Jakarta (ANTARA) - Jika dunia saat ini sedang sakit menghadapi pandemi COVID-19, hal yang sama terjadi juga di dunia maya yang sebenarnya juga tidak jauh dari kata "baik-baik saja."
Saat raga terpenjara untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona, para jiwa yang haus informasi dan komunikasi yang sejatinya dilakukan secara fisik, kini beralih ke virtual.
Platform digital seakan kedatangan tamu yang bermigrasi dari negeri analog. Pembicaraan publik kini lebih besar dilakukan di ruang digital, yang mengantarkan pada persoalan lain, yaitu hoaks.
Selain perang tak kasat mata secara fisik dengan virus corona, "genjatan senjata" secara virtual juga terpaksa dilakukan dengan hoaks.
Hal ini disadari betul oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang mulai mendeteksi hoaks corona pada akhir Januari. Berdasarkan pantauan kementerian, sebaran hoaks terkait virus corona cenderung meningkat.
Kementerian Kominfo pada saat itu mengatakan menindaklanjuti temuan tersebut dengan memblokir konten-konten hoaks dan disinformasi yang berkaitan dengan corona.
Bahkan, Kementerian yang dipimpin oleh Johnny G Plate itu dengan tegas mengatakan menyatakan mereka akan menindak tegas orang-orang yang menyebarkan hoaks yang berkaitan dengan virus corona melalui kerja sama dengan kepolisian.
Upaya perangi hoaks
Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia, informasi seputar pandemi menjadi berlimpah ruah. Bak dua sisi mata uang, informasi tersebut bisa menjadi "makanan" yang menyehatkan, namun juga bisa menjadi racun berdampak buruk pada psikologis maupun perilaku masyarakat.
Melimpahnya pemberitaan seputar pandemi yang memunculkan kecemasan, frustasi, bahkan berdampak pada "panic buying," serta efek sosial yang tidak sekadar khawatir tapi justru malah berperilaku yang tidak sejalan karena kecenderungan disinformasi.
Sementara itu dari 23 Januari hingga 3 Februari 2020, Kementerian Kominfo mencatat terdapat 54 hoaks mengenai virus corona yang beredar di media sosial maupun aplikasi pesan instan.
Setahun berselang, Kominfo tak henti berjuang. Terlebih, hoaks mengenai vaksin COVID-19 seakan menyerang. Dari pantauan di ruang digital, hingga 31 Januari 2021 Kominfo telah menemukan 1.396 isu hoaks COVID-19 dan 92 isu hoaks terkait vaksin COVID-19.
Isu hoaks vaksin tersebar dalam 2.209 konten di Facebook, Instagram, Twitter dan YouTube, "di mana 1.926 konten sudah diblokir. Sisanya dalam proses," ujar Menteri Johnny dalam rapat bersama Komisi I DPR pada awal pekan ini, Senin (1/2).
Jauh sebelum corona melanda, Kementerian Kominfo sebenarnya telah memiliki senjata pendeteksi hoaks bernama Automatic Identification System (AIS).
AIS adalah mesin crawling konten negatif di internet yang diluncurkan sejak tahun 2018. Mesin AIS menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk secara cepat menentukan konten negatif.
Sebagai sistem pemantauan proaktif untuk penanganan konten internet bermuatan negatif, Mesin AIS bekerja dengan cara mengais (crawling) dan mengklasifikasi (jutaan) tautan yang terdeteksi mengandung konten negatif.
Tak hanya sistem, Kominfo juga memiliki tim AIS yang bekerja selama 24 jam dan terbagi atas tiga shift per harinya. Tugas pokok dari tim AIS ini mulai dari penerimaan dan pengelolaan laporan di platform Aduan Konten dari masyarakat dan instansi, analisa isu populer dan analisa tagar.
Hasil pemantauan akan ditindaklanjuti dengan penanganan berupa pemblokiran akses dan penonaktifan konten internet negatif, serta diteruskan ke instansi terkait.
Memahami betul bahwa serangan hoaks berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat, Menteri Kominfo Johnny G Plate, pada awal April telah mengambil langkah untuk menggandeng platform digital global, yaitu Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube, untuk menindak hoaks.
Di Indonesia, YouTube meluncurkan panel informasi cek fakta yang bertujuan memberikan konteks yang mendampingi konten di platform. Tak main-main, Google juga mengumumkan hibah 800.000 dolar AS atau sekitar Rp11,7 miliar di Indonesia.
Hibah, yang dieksekusi oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), lembaga nirlaba MAARIF Institute, bersama agensi perubahan sosial Love Frenkie lewat program Tular Nalar, itu mendukung beragam program literasi media dan juga pelatihan digital dalam upaya memberantas hoaks dan misinformasi masyarakat Indonesia.
Kominfo juga telah gencar melakukan literasi digital kepada masyarakat bersama gerakan Siberkreasi. Tak berhenti di situ, Kementerian menggandeng Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) untuk terus berjuang melawan hoaks COVID-19.
"Kominfo bersama KPCPEN melakukan upaya penanganan hulu hilir mulai dari literasi kepada masyarakat terkait COVID-19 dan vaksin, pemberian klarifikasi terhadap hoaks, pembuatan kanal resmi dan terpercaya, dan bekerjasama dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk Polri untuk hukum dan penaganan hoaks," ujar Menteri Johnny.
Langkah raksasa teknologi
Bukan hanya di Indonesia, hoaks seputar corona pun juga menyerang secara global.
Pada April, laporan dari organisasi nirlaba Avaaz mencatat 100 misinformasi terkait virus corona di Facebook yang dibagikan lebih dari 1,7 juta kali dan dilihat sekitar 117 juta kali.
Melihat data tersebut raksasa media sosial milik Mark Zuckerberg itu tak tinggal diam. Facebook telah mengambil sejumlah langkah untuk mencoba membendung misinformasi pada platformnya.
Pada 16 April, Facebook menambahkan label peringatan pada postingan tentang misinformasi ketika seseorang menyukai, berkomentar atau beraksi terhadap unggahan tersebut.
Berlanjut pada Mei, Facebook telah melakukan cek fakta dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI) juga dibantu dengan manusia untuk menegakkan kebijakan komunitasnya.
Platform berbagi foto dan video milik Facebook, Instagram, juga melakukan beberapa langkah untuk mengurangi penyebaran hoaks yang berkaitan dengan virus corona dan COVID-19.
Instagram menghapus hoaks dan misinformasi tentang virus corona agar ketika pengguna mengetuk tanda pagar yang terkait wabah tersebut mendapatkan informasi dari sumber resmi seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun otoritas kesehatan setempat.
Platform ini juga memblokir tagar yang digunakan untuk menyebarkan hoaks dan misinformasi soal corona. Selain itu Instagram bekerja sama dengan pengecek fakta pihak ketiga untuk memverifikasi informasi dan memberi label pada informasi tersebut.
Hal serupa juga dilakukan Twitter, yang menghadirkan label dan peringatan untuk cuitan-cuitan yang mengandung misinformasi atau fakta yang diperdebatkan kebenarannya soal COVID-19.
Label tersebut akan muncul di bagian bawah tulisan, berisi tautan ke laman berisi fakta yang dikurasi tim Twitter atau laman dari sumber-sumber terpercaya.
Untuk menjauhkan pengguna dari informasi palsu, Youtube telah melarang konten yang bertentangan dengan temuan WHO. Platform milik Google itu juga memperkuat kemunculan konten resmi di seluruh dunia.
Sementara, Google sendiri menampilkan halaman hasil pencarian yang dikuratori oleh WHO, berisi tips aman dan berita terkini, berupa box alert yang memiliki tujuan untuk membuat informasi darurat lebih mudah diakses pengguna saat terjadi situasi krisis.
WHO juga bergabung bersama TikTok untuk perangi misinformasi virus corona dengan meluncurkan akun untuk memberikan informasi yang akurat kepada pengguna online.
Satu elemen yang harus ikut dalam perang terhadap hoaks ini adalah masyarakat. Upaya-upaya tersebut tidak akan berarti jika masyarakat sendiri tidak tergerak untuk bersama melawan musuh tak kasat mata bernama hoaks.
Agar terhindar dari informasi yang salah tentang COVID-19 di internet, bersikap skeptis terhadap judul informasi menjadi dasar yang penting. Selanjutnya, perhatikan URL dan isi halaman beritanya, periksa sumber informasinya, lihat berita atau informasi lainnya, dan tentunya dapatkan informasi dari otoritas resmi. Ayo bersama melawan hoaks!