Periset Biologi Molekuler Eijkman BRIN Josephine Siregar mengatakan beberapa negara sudah muncul penyebaran resistensi parasit terhadap obat anti malaria, seperti chloroquine, sulfadoxine-pyrimethamine, atovaquone, artemisinin, dan mefloquine.
"Dibutuhkan dan sangat penting upaya untuk penemuan obat baru yang pastinya kita bisa mencapai atau mendapatkan target yang lain," ujarnya dalam seminar bertajuk 'Biologi Struktural dan Model Penyakit' yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Resistensi obat adalah kemampuan parasit untuk dapat bertahan atau berkembangbiak meskipun sudah ada kehadiran atau pemberian obat dengan dosis yang sesuai atau mungkin dosis yang sedikit ditinggikan, tetapi masih di dalam batas toleransi.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan munculnya resistensi obat, kata dia, yaitu tingkat mutasi dari parasit tersebut, bagaimana parasit itu bisa bertahan, kehadiran parasit yang ada di populasi, bagaimana suatu obat itu memiliki seleksi yang kuat terhadap parasit resisten atau juga kepatuhan.
"Ini sangat penting sekali. Kita juga bisa lihat dari diri kita sendiri ketika kita sakit, kita merasa bahwa kita sudah sehat. Padahal kita masih harus menghabiskan obat yang dibutuhkan untuk treatment parasit malaria," kata Josephine.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada 245 juta kasus malaria di seluruh dunia pada tahun 2020, dengan 625 ribu kasus kematian. Kemudian meningkat dua juta kasus pada tahun 2021 menjadi 247 juta kasus di seluruh dunia dengan 619 ribu kematian.
Josephine menuturkan ada lima jenis malaria pada manusia, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, plasmodium ovale, plasmodium knowlesi. Plasmodium knowlesi adalah kasus zoonosis. Plasmodium itu biasanya menginfeksi bukan kepada manusia, tetapi lebih dari 10 tahun terakhir sudah dapat menginfeksi manusia. Beberapa obat-obatan yang memang sudah dipakai untuk mengobati penyakit malaria adalah quinine, cloroquinine, primaquinine, pyrimethamine, sulfadoxine, mefloquinine, doxycycline, proguanil, halofantrine, dan atovaquone.
"Apalagi kita ketahui bahwa muncul parasit baru yang mungkin juga kita masih membutuhkan untuk pengobatan malaria," ucap Josephine.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa mempelajari struktur biologi sangat penting untuk pemahaman terhadap gen target dan mekanisme dari obat anti malaria. BRIN sudah mengembangkan model hewan uji coba untuk plasmodium gen b atovaquone resistence guna mengetahui mekanisme obat bekerja dan resistensi obat itu ditransmisikan.
Baca juga: Inovasi riset perlu untuk intensifikasi hasil panen
Baca juga: BRIN mengembangkan vaksin penguat Tuberkulosis
BRIN juga mengembangkan suatu model malaria rodent yang bisa memanipulasi secara keseluruhan siklus hidup dari malaria, sehingga mereka bisa melihat target-target yang lebih detail dengan menggunakan model malaria.
"Ini sangat penting sekali untuk pengembangan obat yang baru. Kami membutuhkan parasit-parasit yang resisten terhadap obat-obat yang sudah dipakai di dalam pengembangan obat anti malaria baru," ujarnya.