Mataram (ANTARA) - Di tengah riuh rendah perdebatan tentang tata kelola Taman Budaya NTB, ada sesuatu yang lebih mendesak untuk dibicarakan ketimbang sekadar persoalan teknis dan manajerial. Bukan karena isu itu tidak penting, melainkan karena ia telah berulang tanpa akhir, bagai kaset yang diputar kembali di ruang birokrasi yang pengap.
Persoalan utamanya bukan pada siapa yang duduk di kursi pengambil keputusan, tetapi pada sistem pendanaan dan keberlanjutan kebudayaan yang hingga kini masih gamang arah.
Tulisan ini tidak hendak larut dalam silang pendapat soal kurang optimalnya peran Taman Budaya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang penyelenggaraan seni pertunjukan.
Ada hal lain yang lebih mengusik pikiran saya: bagaimana nasib masa depan kebudayaan daerah jika skema pendanaannya terus bergantung pada siklus anggaran tahunan dan janji-janji politik yang mudah pudar?
Kegelisahan itu muncul kembali setelah membaca tanggapan Taufik Mawardi pada 6 Oktober 2025 atas esai saya sebelumnya yang terbit di Antara tiga hari sebelumnya. Ia menawarkan bayangan yang ideal tentang Taman Budaya yang transparan, Dewan Kebudayaan yang demokratis, dan sistem pendanaan yang terbuka untuk publik.
Gagasan itu sederhana, tetapi di situlah letak kerinduan kita semua: kebudayaan yang dikelola dengan akal sehat dan hati terbuka.
Biarlah perdebatan tentang tata kelola Taman Budaya NTB kita hentikan sejenak. Toh, kritik terhadap pengelolaan penyelenggaraan even di Taman Budaya bukanlah hal baru. Ia adalah persoalan lama yang terus berulang. Birokrasi memang sering kali bebal, tak mudah mendengar masukan publik di luar pagar institusinya.
Awal mulanya, esai saya itu dimaksudkan untuk menanggapi kritik Indra Saputra Lesmana yang ditayangkan di Antara pada 27 September 2025.
Namun kini, saya ingin menggeser diskusi ini ke wilayah yang lebih luas dan lebih urgen: persoalan skema pendanaan kebudayaan daerah.
Yang menarik dari tanggapan Taufik adalah ajakannya untuk membayangkan mekanisme yang transparan: siapa pun bisa mengakses jadwal kegiatan, proses kurasi jelas, laporan dipublikasikan, dan setiap seniman memiliki kesempatan yang sama. Ia bahkan mengusulkan agar Dewan Kebudayaan dipilih secara demokratis, bukan ditentukan lewat jaringan personal.
“Bagaimana jika dana kebudayaan dikelola dengan sistem terbuka, bisa dipantau publik, sehingga tidak ada lagi kecurigaan bahwa program hanya untuk kelompok tertentu? Semua ini bukan mustahil, hanya butuh keberanian politik dan desakan komunitas,” tulis Taufik dalam esainya.
Kita tahu bahwa skema Dana Abadi Kebudayaan di Indonesia lahir dari kesadaran bahwa kebudayaan tidak boleh hidup di bawah bayang-bayang politik anggaran tahunan yang mudah meredupkan nyala kreativitas para pelaku budaya.
Setiap tahun, mereka dihadapkan pada ketidakpastian—menunggu alokasi APBN yang rawan berubah karena dinamika politik, prioritas pembangunan, atau pergantian pejabat.
Karena itu, sejak lahirnya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan tahun 2017, muncul gagasan pendanaan yang lebih berkelanjutan. Ide itu kemudian berwujud dalam Dana Indonesiana, yang secara resmi dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sejak 2020 dengan modal awal Rp3 triliun. Tahun 2021 menjadi momentum penting ketika dana ini mulai disalurkan kepada para pelaku budaya di seluruh Indonesia.
Kini, pada periode 2025–2026, dari pokok dana sebesar Rp5 triliun, pemerintah menyalurkan sekitar Rp465 miliar kepada komunitas, lembaga seni, dan individu pelaku budaya di seluruh penjuru negeri. Di atas kertas, angka ini tampak besar, tetapi bila dibagi ke ratusan ribu pelaku budaya, nilainya hanya setetes dari samudra kebutuhan.
Meski demikian, langkah ini menandai perubahan paradigma bahwa kebudayaan tidak lagi diposisikan sebagai “sisa” pembangunan ekonomi, melainkan sebagai modal utama bangsa.
Namun hingga hari ini, tak satu pun daerah di Indonesia memiliki skema Dana Abadi Kebudayaan Daerah. Padahal, beberapa daerah telah memiliki Perda dan Pergub Pemajuan Kebudayaan, bahkan Rencana Induk Kebudayaan Daerah (RIKD). Celah inilah yang membuat banyak harapan kerap berhenti di podium, bukan di program.
# Antara Janji Politik dan Jalan Mandiri
Di banyak daerah, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB), pelaku budaya sudah terlalu sering menjadi objek janji politik. Janji tentang kampus seni, pusat budaya, atau revitalisasi tradisi lokal seolah menjadi ritual lima tahunan yang menguap bersama selesainya masa kampanye.
Mestinya, pengalaman panjang “termakan janji” itu membuat para pelaku budaya lebih realistis dan kritis. Kebudayaan tak akan tumbuh dari janji, tetapi dari sistem yang menjamin keberlanjutannya.
Sistem itu hanya mungkin lahir bila pelaku budaya turut terlibat dalam desain kebijakan—bukan sekadar menjadi penggembira di forum formal.
Salah satu langkah strategis adalah revitalisasi Dewan Kebudayaan Daerah (DKD). DKD jangan hanya menjadi simbol seremonial yang sunyi dari kerja lapangan. Kepengurusannya mesti terbuka, inklusif, dan mencerminkan keberagaman pelaku budaya: dari seniman tradisi, peneliti, pegiat literasi, hingga komunitas adat.
DKD tidak seharusnya diisi oleh mereka yang sudah terikat jabatan struktural dan waktu yang terbagi. Mereka tetap bisa terlibat, tetapi cukup di bidang penelitian dan pengembangan.
Sementara para pensiunan ASN atau pengusaha budaya bisa berperan sebagai juru lobi—menjembatani hubungan dengan pemerintah dan sektor swasta.
Yang terpenting, DKD harus menjadi badan pekerja, bukan lembaga konsultatif. Sebagai badan pekerja, DKD perlu memiliki anggaran operasional yang memadai agar dapat menjalankan program pelestarian, pendokumentasian, dan pendidikan kebudayaan secara berkelanjutan. Tanpa itu, setiap rencana pemajuan kebudayaan hanya akan menjadi arsip kebijakan tanpa ruh dan daya.
# Membangun Skema Daerah, Menjemput Kemandirian
Di masa depan, kebudayaan daerah membutuhkan skema pendanaan yang tetap dan mandiri. Bentuknya bisa berupa Dana Abadi Kebudayaan Daerah—semacam versi lokal dari Dana Indonesiana.
Untuk memulainya, pemerintah daerah bisa menyisihkan sebagian dari PAD atau menjalin kerja sama CSR sektor swasta sebagai modal awal.
Skema ini dapat dikelola secara profesional, dengan sistem seleksi terbuka bagi pelaku budaya yang memiliki inisiatif kreatif, edukatif, atau inovatif. Tentu, jalan menuju ke sana tak mudah.
Namun bila setiap kabupaten mulai membangun mekanisme kecil—entah dalam bentuk dana bergulir, koperasi budaya, atau kemitraan lintas sektor—lambat laun akan terbentuk ekosistem pendanaan yang mandiri.
Kebudayaan bukan proyek, melainkan napas peradaban. Dan napas itu hanya akan hidup bila memiliki paru-paru yang sehat: tata kelola yang transparan, kelembagaan yang aktif, dan sumber daya yang tidak tersandera oleh janji politik musiman.
Dalam konteks itu, dana abadi bukan sekadar angka dalam neraca keuangan negara, tetapi jaminan atas keberlanjutan imajinasi kolektif bangsa.
Skema pendanaan yang jelas adalah bukti bahwa negara menaruh perhatian dan percaya pada kerja-kerja para seniman, budayawan, dan komunitas adat—mereka yang selama ini setia menjaga ingatan dan martabat kita di tengah derasnya arus modernitas.
Jika Dana Indonesiana merupakan fondasi awal, maka tugas berikutnya adalah memastikan bahwa setiap daerah memiliki versinya sendiri.
Sebab kebudayaan yang tumbuh di daerah tak boleh sekadar menjadi pernak-pernik dalam upacara seremonial, tetapi harus menjadi denyut yang menghidupi—bukan hanya untuk hari ini, melainkan juga untuk masa depan. Nah, begitu?!
*) Penulis adalah Etnografer di kolektif Nusa Artivisme
Baca juga: Budaya terpinggirkan: Apakah program Taman Budaya milik segelintir orang?
Baca juga: Janji kebudayaan NTB: Dari Perda hingga panggung yang tertutup
Baca juga: Kebudayaan di balik pagar: Antara janji dan kenyataan
