AIPKI DORONG PENERIMAAN MAHASISWA DARI KELUARGA MISKIN

id

Lombok Barat, NTB, 28/9 (ANTARA) - Pengurus Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) terus berupaya mendorong penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran dari kalangan keluarga miskin yang memiliki bakat dan kemampuan lebih.

"Ini masih menjadi pekerjaan rumah AIPKI agar orang-orang kurang mampu punya akses di pendidikan kedokteran. Kurang lebih 20 persen dari kuota, bahkan UGM bisa seluruh mahasiswa persen," kata Ketua I Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Prof dr Ali Ghufron Mukti Msc Phd, di Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu.

Ali merupakan bagian dari peserta Muktamar VI AIPKI yang juga dipusatkan di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, 28-29 September 2011.

Muktamar AIPKI VI yang diikuti perwakilan dari 72 fakultas kedokteran yang menyebar di berbagai daerah di Indonesia itu, selain untuk memilih pengurus baru periode lima tahun mendatang, juga merupakan wadah diskusi tentang program pengembangan pendidikan kedokteran di Tanah Air.

Ali yang menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, mengatakan, hingga kini fakultas kedokteran negeri masih memberi kesempatan kepada calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk dididik menjadi dokter.

Upaya tersebut juga didukung unsur eksekutif dan legislatif yang kini tengah menggodok undang undang tentang pendidikan kedokteran.

"Mungkin nanti, satu-satunya bidang pendidikan yang memiliki undang undang sendiri yakni kedokteran," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Umum (Sekum) AIPKI Dr med dr Setiawan, mengatakan, wacana pengaturan pembiayaan pendidikan kedokteran bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu juga sudah direspons kalangan DPRD di berbagai daerah.

Respons DPRD itu mengindikasikan pemerintah daerah juga mendukung keluarga kurang mampu untuk mengenyam pendidikan kedokteran.

"Undang undangnya sedang dibahas, mungkin pemerintah daerah pun harus bisa lebih siap agar makin banyak anak-anak kurang mampu yang menjadi dokter," ujarnya.

Ali maupun Setiawan tidak menampik anggapan berbagai kalangan kalau biaya pendidikan kedokteran tergolong sangat mahal, sehingga hanya kalangan keluarga mampu yang bisa menjadi dokter.

Menurut mereka, biaya pendidikan kedokteran menjadi mahal karena mencapai Rp60 juta setiap semester, yang antara lain untuk pendanaan bahan habis pakai dan infrastruktur.

"Itu baru pendidikan kedokteran untuk menghasilkan Sarjana Kedokteran (SKed), belum pendidikan profesi untuk menjadi dokter," ujarnya.

Kini, sebagian besar perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran di Indonesia sudah menerapkan sistem pendidikan 3,5 tahun untuk jenjang S.ked, kemudian 1,5 sampai dua tahun untuk pendidikan profesi, sehingga totalnya lima tahun.

Namun, masih ada fakultas kedokteran yang menerapkan sistem pendidikan tidak terbatas waktu, dengan asumsi tidak ada batasan waktu untuk belajar. (*)