Janji kebudayaan NTB: Dari Perda hingga panggung yang tertutup

id Janji kebudayaan NTB,Perda ,panggung yang tertutup,taman budaya,NTB Oleh Harianto Bahagia *)

Janji kebudayaan NTB: Dari Perda hingga panggung yang tertutup

Etnografer di kolektif Nusa Artivisme, Harianto Bahagia (ANTARA/HO - Dok Harianto Bahagia)

Mataram (ANTARA) - Ada yang janggal dari sebuah ruang publik yang diberi nama Taman Budaya. Alih-alih menjadi taman rimbun tempat segala bunga mekar, ia lebih tampak seperti halaman berpagar rapat, hanya bisa dimasuki oleh mereka yang punya jalur atau kunci alternatif.

Kritik Indra Saputra Lesmana dalam esainya di Antara pada Sabtu, 27 September 2025 lalu menyingkap hal itu bahwa panggung Taman Budaya NTB bukanlah rumah bersama, melainkan rumah kontrakan dengan tamu pilihan.

Program bertajuk Yang Muda Yang Berkarya hanyalah contoh. Namanya segar, seakan menjanjikan ruang luas bagi generasi muda. Namun, begitu tirai dibuka, yang tampil justru wajah-wajah lama yang akrab dengan lingkaran Kepala Taman Budaya.

Apakah ini kejutan? Tidak. Persoalan nepotisme di panggung kebudayaan bukan gosip baru. Bedanya, Indra berani mengatakannya di ruang publik. Dan seperti biasa, kita mendengar sambil mengangguk-angguk, lalu melupakannya ketika lampu sorot padam.

*Panggung yang Tak Pernah Netral*

Sudah menjadi rahasia umum, siapa pun yang memimpin Taman Budaya NTB mudah dituding menutup akses bagi kelompok yang tidak dekat secara emosional maupun struktural. Yang punya akses tampil berulang kali. Yang lain? Menonton dari bangku belakang, menunggu undangan yang tak kunjung datang.

Seorang seniman sepuh pernah berucap getir, “Ah, dari dulu juga begitu. Kepala Taman Budaya berganti, tapi aktor di panggung tetap itu-itu saja.” Kalimat singkat yang cukup untuk mematikan harapan perubahan.

Padahal, Taman Budaya adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) pemerintah. Ia seharusnya ruang publik yang terbuka dan transparan, bukan arena eksklusif. Ironisnya, rakyat kerap hanya diposisikan sebagai penonton yang disuruh tepuk tangan, bukan penentu siapa yang layak tampil.

Di Mana Dewan Kebudayaan Daerah

Dalam situasi ini, ada lembaga yang semestinya hadir sebagai penengah, yakni Dewan Kebudayaan Daerah (DKD) NTB.

Pergub NTB No. 83/2022 Pasal 3 menegaskan “DKD mempunyai tugas memberikan pertimbangan, masukan, dan rekomendasi kepada Gubernur dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemajuan kebudayaan daerah.”

Fungsi itu seharusnya membuat DKD aktif menegur praktik sempit dalam pengelolaan panggung kebudayaan. Namun, di manakah suara DKD ketika keluhan nepotisme di Taman Budaya mencuat?

Kita juga masih ingat janji politik Iqbal–Dinda saat Pilgub 2024 untuk membangun kampus seni di NTB. Hingga kini janji itu belum jelas rimbanya. Kalau pun kampus seni masih berupa angan-angan, setidaknya DKD bisa melahirkan kebijakan yang berpihak pada keragaman pelaku seni.

Lebih mendesak lagi, DKD mesti memperjuangkan lahirnya Dana Abadi Kebudayaan Daerah. Tanpa instrumen keuangan yang jelas dan pasti itu, Perda dan Pergub kebudayaan hanya akan menjadi dokumen yang hanya gagah tanpa daya, seperti mobil mewah, tapi tanpa punya bensin sebagai bahan bakar.

Janji, Perda, dan Kenyataan yang Berjarak

Sejak 2021, NTB sebenarnya sudah memiliki landasan hukum penting. Perda No. 16/2021 tentang Pemajuan Kebudayaan menegaskan dalam Pasal 7 ayat (2) berbunyi, “Pemajuan kebudayaan dilaksanakan berdasarkan asas demokratis, inklusif, dan keberagaman.” Tetapi praktik di Taman Budaya justru jauh dari asas inklusif dan keberagaman itu.

Lebih jauh, Perda No. 11/2021 tentang Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungan Masyarakat Adat pada Pasal 5 menegaskan “Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat.”

Jika prinsip itu diterapkan secara konsisten, komunitas adat di NTB seharusnya mendapat akses lebih besar untuk tampil dan mengekspresikan budaya mereka di ruang publik, termasuk di Taman Budaya.

Namun kenyataan berkata lain. Seperti yang kerap terjadi di negeri ini, kita rajin melahirkan aturan, tapi lalai memberi nyawa. Dokumen itu tersimpan rapi di rak kantor, sesekali dipakai untuk seremoni, lalu kembali berdebu.

Sementara di lapangan, seniman tetap merogoh kantong pribadi untuk biaya produksi, dan komunitas adat mencari cara bertahan di tengah gempuran modernisasi.

Jika benar regulasi dijalankan, nepotisme di Taman Budaya mestinya bisa dicegah sejak awal. Kurasi program bisa dipimpin DKD, anggaran dialokasikan lebih adil, dan program menjangkau komunitas yang selama ini tercecer.

Kebudayaan Bukan Milik Segelintir

Ironisnya, kita sering berteriak lantang soal “kebudayaan sebagai identitas bangsa”, tetapi panggungnya dikuasai segelintir orang. Kita bangga menyebut NTB kaya tradisi Sasak, Samawa, dan Mbojo, tetapi siapa yang tampil di Taman Budaya? Itu-itu juga.

Kebudayaan, yang seharusnya menjadi wajah kolektif masyarakat, direduksi menjadi portofolio kelompok tertentu. Ironis bila ruang bernama Taman Budaya justru tidak rimbun dan teduh, melainkan sempit dan berpagar.

Di sinilah DKD harus sadar tentang keberadaannya bukan sebagai asesoris dari Pergub, melainkan wasit sekaligus motor penggerak. Namun, tanpa sikap berani dan visioner, kebudayaan kita akan terus dikapitalisasi oleh lingkaran kecil.

Menunggu Arah Baru

Mencari kambing hitam memang mudah, misalnya dengan menyalahkan Kepala Taman Budaya, pejabat di dinas, atau seniman yang terlalu pasrah dengan keadaan. Tetapi yang sangat dibutuhkan adalah sistem yang membuat praktik nepotisme tak mungkin lagi terjadi.

Sistem itu ada di tangan DKD. Lembaga ini harus berani mengambil jarak dari pemerintah, tetapi juga mendekat dan merangkul kepada komunitas seni. Ia harus menjadi penyeimbang yang memastikan Taman Budaya terbuka, memastikan dana kebudayaan ada agar bisa memastikan sebuah Perda itu bukan sekadar janji belaka.

Kalau tidak, jangan salahkan publik bila kelak menyebut DKD hanya “dewan kursi empuk”, bukan dewan pejuang pemajuan kebudayaan daerah.

Kebudayaan Sebagai Rumah Bersama

Kebudayaan tidak lahir dari ruang sempit. Ia tumbuh dari kebersamaan, keberagaman, dan keterbukaan panggung. Ketika Taman Budaya hanya menjadi milik segelintir orang, yang lahir justru bukanlah kebudayaan, melainkan pengulangan.

Hari ini, kritik Indra Saputra Lesmana mestinya dibaca bukan sebagai serangan personal, melainkan pengingat kolektif bahwa kita masih punya PR besar untuk memastikan kebudayaan NTB benar-benar milik bersama.

Di situlah DKD NTB tidak boleh hanya sekadar nama di atas kertas. DKD harus menjadi jantung yang memompa darah bagi tubuh kebudayaan daerah ini.

Sebab tanpa peran dan fungsi strategisnya DKD, janji kampus seni, adanya dana abadi, bahkan janji pemajuan kebudayaan pun hanya akan menjadi dekorasi manis di panggung yang sebenarnya kosong. Nah, begitu?!

*) Penulis adalah Etnografer di kolektif Nusa Artivisme.


Baca juga: Budaya terpinggirkan: Apakah program Taman Budaya milik segelintir orang?



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.