 dan 2023 masing-masing sekali, dan dua kali pemilu pada 2024,” ujarnya.
Baca juga: Pengamat: Pemerintah harus berani hentikan pembayaran obligasi rekap BLBI
Selain itu, kata dia, fenomena tersebut dapat terjadi karena alasan teknis, yakni antrean di TPS yang terlalu panjang dan lama, atau pemilihan diselenggarakan pada hari kerja atau liburan panjang.
“Namun kendala teknis itu sudah banyak diatasi dengan e-voting (pemungutan suara elektronik), yang mana pemilih bisa memberikan hak suaranya dari mana saja, dan bisa di sela-sela istirahat kerja,” katanya.
Baca juga: Pemerintah perlu lindungi hak pendidikan ODHA
Sebelumnya, Anggota KPU RI August Mellaz di Jakarta, Jumat (29/11) mengatakan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di bawah 70 persen. Walaupun demikian, dia mengatakan bahwa angka tersebut masih dapat dikategorikan normal.
Namun, Anggota KPU RI Idham Holik di Jakarta, Sabtu (23/11) mengatakan bahwa lembaganya menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 mencapai 82 persen.
Pada Rabu (5/6), KPU RI mengungkapkan bahwa 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilih pada Pilpres 2024, kemudian sebanyak 81,42 persen untuk Pemilu Anggota DPR RI, dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI.