Mataram (ANTARA) - Pakar hukum Profesor Zainal Asikin mengatakan aparat kepolisian tidak bisa menerapkan pidana terhadap member atau anggota dari investasi bodong Future E-Comerce (FEC). "Member ini 'kan artinya anggota. Jadi, kalau member enggak bisa (dipidana). Yang bisa itu (dipidana) kepalanya, agennya, dia yang bertanggung jawab, yang mengiming-imingi keuntungan bagi anggota," kata Prof. Zainal Asikin di Mataram, Senin.
Untuk menentukan siapa yang berperan sebagai kepala yang menakhodai para anggota FEC, lanjut dia, pihak kepolisian harus terlebih dahulu mencari perikatan hukumnya. "Ada tidak hubungan perjanjian kerjanya? Bahwa dia dipekerjakan dapat honor atau tidak?" ujarnya.
Apabila ada menemukan hal itu, jelas dia, maka pihak kepolisian bisa menerapkan pidana terhadap oknum tersebut. "Yang penting ada selembar bukti yang mengatakan bahwa dia bagian dari perusahaan (FEC), bisa diterapkan pidana penipuan," ucap Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Mataram itu.
Untuk mencari perikatan hukum tersebut, pihak kepolisian bisa mulai menelusuri melalui transaksi keuangan para anggota FEC. "Kalau oknum itu menerima dalam bentuk upah, maka oknum itu sama seperti makelar. Tidak bisa bebas dari tanggung jawab, kalau yang dijual itu barang tipuan. Karena dalam hukum dagang, makelar itu bertanggung jawab dalam barang yang dijual," ujarnya.
Persoalan investasi bodong FEC kini masuk dalam penanganan Polda NTB. Pihak kepolisian menangani berdasarkan adanya laporan aduan warga yang mengklaim sebagai korban. Hingga hari ini, Polda NTB menangani 13 laporan aduan. Dari belasan laporan tersebut, pihak kepolisian melalui fungsi Subdit Perbankan Reskrimsus Polda NTB telah meminta klarifikasi kepada 13 orang.
Baca juga: Pakar hukum tata negara menyarankan Prabowo pilih sosok cawapres teknokrat
Baca juga: Jangan jadikan pekerja tambang sebagai tersangka
Dalam upaya mengungkap adanya pidana dalam laporan aduan masyarakat, Polda NTB berencana akan berkoordinasi dengan lembaga keuangan, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Untuk menentukan siapa yang berperan sebagai kepala yang menakhodai para anggota FEC, lanjut dia, pihak kepolisian harus terlebih dahulu mencari perikatan hukumnya. "Ada tidak hubungan perjanjian kerjanya? Bahwa dia dipekerjakan dapat honor atau tidak?" ujarnya.
Apabila ada menemukan hal itu, jelas dia, maka pihak kepolisian bisa menerapkan pidana terhadap oknum tersebut. "Yang penting ada selembar bukti yang mengatakan bahwa dia bagian dari perusahaan (FEC), bisa diterapkan pidana penipuan," ucap Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Mataram itu.
Untuk mencari perikatan hukum tersebut, pihak kepolisian bisa mulai menelusuri melalui transaksi keuangan para anggota FEC. "Kalau oknum itu menerima dalam bentuk upah, maka oknum itu sama seperti makelar. Tidak bisa bebas dari tanggung jawab, kalau yang dijual itu barang tipuan. Karena dalam hukum dagang, makelar itu bertanggung jawab dalam barang yang dijual," ujarnya.
Persoalan investasi bodong FEC kini masuk dalam penanganan Polda NTB. Pihak kepolisian menangani berdasarkan adanya laporan aduan warga yang mengklaim sebagai korban. Hingga hari ini, Polda NTB menangani 13 laporan aduan. Dari belasan laporan tersebut, pihak kepolisian melalui fungsi Subdit Perbankan Reskrimsus Polda NTB telah meminta klarifikasi kepada 13 orang.
Baca juga: Pakar hukum tata negara menyarankan Prabowo pilih sosok cawapres teknokrat
Baca juga: Jangan jadikan pekerja tambang sebagai tersangka
Dalam upaya mengungkap adanya pidana dalam laporan aduan masyarakat, Polda NTB berencana akan berkoordinasi dengan lembaga keuangan, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).