Lombok Tengah (ANTARA) - Tulisan ini pernah disampaikan pada acara Pengukuhan Pengurus Wanita Peduli Lingkungan (WPL) Kampung Jawa di Kelurahan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, bahwa semua orang dapat bicara tentang sampah, tapi tidak semua orang mau berbuat untuk mengelola sampah, malah melakukan tindakan pencemaran lingkungan, baik lingkungan darat, laut maupun udara. Tanpa rasa bersalah, sampah dibuang tanpa rasa bersalah di kali, di sungai, di jalan dan di laut. Sampah di bakar hingga menimbulkan asap pekat, nafas menjadi terganggu, bahkan menjadi pemicu konflik warga sekitar. Seolah norma hukum tentang pencemaran lingkungan mentok menjadi pajangan.
Jika ingin melihat lingkungan kita menjadi bersih cuma satu kata yang perlu kita sepakati yaitu menyelesaikan sampah dari rumah kita sendiri tanpa kecuali. Lalu pemerintah posisinya dimana? Pembahasan tentang tata kelola sampah oleh pemerintah akan dibahas pada bagian lain.
Mengutip pemikiran Prof Ramadhani Eka Putra, S.Si., M.Si., Ph.D. Guru Besar Biologi Terapan, Sekolah IImu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB),di laman https://pengabdian.lppm.itb.ac.id. Prof. Ramadhani, menjelaskan bahwa serangga dari larva maggot ternyata membawa manfaat besar untuk mengolah sampah menjadi pakan dan pupuk kompos secara bersamaan.
Profesor ini mengintegrasikan Black Soldier Ply BSF dengan sistem pertanian di pekarangan rumah yang kemudian diakui oleh organisasi pertanian dunia bernama Food and Agriculture Organization (FAO) sebagai sistem pertanian yang sangat baik.
BSF sejarah awalnya adalah hama yang pertama kali ditemukan di Amerika oleh seorang ahli forensik. digunakan untuk mengolah kotoran sapi. Ketika itu ada yang lepas dan hinggap ke limbah organik lain. Hampir semua sampah limbah organik tersebut dimakan oleh BSF tersebut.
Sampah organik merupakan sampah yang paling banyak diproduksi di Indonesia. Selain dijadikan kompos, sampah organik tidak bisa diubah menjadi produk Iain yang bermanfaat (upcycle) seperti sampah anorganik. Kompos tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Itu menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat malas mengompos sampah organiknya. Selain karena murah juga lamban produksinya.
Ditenfah persoalan itu, BSF memudahkan masyarakat untuk mengompos sampah organik. Proses mengaduk sampah sebagai bagian pembuatan kompos bisa dilewati. Biarkan proses pengomposan itu dikerjakan oleh BSF. Kita tinggal panen saja pada saat kita membersihkan maggot dari media biopon (wadah).
BSF bisa menjadi solusi pengolahan sampah organik, dari tingkat rumah sampai ke tempat pembuangan sampah. Pengomposan yang lebih cepat membuat TPS terbebas dari gunungan sampah organik. Masyarakat hanya perlu memilah sampah organik dan anorganik.
Jika sampah organik terolah dengan baik di rumah, petugas sampah tak perlu mengangkutnya ke TPS maupun TPA. Beban angkut jadi jauh berkurang karena sampah organik merupakan sampah paling berat dibandingkan dengan sampah lainnya. Sampah yang biasanya sampai 100 kg di gerobak, bisa hanya tersisa 20-30 kg. TPS juga tak lagi terlihat jorok seperti sekarang. Kita harus berpikir dan merasa, bagitu berat orang yang mengelola sampah.
BSF juga mempunyai nilai ekonomi, karena mengandung protein tinggi yang bisa menjadi sumber pangan berkualitas untuk usaha peternakan. Telur BSF laku dijual dengan harga Rp 3.000 hingga Rp 10.000 per gram. Larvanya bisa dihargai di kisaran Rp 7.000-Rp
15.000 per gram. Maggotnya bahkan bisa diekspor dengan harga sekurangnya Rp 40.000 per kg. Golden maggot bahkan dihargai sampai Rp 200.000 per kg. Golden maggot biasanya dibutuhkan oleh orang-orang yang hobi memelihara ikan koi, burung penyanyi, dan lainnya.
Sebelum budi daya BSF banyak dikenal, harganya sangat fantastis. Harga telurnya pernah menyentuh harga Rp 200.000 per gram.
Pada tahap awal budidaya maggot, cukup dengan margin kecil dulu, tetapi pelan-pelan bisa menguasai pasar dalam negeri. Pasar dalam negeri ini tidak minta syarat macam-macam jadi lebih menguntungkan.
Kondisi di Indonesia sangat cocok untuk membudidayakan BSF. Jumlah sampah organik yang melimpah justru membawa keuntungan tersendiri. Idealnya, satu ekor BSF perlu makanan sebanyak 100 mg per hari. Jadi, 1 kg sampah organik bisa memberi makan sekitar 6.000 ekor BSF. Sementara, jumlah sampah organik yang dihasilkan satu keluarga sejahtera berkisar 1-1,5 kg.
Membudidayakan BSF juga tak perlu modal besar, jika peralatan menggunakan barang bekas, hanya perlu Rp 3.500 untuk membeli telur BSF.”PeraIatannya sudah banyak yang jual di marketplace, menggunakan semacam jaring,° ujarnya. Area yang dibutuhkan juga tak besar. Lahan seluas 50 sampai 100 meter persegi bisa mengolah 1 ton sampah organik.
BSF memang bisa dibudidayakan warga di setiap rumah, tetapi akan lebih baik jika bisa dikelola secara komunal misalnya dengan memanfaatkan lahan di RW atau desa / kelurahan setempat. Masyarakat bisa memanfaatkan BSF sebagai pakan untuk ternak. Sementara, kompos yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Sebagai contoh, masyarakat yang memelihara ayam petelur bisa mendapat pakan berkualitas dengan biaya rendah. Dengan begitu, keluarga bisa mengonsumsi telur berkualitas. Pengeluaran keluarga bisa dikurangi, tetapi gizi keluarga terpenuhi.
Sehingga semua pakar ternak sangat mendorong agar masyarakat membudidayakan BSF bukan sekadar menjual telur atau larvanya. Akan tetapi, membudidayakan dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam mencapai ketahanan pangan masyarakat, seperti untuk sumber pakan ayam petelur.
Teknis pengelolaan sampah yang cukup solid, kalau ada tanah kosong di RW maka bukalah tempat pengolahan sementara, untuk budi daya BSF. Maggot dimanfaatkan untuk pakan ternak ayam, pakan ternak ikan, kasgot atau pupuk organik dengan tanaman hijau, sehingga mengubah kesan TPS itu berbau dan kotor dengan sendirinya menjadi TPS itu asri dan sehat.
Budidaya BSF tidak sulit karena masyarakat dengan latar belakang apa pun dapat melakukan, yang berat adalah melawan stigma BSF yang tergolong sebagai lalat. Yang namanya lalat kerap dianggap jorok, kotor, bau, bahkan membawa penyakit. Tapi dapat diumpamakan seperti; dulu waktu disuruh pakai helm pertama kali, berat dan bikin ribet, sekarang jari jadi kebutuhan dan kepatuhan berkendara.
Sudah saatnya kita menghilangkan citra sebagai warga yang kotor, tak bisa mengolah sampah. Di saat yang sama, Indonesia juga harus mulai membangun ketahanan pangan. Masyarakat Indonesia harus mandiri pangan. Suatu saat semua desa jadi kota. Jadi, semua orang harus bisa mengelola sampahnya sendiri, jika kita belum mau mengolah sampah sendiri, paling kurang kita mensupport saudara kita yang mengelola sampah .
*) Penulis adalah Ketua Kelompok Pengelola Pengolah Sampah (KPPS).