Mataram (ANTARA) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat mencatat dalam rentan periode 2023-2024 telah menangani 68 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan kerugian yang cukup besar.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan beberapa di antara kasus TPPO ini melibatkan perusahaan yang tidak memiliki izin resmi untuk melakukan rekrutmen pekerja migran.
"Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah vonis delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta kepada Direktur Cabang PT PSM karena penyalahgunaan job order dan izin rekrut," ujarnya di Mataram, Jumat.
Ia menyebut banyak kasus TPPO dengan modus berupa proses rekrutmen yang tidak sesuai prosedur dan penempatan non-prosedural. Bahkan, katanya, akhir-akhir ini banyak kasus terjadi di lembaga pendidikan, pemagangan, hingga di universitas.
"Dalam satu bulan terakhir, terjadi peningkatan kasus pencegahan pekerja migran non-prosedural di Malaysia timur, dengan sekitar 30
orang akan dipulangkan," ujar dia.
Ia menyebut kasus serupa di Brunei Darussalam dan beberapa daerah lainnya.
"Kasus-kasus serupa juga terjadi di Brunei Darussalam dan beberapa daerah lain. Modus yang digunakan dalam kasus-kasus ini sering kali melibatkan pengiriman tenaga kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian awal," katanya.
Upaya memperkuat perlindungan terhadap calon pekerja migran Indonesia (CPMI) dan pekerja migran Indonesia (PMI) berasal dari NTB, kata dia, tidak hanya dilakukan pemerintah. Akan tetapi juga diperlukan peran aktif semua lapisan masyarakat untuk bergerak lebih cepat dan responsif dalam melakukan langkah-langkah preventif guna mencegah terjadi TPPO yang selama ini sudah menelan banyak korban.
"Kalau di polda itu ada namanya Satgas TPPO, Nah Disnakertrans juga punya, namanya Satgas PPMI. Di mana kedua institusi/lembaga ini, baik Satgas TPPO maupun Satgas PPMI sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu agar bisa memberikan perlindungan yang nyata bagi setiap warga kita, terutama CPMI/PMI," ujar Aryadi.
Ia mengatakan pemerintah daerah memiliki komitmen untuk memberikan perlindungan secara optimal terhadap bagi para pekerja migran, baik sebelum, selama, maupun setelah masa penempatan.
"Karena itu penting untuk membangun komitmen bersama. Bukan hanya sekadar komitmen di atas kertas, tetapi bagaimana kita mengimplementasikan komitmen tersebut dalam langkah-langkah nyata yang bisa kita lihat dan ukur hasilnya," katanya.
Dalam upaya memberantas PMI non-prosedural, Disnakertrans NTB mencanangkan program zero unprocedural PMI. Salah satu kebijakan yang diterapkan yaitu dengan mewajibkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk memiliki kantor cabang di NTB agar dapat dipantau dan dilacak oleh dinas setempat.
Selain itu, P3MI wajib menyampaikan laporan ke Disnakertrans minimal per triwulan. Jika tidak memenuhi kewajiban ini, pihaknya merekomendasikan operasional perusahaan tersebut ditutup di NTB.
Baca juga: Pemprov NTB usulkan revisi perlindungan PMI ke Timwas DPR
Baca juga: Disnakertrans NTB mengingatkan sertifikat K3 bagi pekerja berisiko tinggi
Langkah ini, menurut Aryadi, berhasil menurunkan kasus PMI non-prosedural di NTB selama tiga tahun terakhir.
"Pencegahan PMI non-prosedural harus dimulai dari hulu, yaitu kepala desa diimbau untuk selektif mengeluarkan rekomendasi. Kita harus tegas dan komitmen dalam menangani masalah PMI, karena melindungi PMI yang berangkat sama dengan melindungi keluarga mereka di sini," katanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan beberapa di antara kasus TPPO ini melibatkan perusahaan yang tidak memiliki izin resmi untuk melakukan rekrutmen pekerja migran.
"Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah vonis delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta kepada Direktur Cabang PT PSM karena penyalahgunaan job order dan izin rekrut," ujarnya di Mataram, Jumat.
Ia menyebut banyak kasus TPPO dengan modus berupa proses rekrutmen yang tidak sesuai prosedur dan penempatan non-prosedural. Bahkan, katanya, akhir-akhir ini banyak kasus terjadi di lembaga pendidikan, pemagangan, hingga di universitas.
"Dalam satu bulan terakhir, terjadi peningkatan kasus pencegahan pekerja migran non-prosedural di Malaysia timur, dengan sekitar 30
orang akan dipulangkan," ujar dia.
Ia menyebut kasus serupa di Brunei Darussalam dan beberapa daerah lainnya.
"Kasus-kasus serupa juga terjadi di Brunei Darussalam dan beberapa daerah lain. Modus yang digunakan dalam kasus-kasus ini sering kali melibatkan pengiriman tenaga kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian awal," katanya.
Upaya memperkuat perlindungan terhadap calon pekerja migran Indonesia (CPMI) dan pekerja migran Indonesia (PMI) berasal dari NTB, kata dia, tidak hanya dilakukan pemerintah. Akan tetapi juga diperlukan peran aktif semua lapisan masyarakat untuk bergerak lebih cepat dan responsif dalam melakukan langkah-langkah preventif guna mencegah terjadi TPPO yang selama ini sudah menelan banyak korban.
"Kalau di polda itu ada namanya Satgas TPPO, Nah Disnakertrans juga punya, namanya Satgas PPMI. Di mana kedua institusi/lembaga ini, baik Satgas TPPO maupun Satgas PPMI sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu agar bisa memberikan perlindungan yang nyata bagi setiap warga kita, terutama CPMI/PMI," ujar Aryadi.
Ia mengatakan pemerintah daerah memiliki komitmen untuk memberikan perlindungan secara optimal terhadap bagi para pekerja migran, baik sebelum, selama, maupun setelah masa penempatan.
"Karena itu penting untuk membangun komitmen bersama. Bukan hanya sekadar komitmen di atas kertas, tetapi bagaimana kita mengimplementasikan komitmen tersebut dalam langkah-langkah nyata yang bisa kita lihat dan ukur hasilnya," katanya.
Dalam upaya memberantas PMI non-prosedural, Disnakertrans NTB mencanangkan program zero unprocedural PMI. Salah satu kebijakan yang diterapkan yaitu dengan mewajibkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk memiliki kantor cabang di NTB agar dapat dipantau dan dilacak oleh dinas setempat.
Selain itu, P3MI wajib menyampaikan laporan ke Disnakertrans minimal per triwulan. Jika tidak memenuhi kewajiban ini, pihaknya merekomendasikan operasional perusahaan tersebut ditutup di NTB.
Baca juga: Pemprov NTB usulkan revisi perlindungan PMI ke Timwas DPR
Baca juga: Disnakertrans NTB mengingatkan sertifikat K3 bagi pekerja berisiko tinggi
Langkah ini, menurut Aryadi, berhasil menurunkan kasus PMI non-prosedural di NTB selama tiga tahun terakhir.
"Pencegahan PMI non-prosedural harus dimulai dari hulu, yaitu kepala desa diimbau untuk selektif mengeluarkan rekomendasi. Kita harus tegas dan komitmen dalam menangani masalah PMI, karena melindungi PMI yang berangkat sama dengan melindungi keluarga mereka di sini," katanya.